Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerson Poyk, yang tampil paling awal, mencoba memancing simpati hadirin dengan penjelasan panjang tentang landasan estetik karyanya. Sembari mencemooh kritikus sastra, ia berceramah mengenai absurditas dan seputar sastra ide. Ia tak sadar bahwa penjabarannya yang tidak sistematis itu justru menyorongkan kesan kenes dan bertele-tele. Gayanya membaca Gerimis Turun di San Francisco mengisyaratkan bahwa ia tak melakukan persiapan cukup baik untuk tampil di depan publik. Nada yang datar lantaran kurangnya penguasaan teknik memainkan tempo menyebabkan seluruh penampilan Gerson malam itu kedodoran.
Syukurlah, rasa bosan yang belum sempat merebak itu sirna berkat kehadiran Hamsad Rangkuti. Kisah yang ditampilkan adalah tentang kematian. Rangkaian peristiwa yang ia reka disampaikan dengan jelas dan lancar. Kejelasan itu ditunjang tata artistik yang kreatif. Sementara ia membaca Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?, pusat panggung menyajikan siluet perempuan dengan gerak-gerik erotik. Itulah terjemahan visual dari cerita Hamsad: seorang perempuan, di atas sebuah kapal, mempreteli perhiasan dan melolosi seluruh pakaian seakan hendak menghapus segala jejak seseorang dari dirinya, sebelum ia bunuh diri dengan terjun ke laut. Di ujung cerita, seorang lelaki muncul mengibar-ngibarkan selimut. Ia menutup tubuh telanjang itu; menutup kisah singkat yang memikat itu.
Muncul seorang pemuda mencangking tape recorder ke atas panggung, diikuti seorang perempuan tanggung. Mereka melenggak-lenggok girang, mengikuti irama lagu dangdut yang riang. Hamsad, yang sehari-harinya kalem, lemah-lembut, ikut terhanyut. Ia bangkit dan bergoyang pinggul, sambil berteriak, "Saudara sekalian. Mari kita lupakan segala duka yang terjadi di ladang-ladang pembantaian. Di Trisakti. Di Semanggi. Di Aceh. Di Priok. Di Santa Cruz. Mari kita bergembira. Berjoget bersama!" Serta-merta hadirin tertawa, seakan turut berlupa.
Berikutnya, Putu Wijaya tampil tanpa teks, melisankan Kroco. Tiga sketsa pendek tentang serangkaian ironi dalam hidup sehari-hari: krisis ekonomi, mahalnya pendidikan dan desakan kebutuhan pangan, kepahlawanan palsu, simpang-siur berita media massa, dan rakyat jelata yang hilang haknya. Ironi juga menyertai penampilan Putu sendiri. Kisah-kisah pendek yang unik itu seolah begitu saja terlontar dalam ekspresi sekadarnya. Kalimat-kalimat berlompatan dan belepotan. Dilisankan dengan volume tinggi, cenderung meledak-ledak, sesekali bikin telinga terasa pekak. Gerak-geriknya kurang selektif, sering tanpa motivasi sehingga gagal mempertegas asosiasi. Akhirnya, tak ada yang istimewa dari penampilan Putu malam itu.
Tibalah giliran Danarto. Tatkala layar menyibak, tampak sembilan perempuan rupawan menarikan Bedhaya Ela-Ela gubahan A. Tasman Ronoatmodjo. Di pojok kiri depan, Danarto bersila di atas selembar sorban, berbusana serba putih, melafalkan Waktu yang Alfa, semacam doa ke hadirat Tuhan Maha Kepujian. Seantero panggung bagai merenung. Gamelan yang mengalunkan gending Ela-Ela garapan Ki Martapangrawit, juga erotisme gerak para penari, menyatu dengan kekhusyukan zikir Sang Sufi. Lalu tiga sosok ninja berpakaian serba hitam muncul dari kegelapan. Mereka menggelibat di antara liuk tarian gemulai, mengacung-acungkan samurai. Suasana tambah mencekam ketika para ninja menghunjamkan pedang. Tokoh putih itu terkulai. Dengan perlahan para ninja menyeret jasad korban, menuju sudut belakang tempat menjuntai tirai-tirai hitam. Para penari berbalik, bergerak ritmik, laksana sembilan bidadari mengiringi perjalanan orang suci menuju surgawi.
Melalui repertoar itu Danarto tak sekadar menampilkan hitam-putih konflik kemanusiaan. Lebih dari itu ia ingin menegaskan ketakmustahilan pencapaian tertinggi insan beriman, yakni manunggaling kawula-Gusti. Lebih dari sekadar lambang penyatuan metafisik antara raja Mataram dan Ratu Kidul, tari bedaya itu juga dijiwai oleh mistisisme Jawa mengenai kebersatuan Bima dengan Dewaruci. Dan di panggung yang berangsur lengang, terpampang pemandangan yang mencengangkan. Paduan antara cahaya temaram, warna-warni pakaian, dan irama gerak lamban, melengkapkan keheningan. Tentu, tata artistik garapan Retno Maruti punya peran besar dalam pencapaian itu.
Sitok Srengenge
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo