Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Teror Struktur Warna

Struktur bercak-bercak warna dan bentuk yang berlapis-lapis meneror persepsi visual. Di ruang Galeri Lontar yang sempit, persepsi visual jadi teredusir.

14 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suatu siang pada musim gugur di tepi Sungai Rhein di Kota Dusseldorf, Jerman. Sekelompok seniman, sembari memegang kuas dan didampingi sebuah ember plastik, menghadap tembok. Dengan cermat mereka menorehkan cat berupa garis tebal-pendek atau bentuk-bentuk bundar dalam ukuran kecil, nyaris berupa totolan. Setiap orang menorehkan satu warna, yang kemudian diisi dengan warna lain oleh yang lain. Begitu seterusnya dari hari ke hari sepanjang musim gugur pada 1997, sehingga seluruh permukaan tembok sepanjang 195 meter itu penuh dengan konfigurasi struktur warna.

Mereka bukan remaja jail yang diam-diam membuat grafiti meramaikan dinding-dinding kota. Mereka adalah seniman yang membantu Hermann-Josef Kuhna mewujudkan struktur multiwarna di ruang publik. Dua dinding melengkung yang mengapit undak-undakan di kaki bangunan kuno Schlossturm di tepi Sungai Rhein itu berubah menjadi ruang warna dengan karakter yang kompleks, berlapis-lapis, dan dengan corak warna yang kaleidoskopis, simpang-siur, dan membingungkan. Apabila diamati dalam jarak yang lebih jauh, konfigurasi garis tebal-pendek dan bentuk-bentuk bundar dalam ukuran kecil itu berubah menjadi bintik-bintik warna yang membaur. Muncul berbagai nuansa dengan gerakan dan struktur yang berputar, kadang tampak memuai tapi saat lain seperti mengerut. Dalam cuaca yang berbeda dan pantulan cahaya alam, muncul permainan warna yang memberi sugesti efek yang nyaris kinetis, seolah terjadi gerakan dari kecenderungan satu warna ke warna lain secara gradual.

Corak lukisan pelukis asal Jerman di atas dinding ini kini dikemas di atas kanvas dalam ukuran yang tentu lebih kecil dan diboyong oleh Goethe Institut ke dalam ruang Galeri Lontar, Jakarta. Ruang yang berbeda menghasilkan efek piktorial yang berbeda. Di dalam ruang galeri yang sempit, penonton bak terperangkap dalam teror ribuan bercak warna. Ini menyebabkan penonton memiliki kesempatan kecil untuk melepaskan diri dari serbuan struktur warna dari kanvas lukisan yang memenuhi seluruh dinding galeri, dengan mengalihkan sejenak perhatian kepada sisa bidang dinding yang kosong. Tapi ketika mata kembali diarahkan ke lukisan, teror bercak-bercak warna itu pun kembali menyerbu persepsi visual.

Persepsi visual yang mencekik akan lebih teredusir jika pandangan kita lebih dilokalisir pada bidang yang lebih kecil. Pada saat itulah terlihat struktur bangunan warna dalam lukisan Kuhna, yakni sebuah susunan bentuk yang berbeda-beda dengan warna yang berbeda. Tarikan garis tebal tapi pendek, bentuk-bentuk bundar dalam ukuran berbeda dalam warna-warna kontras menyatu menjadi sebuah kolase warna. Bentuk-bentuk itu tak berpretensi mewakili sebuah bentuk tertentu. Tapi, dengan sedikit kemampuan berfantasi, bentuk-bentuk ciptaan Kuhna mirip mikroorganisme yang terlihat dari balik kaca mikroskop atau mirip jentik-jentik nyamuk yang menggeliting di dalam air.

Kuhna menyajikan struktur bentuk dan warna secara berlapis-lapis, tampak rumit, dengan komposisi yang sangat diperhitungkan. Meski setiap lukisan terdiri dari bermacam-macam warna yang berdiri secara independen, komposisi yang sangat ketat menghasilkan kecenderungan pada warna tertentu pada setiap lukisan. Dalam pandangan yang terfokus, komposisi bentuk dan warna tampak mati. Tapi, ketika jarak pandang melebar, muncul pola-pola gerakan beraturan pada arah tertentu. Pada karyanya berjudul Genaro, susunan garis-garis merah di atas warna biru mencitrakan dinamika gerak sentrifugal yang terpola pada seluruh bidang kanvas. Kadang garis-garis merah itu melebar, tapi tetap dalam pola garis gerak yang sama. Pola gerak sentrifugal ini berimpitan pada bagian tepi lukisan, tapi semakin ke tengah semakin berjarak.

Akhirnya, khalayak memang disuguhi hasil olahan elemen rupa dengan perhitungan yang ketat soal warna, komposisi, dan bentuk dalam ruang dua dimensi. Semua hadir nyaris tanpa luapan emosi. Dan inilah garapan khas kaum formalis yang masih tersisa.

R. Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus