BIASA santai, Dr. Umar Kayam, 52, suatu ketika bisa juga kaget. Yaitu ketika ia tiba-tiba ditunjuk menjadi ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia (FFI) 1984. "Soalnya, dalam sejarah FFI sudah beberapa kali saya diusulkan menjadi juri, tapi nama saya selalu dicoret. Eh, sekali ini malah menjadi ketua," kata bekas Dirjen RTF itu. Kesempatan menjurii film-film nasional diakuinya memang menyenangkan. Tapi mungkin, katanya, "Setelah menjadi juri nanti, selama 20 tahun saya tidak akan melihat film nasional lagi." Mengapa begitu? "Ya. 'Kan capek setelah menonton film-film yang difestivalkan, yang jumlahnya cukup banyak itu." Apalagi kalau film-film itu kurang bermutu. Dengan kedudukannya sebagai ketua Dewan Juri FFI 1984, Kayam sebenarnya punya masalah. Sebab, film Pengkhianatan G30S/PKI, yang ia ikut main (sebagai Bung Karno), termasuk salah satu film yang harus dinilai. Sedangkan ketentuan menyebutkan: dewan juri tak boleh terlibat dalam pembuatan film yang dinilai. "Ya, saya tidak akan menilainya. Saya hanya ingin menonton film itu, karena saya belum pernah melihat boleh 'kan?" kata dosen Fakultas Sastra UGM itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini