"YA, saya sekarang umur 55 tahun, tapi semangat masih 25 tahun,"
ujar Mochtar Lubis yang masih segar bugar. Setelah surat
kabarnya--untuk kedua kali -- ditutup 4 tahun lalu, Mochtar
jarang menampilkan tulisannya untuk pembaca dalam negeri.
Tapi mengapa harus ingat angka 25? "Wahtu itu saya sudah
produktif," jawabnya. "Jadi wartawan Antara, setahun kemudian
pindah memimpin majalah Mutiara dan harian Indonesia Rala."
Mochtar kini ayah 3 orang anak dan kakek 3 orang cucu. Untuk
menulis dia lebih banyak menghabiskan waktunya di Tugu, Bogor,
di mana dia memiliki sepotong tanah yang dibelinya dari honor
buku yang diterbitkan Balai Pustaka di tahun 1953.
"Di Jakarta banyak gangguan telepon," tambahnya, "dan di Tugu
kadang-kadang saya jadi petani. Saya benar-benar mencangkul.
Yang saya tanam padi, jengkol dan pepaya." Mochtar tidak
menjelaskan apakah jengkol lauk nasi yang disukainya.
Selama 4-5 tahun, Mochtar pernah masuk penjara di RTM Budi
Utomo, Jakarta, penjara di Madiun dan terakhir di Jalan
Keagungan, Jakarta. Setelah Supersemar keluar, 17 Mei 1966,
Mochtar dibebaskan. "Saya bebas bukan karena Amnesti
Internasional, tapi karena Sukarno tidak berkuasa lagi."
Ketika Amnesti memperjoangkan pembebasan Mochtar Lubis dan
tokohtokoh lain, Pramudya Ananta Tur mengkritik Amnesti. "Ya,
orang-orang PKI pasti tidak senang saya dan kawan-kawan bebas,"
ujar Mochtar. Dan ketika Mochtar beberapa tahun lampau pergi ke
Buru dan bertemu Pram, Mochtar minta agar Pram diberi mesin
ketik, dan alat-alat melukis untuk yang lain. "Tampaknya waktu
itu mereka memerlukan mesin tulis dan alat-alat melukis. Kami
mintakan pada Jenderal Sumitro. Rupanya berhasil." Sambungnya:
"Waktu itu kami juga minta kepada Jenderal Sumitro untuk segera
menyelesaikan tahanan itu. Tapi Sumitro kemudian 'kan lalu di
.... " - ia tidak menyelesaikan kalimatnya, lalu menambah: "Saya
gembira sekarang mereka dibebaskan, meskipun tindakan itu sudah
terlambat. Tapi ya, Pemerintah punya pertimbangan sendiri, saya
punya pandangan sendiri."
Dia baru saja menyelesaikan bukunya yang berjudul Het land onder
de regenboog (Negeri di Kaki Pelangi). Buku hasil reinterpretasi
tentang Sejarah Indonesia dari pra-sejarah, terutama sejak
datangnya Portugis sampai akhir kekuasaan Sukarno. Buku ini
terbit dalam bahasa Belanda oleh penerbit Belanda. Nantinya akan
ada versi Inggerisnya, dan kabarnya Pustaka Jaya berminat
menerbitkannya ke dalam bahasa Indonesia. Regenboog akan selesai
terbit di bulan Pebruari 1979.
"Setelah saya survei sendiri ternyata sejarah Indonesia yang
ditulis orangorang Belanda tidak seperti yang kita ketahui
selama ini. Banyak hal-hal yang tidak ditulis penulis Belanda."
Mochtar juga memuji sistim dokumentasi di Negeri Belanda, yang
kalau diminta, 5 menit saja sudah siap.
Selain itu ada pula ditulisnya buku roman sejarah yang akan
terdiri dari 5 buku. "Riset sudah selesai dan saya mulai dengan
buku pertamanya. Juga saya tulis di Negeri Belanda." Yang
ditulisnya di Indonesia adalah catatannya selama ditahan 2 bulan
di Nirbaya, dan sebuah roman tentang wanita. Ketika di Nirbaya
(setelah peristiwa Januari 1974) Mochtar berada satu kompleks
dengan bekas Menlu Subandrio dan bekas KSAU Omar Dhani. Dua yang
terakhir oleh pengadilan Mahmilub dijatuhi hukuman mati.
Toh Mochtar masih jadi anggota panitia Unesco tentang komunikasi
samai 1979 nanti. Kerjanya meneliti ketidakseimbangan arus
berita antara negara maju dan dunia ketiga. Setahun 4 kali dia
pergi ke Paris untuk keperluan ini. "Habis, di dalam negeri
tidak bisa cari makan. Saya cari makan di luar negeri," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini