Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Munir lahir sebagai seorang ayah. Bukan hanya ayah bagi Sultan Alis Allende, bayinya yang baru berusia tujuh bulan hasil pernikahannya dengan Suciwati, tapi juga "ayah" bagi para aktivis yang hilang karena diculik. Dan sang "ayah"--serta kelompok yang dipimpinnya, yang bernama Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)--tentu saja layak diganjar Yap Thian Hien Award, pekan lalu, dari Yayasan Pusat Hak Asasi Manusia untuk upayanya memperjuangkan hak asasi manusia di Indonesia, terutama dalam soal tindak kekerasan dan penculikan. Tapi penghargaan dengan berbagai efek finansial dan prestise itu bukanlah suatu hal yang memuaskan batin aktivis ini. "Saya lebih puas melihat anak-anak yang hilang itu kembali ke pelukan keluarganya," tuturnya suatu sore yang basah tersiram hujan di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), tempat Kontras "menumpang" berkantor.
Lahir di Malang, 8 Desember 1965, dari pasangan Said dan Jamilah, Munir tampaknya sebuah contoh klasik anak yang "menyimpang" dari tradisi keluarga yang berniaga. Di masa kecilnya, bersama kakak-kakaknya, Munir ikut berjualan kain, sepatu, serta barang elektronik. Kegiatan itu baru dihentikan ketika Munir memasuki tahun ketiga di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Sejak saat itulah Munir terlibat dalam berbagai kegiatan kampus, yang kemudian membawanya kepada aktivitas advokasi di LBH Malang pada 1991.
Dari aktivitasnya mengurus buruh hingga terlibat dalam memperjuangkan nasib Marsinah, akhirnya Munir "berlabuh" dalam kasus orang yang hilang. "Saya mulai memperhatikan masalah orang hilang sejak bulan Desember 1992," Munir berkisah. Pada 26 Desember 1992, Munir mendapat laporan, salah satu buruh yang juga kawannya tertangkap, hilang diculik selama tiga hari. Tujuan penculikan ini adalah untuk mengetahui seluk-beluk dan kegiatan Munir sebagai aktivis buruh. "Ia sempat dicabuli dan disiksa aparat," tutur Munir dengan nada getir. Sejak saat itulah Munir berkonsentrasi memperjuangkan nasib orang yang hilang. Tentu saja, di masa Orde Baru, istilah yang sering digunakan aparat adalah "diamankan". "Kamilah yang pertama kali menyebutnya sebagai kasus penculikan," kata Munir. Munir menyadari, kasus penculikan sebetulnya sudah lama ada. Peristiwa Malari, Tanjungpriok, dan berbagai kerusuhan, menurut penelitian Munir, pasti disertai kegiatan penculikan aktivis politik. "Kasus penculikan seperti ini melibatkan militer yang terang-terangan menculik dan menangkap mereka," tutur Munir. Dan setelah puluhan tahun para orang tua korban penculikan tak punya tempat mengadu, Kontras menjadi sebuah lembaga yang memperjuangkan bukan hanya kepentingan keluarga korban, tapi juga skala yang besar: hak asasi manusia.
Semua dimulai pada Peristiwa 27 Juli 1996 dan Pemilu 1997, ketika LBH menerima laporan sejumlah aktivis yang hilang, antara lain Petrus Bimo dan Suyat. Adalah ibu Yani Avri--salah satu korban penculikan yang hingga kini belum ditemukan--yang datang mengunjungi LBH diantar oleh aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI). "Ia mengeluh karena tidak ada lembaga yang mengurus orang-orang yang hilang," tutur Munir. Maka, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama berbagai lembaga lain--antara lain Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), AJI, dan Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam)--memberikan dukungan dana untuk mendirikan kelompok kerja, yang akhirnya, pada Maret 1998, diberi nama Kontras. "Kemunculan Kontras adalah hasil refleksi rekan-rekan karena melihat kelemahan advokasi tak bisa memberikan jaminan terhadap tindak kekerasan dan orang hilang," tutur Munir. Mereka mempertanyakan mengapa lembaga advokasi yang sudah ada kurang bisa memberi kebutuhan yang lebih konkret. Dan ternyata, setelah berdirinya Kontras, ia menjadi bagian yang ikut memberikan dampak besar bagi perubahan di negeri ini.
Adalah Pius Lustrilanang, aktivis Aldera dan Siaga, yang pertama kali muncul di depan umum, pada April 1997, berkisah tentang pengalamannya diculik. Selanjutnya Desmond Mahesa, Raharjo Waluyo Djati, Faisol Reza, dan akhirnya Andi Arief. Setelah Pius, yang didampingi oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) dan Komnas HAM, membuka suara, Munir juga selalu mendampingi kesaksian para aktivis lain yang menjadi korban penculikan. "Dari pengalaman penculikan itu, saya perhatikan, proses penyiksaan yang paling parah terjadi pada Faisol Reza dan Waluyo Djati," kata Munir. Indikasinya, menurut Munir, adalah karena penyiksaan dan penyekapan yang mereka alami jauh lebih lama dari yang lain, dan juga kemampuannya mengatasi trauma cukup lama. "Ketika kami berkunjung ke Puspom, Faisol Reza langsung melompat kaget mendengar sirene. Begitu takutnya ia hingga tak berani ke toilet sendirian," tutur Munir. Adapun Andi Arief, menurut Munir, matanya ditutup selama tujuh hari berturut-turut dan disiksa habis-habisan sehingga penglihatannya agak terganggu untuk beberapa lama.
Bahwa Prabowo Subianto--sebagai salah satu sosok yang paling ditakuti di masa Orde Baru--akhirnya diberhentikan dari jabatannya sebagai Komandan Sekolah Staf dan Komando (Dansesko) dan dari karir kemiliterannya, sebagai ekor dari terungkapnya kasus penculikan ini (dan juga sebagai ekor dari tumbangnya Soeharto), bagi Munir, itu bukan sebuah ukuran keberhasilan. "Bagi saya, ukuran keberhasilan (kami) adalah menyelamatkan para korban penculikan, untuk pulang. Dan ukuran keberhasilan kedua, kasus itu harus dibuka dan adil, sehingga peristiwa kekerasan itu tidak terjadi lagi." Munir bahkan mengakui, ada empat orang korban penculikan yang sudah pulang tapi hingga hari ini belum bersedia berbicara--dan keinginan para korban itu dipatuhi dan dihormati Kontras sebagai sebuah hasil kesepakatan.
Munir mengisi subuh dengan menikmati perannya sebagai ayah Sultan Alis Allende. Pagi itu, sebelum mandi, ia berjalan-jalan mengitari Gang Buntu Cipinang di kawasan Bekasi Timur bersama Wati--sang istri--dan Allende (sebuah nama yang diambil dari nama Presiden Cile yang ditumbangkan diktator Pinochet pada 1973). Setelah mencari sinar matahari bagi sang bayi, Munir ikut mencemplungkan sang bayi ke dalam seember air dan memandikannya. Ini adalah sebuah kemewahan tiada tara bagi sang ayah baru. Sebab, selanjutnya, dengan menggunakan sepeda motor, ia melaju ke Kantor LBH dan berganti peran menjadi "ayah" bagi para aktivis yang hilang hingga tengah malam.
Sembari memandikan sang anak, Munir berkisah kepada reporter TEMPO bagaimana keluarganya menerima teror harian sebagai makanan utama yang rutin. Di suatu siang yang gerah, seorang perempuan cantik mengunjungi rumah pasangan yang aktivis itu. Dalam keadaan hamil, Wati mendengar kisah yang meluncur dari mulut perempuan tersebut bahwa ia adalah kekasih gelap Munir. Dengan tenang, Wati malah mengajak sang "kekasih gelap" bertemu dengan Munir dan menuntutnya. Menurut Wati, jika memang wanita itu kekasih gelap Munir, ia patut menuntut haknya dan Wati bersedia membantunya. Ketenangan itu ternyata membuat sang perempuan mundur teratur. Ia kabur. Dan, seperti yang sudah diduga, ini adalah salah satu bentuk teror rutin yang sudah menjadi menu harian Munir dan keluarganya. "Teror yang kami alami tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan teror yang dialami kawan-kawan yang diculik," tutur Munir, yang sudah kenyang dengan ancaman penculikan, penangkapan, pembunuhan, hingga pengiriman bunga yang diperciki darah. Tujuan orang melemparkan teror, bagi Munir, adalah agar ia ketakutan. Dan, "Saya harus merasa mampu mengalahkan rasa takut itu."
Apa yang dialami Munir dan keluarganya, bagi Munir, tidak sebanding dengan yang dialami keluarga korban penculikan, "Terutama 13 korban penculikan yang sampai saat ini belum jelas nasibnya," kata Munir dengan nada prihatin. Ia bercerita bagaimana seorang ibu korban selalu melompat jika mendengar suara motor karena menyangka anaknya pulang. "Itu siksaan paling berat dan seumur hidup," kata Munir. Munir, meski tidak belajar psikologi secara formal, mulai mempelajari bahwa para orang tua akan melampaui rasa takut dan sedih itu, dan sebuah sikap baru akan muncul kemudian: keberanian. "Mereka jadi jauh lebih berani. Keberanian yang melampaui keberanian siapa pun!" katanya kagum.
Munir berkisah bagaimana keberanian gerombolan orang tua dari 13 korban penculikan yang diantar ke Kantor Pusat Polisi Militer (Puspom) ABRI akhir Oktober silam. Keberanian yang tidak membuat mereka sungkan untuk mengecam Mayjen Djasri Marin--Komandan Puspom ABRI--yang dianggap lamban dalam menangani kasus 13 korban penculikan itu. "Saya tidak bisa menyalahkan sikap mereka, karena faktanya memang militer keterlaluan," katanya. Ia mengakui, keberanian dan ketangguhan keluarga korban selalu mengobarkan semangatnya untuk terus bekerja mencari mereka yang hilang.
Munir juga menyebut bahwa lahirnya Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)--yang idenya meniru negara-negara Amerika Latin--memang dibutuhkan karena mereka bisa saling membantu dan menopang secara moril. Kontras sendiri menyediakan program rehabilitasi dan konseling bagi korban karena "begitu korban dilepas para penculiknya, mereka sangat takut dan mengalami trauma, sehingga sebisa mungkin kami membantu menyembuhkan dengan bekerja sama dengan lembaca crisis center," kata Munir.
Ketika ditanya apakah Munir pernah memiliki kesempatan bertemu dengan Prabowo, dengan tegas ia menjawab, "Tidak. Kalau mau, saya bisa bertemu, tapi saya tak punya kepentingan. Yang saya temui adalah jalur-jalur proses yang harus dibongkar, misalnya Puspom." Munir juga tak percaya bahwa perintah penculikan itu--atau apa pun istilah Orde Baru untuk itu--hanya hasil interpretasi atau tafsiran. "Yang namanya BKO (bawah kendali operasi) atau perintah dalam sebuah operasi sudah seperti darah dengan daging. Tidak mungkin orang itu memakai interpretasi sehingga salah menafsir," katanya. Lebih jauh lagi, Munir dengan nada sinis mengatakan, "Pemecatan Prabowo lebih karena soal kepentingan ABRI sendiri, bukan karena kasus penculikan." Seharusnya ABRI secara institusional mengakui kesalahannya dan ada pertanggungjawabannya secara politik.
Kini, dengan berbagai penghargaan di Kantor Kontras, Munir dan timnya tetap ingin masyarakat dan aparat keamanan terus-menerus ingat tentang 13 korban yang sampai saat ini belum jelas nasibnya.
"Kami mengadakan kampanye dengan meletakkan poster foto korban di mana-mana, pameran foto, diskusi, dan berkeliling," kata Munir. "Kalau mereka tewas, kami ingin tahu kuburannya; kalau luka, kami ingin mereka dikembalikan; kalau hidup, di mana mereka. Kami harus tahu keberadaan mereka, hidup atau mati," ujarnya dengan tegas. Ketika media sudah mulai surut dan cenderung melupakan nasib para orang hilang--mungkin karena ada berita lain yang dianggap "lebih" hangat dan menarik--Munir tetap berlaku sebagai seorang "ayah". Kehilangan para aktivis itu, baginya, adalah sebuah kehilangan anak. Dan tidak banyak "ayah" semacam Munir saat ini.
Leila S. Chudori dan Hani Pudjiarti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo