Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jalan Tengah Macron

Emmanuel Macron bertengger dalam jajaran kandidat unggulan Presiden Prancis. Ia merangkul pemilih dari spektrum kanan dan kiri.

17 April 2017 | 00.00 WIB

Jalan Tengah Macron
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

HANYA dalam waktu satu tahun, nama Emmanuel Macron melejit. Sejak mendeklarasikan En Marche!, wadah politik yang dibentuknya pada 6 April 2016, ketenaran pria 39 tahun itu membubung tinggi. Macron kini salip-menyalip dengan Marine Le Pen-dari partai ekstrem kanan Front National-sebagai kandidat presiden terfavorit di Prancis.

Sorak-sorai menyambut Macron dalam setiap pidatonya. Para pendukungnya, yang umumnya telah jengah dengan rezim sosialis François Hollande tapi waswas terhadap kebangkitan fasisme melalui Le Pen, melihat Macron sebagai alternatif. "Dia pasti bisa menang (melawan Le Pen)," kata Gilles Iltis, 60 tahun, yang datang pada acara kampanye Macron di Toulon, kota di Prancis selatan, Februari lalu.

Di Kota Lyon, kampanye Macron di stadion penuh sesak. Ribuan orang antusias menyimak pidato pria asal Amiens itu. "Dia punya ide-ide segar," ujar Geneviève Kepenekian, 70 tahun, pensiunan dokter. Pierre-Alexandre Le Guerm, 35 tahun, menilai Macron seorang pemberani. "Apalagi kini ideologi sedang membelah rakyat," ucapnya.

Macron memilih jalan tengah, ceruk yang terjepit oleh spektrum politik tradisional Prancis. Hampir enam dasawarsa, rezim di Prancis berganti dari Partai Sosialis ke Partai Republik, dan sebaliknya. Macron menyebutnya sistem politik usang yang berbasis klan. "Saya ingin mendamaikan ’dua Prancis’ yang terlalu lama tumbuh terpisah," katanya kepada pendukungnya di Lyon yang menyambut dengan berpekik, "Macron, Presiden!"

Situasi politik di Eropa, yang tengah dirundung populisme kanan, memberi angin bagi Macron. Ia menentang Le Pen, yang anti-Uni Eropa, anti-imigran, dan anti-globalisasi. Dengan mengusung jargon pro-bisnis dan pro-Uni Eropa, Macron berharap bisa merebut hati mereka yang membenci Le Pen.

Macron juga ingin mencuri suara pendukung konservatif Partai Republik dan Partai Sosialis. Sebagian pendukung Partai Sosialis, misalnya, kurang sreg terhadap kandidat pilihan partai mereka, Benoît Hamon, yang dianggap terlalu "kiri". Apalagi program kerja Hamon-yang ingin mengoreksi kesalahan pendahulunya, François Hollande, yang telah membawa Prancis menuju stagnasi ekonomi dalam tiga tahun terakhir-dinilai terlalu muluk.

Tak sedikit orang yang mencemooh Macron. Gerakan En Marche!, yang berarti "Bergerak Maju", menjadi sasaran olok-olok. "Bergerak maju? Menuju apa?" ujar mereka yang skeptis. Kehidupan pribadi Macron pun tak luput dari sorotan. Pernikahannya dengan Brigitte Trogneux, gurunya semasa sekolah menengah atas di La Providence, Amiens, yang lebih tua 24 tahun, membuat Macron jadi bahan sindiran.

Sentilan menohok juga datang dari Jean-Christophe Cambadélis, tokoh kawakan dan Sekretaris Partai Sosialis. "Macron tidak ingin mendefinisikan dirinya sendiri, dan itu menjadi masalah," katanya baru-baru ini. "Sementara itu, segala ucapannya hampa belaka."

Macron tentu tak melupakan Partai Sosialis dan François Hollande. Berkat Hollande, nama Macron dikenal di kancah politik nasional. Hollande pernah merekrut eks bankir di Rothschild itu sebagai wakil kepala staf presiden dan, belakangan, menteri keuangan. Toh, Macron memilih menjadi seorang sentris. Pada September tahun lalu, ia mundur dari kabinet dan mencalonkan diri dari jalur independen dua bulan kemudian.

Macron tercatat sebagai calon termuda di antara 11 kandidat presiden yang bakal bertarung dalam putaran pertama pemilihan pada 23 April mendatang. Ia juga masuk daftar lima besar kandidat terkuat, berjejer dengan Le Pen, François Fillon dari Partai Republik, Benoît Hamon dari Partai Sosialis, dan Jean-Luc Mélenchon, calon dari partai ekstrem kiri, Partai Kiri. "Saya ingin memenangi suara yang positif," ujar Macron.

Lahir dari keluarga dokter, Macron justru memilih profesi sebagai pejabat publik. Ia lulusan Sekolah Administrasi Nasional-kampus bergengsi yang mencetak tiga Presiden Prancis: Hollande, Jacques Chirac, dan Valéry Giscard d’Estaing. Karier gemilang membuat Macron optimistis, meski ia minim pengalaman politik. "Jika Macron, yang baru terjun di politik selama dua tahun, terpilih, itu menakjubkan," kata Edouard Lecerf dari Kantar Public.

MAHARDIKA SATRIA HADI (POLITICO, THE GUARDIAN, FRANCE 24, THE LOCAL)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus