Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Panggung Penerus Kartini

17 April 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAUT wajah Dian Sastrowardoyo berubah 180 derajat hanya dalam empat menit. Di "Panggung Para Perempuan Kartini" di Museum Bank Indonesia, Jakarta, Selasa pekan lalu, ia mengawali monolog dengan senyum.

Dengan logat Jawa, Dian menceritakan luapan kegembiraan Kartini yang bermimpi terbang ke Eropa menemui sahabat penanya, Nyonya Abendanon-Mandri dan Stella Zeehandelaar, serta aktivis perempuan Cécile de Jong dan Hilda van Suylenburg. Kartini juga ingin melahap berbagai ilmu untuk diajarkan kepada perempuan di Jawa. Binar mata itu tersapu tangis saat Dian menceritakan Kartini yang harus menerima pinangan Bupati Rembang yang sudah beristri tiga, sekaligus mengubur impiannya meraih beasiswa ke Belanda. "Ini semua bukan saja akan menghadang cita-citaku, tapi juga melawan semua yang telah aku perangi," ucap Dian, 35 tahun, dengan suara bergetar.

Acara yang diselenggarakan Tempo bersama Bank Indonesia itu menghadirkan 28 perempuan yang membacakan surat dan pemikiran Kartini. Di antaranya Deputi Gubernur Bank Indonesia Rosmaya Hadi; Direktur Utama PT Kustodian Sentral Efek Indonesia Friderica Widyasari Dewi; Bupati Nunukan Asmin Laura Hafid; Bupati Pandeglang Irna Narulita; presenter Najwa Shihab; aktris Jajang C. Noer, Happy Salma, Raline Shah, Maudy Ayunda, dan Chelsea Islan; serta pegiat pendidikan Butet Manurung. Pengecualian berlaku bagi Dian Sastrowardoyo, Acha Septriasa, dan Christine Hakim. Ketiga bintang film Kartini karya Hanung Bramantyo itu membaca monolog tulisan wartawan Tempo, Leila S. Chudori.

Perhelatan dimulai dengan biduan dan komposer Gita Gutawa yang melantunkan surat tentang sajak, gamelan, dan nyanyian. Kartini menyinggung gamelan yang tidak pernah riang gembira, meski dimainkan di tengah pesta. Gita, 23 tahun, membacakan surat bertanggal 27 Oktober 1902 yang ditujukan kepada Nyonya Abendanon-Mandri.

Tempo memilih surat dengan tema sesuai dengan latar belakang pembacanya. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, misalnya, kebagian tema radikalisme agama. Pada 21 Juli 1902, Kartini menuliskan kegundahannya akan orang-orang yang menghina pemeluk agama lain. "Agama seharusnya menjauhkan kita dari berbuat dosa, tapi berapa banyak dosa yang diperbuat atas nama agama itu," ujar Khofifah, yang mengaku bergetar saat pertama membaca teks surat itu.

Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi membacakan surat Kartini tentang keinginannya belajar di Belanda. Retno mengatakan Tempo memilihkan surat itu karena ia pernah menjadi Duta Besar untuk Kerajaan Belanda. Retno memaksakan diri hadir malam itu meski menderita gejala tifus. Dua hari kemudian, ia dirawat di rumah sakit.

Menteri Kesehatan Nila Djuwita Farid Moeloek mengatakan surat Kartini tentang bahaya minuman keras dan candu tertanggal 25 Mei 1899 merupakan peringatan, terutama bagi generasi muda sekarang. Sedangkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang tampil terakhir, membacakan kritik Kartini akan ketidakadilan sistem perpajakan Belanda. Kartini menulis surat itu di Rembang, 10 Agustus 1904, 38 hari sebelum dia meninggal pada usia 25 tahun akibat komplikasi setelah persalinan.

Seusai pembacaan surat, Sri Mulyani mengatakan kas Hindia Belanda menggelembung karena pajak besar untuk warga miskin. "Moga-moga Indonesia menjadi kaya tanpa harus memajaki orang kecil, tapi memajaki orang kaya," katanya, disambut tepuk tangan hadirin.

Ada juga musikalisasi puisi oleh Kartika Jahja, musikus sekaligus aktivis perempuan. Kartika, 37 tahun, meminjam Ibu Bumi, tembang yang kerap didaras para petani dalam aksi protes pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Alasannya, lagu itu bertema kelestarian lingkungan, selaras dengan sajak kekaguman Kartini terhadap alam. "Jadi pas. Ditambah Kartini berasal dari Jepara, yang dekat Kendeng," ujarnya.

Pembacaan surat diselingi denting harpa Mesty Ariotedjo. Musikus yang juga dokter dan model ini membawa Gelap Kan Sirna karya Tohpati dan lagunya sendiri, Lukis Indah Mimpi. "Karena sesuai dengan buku Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, dan banyaknya mimpi beliau," kata Mesty, 27 tahun.

Rangkaian peringatan hari lahir Kartini ini nyaris batal karena tenda panggung roboh akibat hujan deras, setengah jam sebelum jadwal mulai acara. Panitia memindahkan perhelatan ke ruang pameran seluas lapangan basket di lantai dua gedung yang dibangun pada 1828 itu. "Acara jadi lebih hangat, seperti camping bersama keluarga," ujar Kartika Jahja.


1. Dian Sastrowardoyo saat membacakan surat Kartini.
2. Sri Mulyani dan Chelsea Islan.
3. Mesty Ariotedjo.
4. Mesty Ariotedjo (kiri), Gita Gutawa, Maudy Ayunda, Dian Sastrowardoyo, Najwa Shihab, dan Happy Salma.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus