Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Perilaku burung

Hadi sukadi alikodra, meneliti perilaku burung liar di hutan suaka margasatwa pulau bali. meneliti benteng di ujung kulon.(pt)

12 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIAM-diam ia menyelusup ke dalam hutan itu.Hati-hati, agar tidak mengganggu para penghuninya. Hutan itu masih perawan, hampir tak pernah dijamah manusia. Ia tidak menyandang sepucuk bedil, sebab ia bukan seorang pemburu. Ia hanya membawa sebuah teropong, berikut alat-alat tulis dan perlengkapan berkemah. DI hutan suaka margasatwa di Pulau Ball itu, Hadi Sukadi Alikodra meneliti peri laku jenis burung liar yang amat langka, yaitu jalak putih. Dalam istilah ilmiahnya burung ini disebut Leucopsar rothschildistresm. Penyebaran burung jenis ini ternyata hanya di Pulau Dewata tersebut. Karena termasuk burung yang amat langka itulah, Alikodra tertarik menelitinya. "Apalagi populasinya juga sangat menurun. Penelitian itu barangkali bisa membantu melestarikannya," kata Alikodra di rumahnya, Desa Babakan, Kecamatan Ciomas, Bogor. Katanya, sekitar 5-6 tahun lalu masih terdapat sekitar 150 ekor burung jenis itu. Tahun lalu jumlah tersebut sudah berkurang. Insinyur IPB jurusan kehutanan (1974) yang lahir di Indramayu ini semula bermaksud mengajar statistik di almamaternya. Sayang ia tidak kebagian tempat. Satu-satunya lowongan yang masih ada ialah sebagai dosen pada Fakultas Kehutanan : jurusan Perlindungan Alam dan Pemilihan Margasatwa, yang ketika itu "tidak laku". Namun justru di sinilah ia merasa mendapat tantangan untuk berprestasi. Ketika mengikuti kursus perlindungan alam - yang kelak menjadi Pusat Studi Lingkungan IPB - ia ditawari mengambil gelar MA di AS dengan bea siswa Ford Foundation. Ia menolak, "sebab saya ingin mencari dan memecahkan masalah yang ada di sini, dibentuk oleh alam Indonesia sendiri," kata Alikodra yang kini 35 tahun. Itulah sebabnya ia terjun ke hutan di Bali bagian barat meneliti jalak putih. Mula-mula, seperti biasa, ia melakukan studi literatur tentang sifat-sifat jalak putih, lalu mempelajari lapangan tempat sata tersebut bermukim. Ia juga mempelajari berbagai peta seperti peta tanah, peta iklim dan peta vegetasi. "Dari situ bisa diambil hipotesa di mana jalak putih bermukim," ujarnya. Selama 1 bulan ia melakukan survei dilapangan, disesuaihan dengan peta yang dibuatnya. Kemudian, selama 3 bulan berikutnya, tak henti-hentinya ia mengamati gerak-gerik jalak putih. "Saya ikuti ke mana saja mereka terbang," tuturnya. Tapi seluruh penelitian di lapangan berlangsung tak kurang dari 1 tahun, di musim kemarau maupun penghujan. Ditambah penelitian tersebut semuanya memakan waktu 2 tahun (1976-1978). Hasilnya dengan mengumpulkan bahan-bahan tertulis, membuahkan gelar MA. Begitu ia menyandang gelar tersebut, datang pula tawaran Ford Foundation untuk mengambil gelar doktor. Alikodra, bapak dari 3 anak itu, tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia memilih meneliti banteng (bosjavanicus), satwa liar yang juga amat langka di hutan suaka Ujung Kulon, Jawa Barat. Selama 4 tahun melakukan penelitian secara kcseluruhan, tak kurang dari 4 bulan dalam setahun Alihodra berada di lapangan, di musim kemarau maupun penghujan. Sangat jarang pulang ke rumahnya di Bogor. Setiap Sabtu tan Minggu ia mangkal di Pulau Peutiang. "Kami sekeluarga sudah terbiasa ditinggal Mas Hadi," ujar Emi Karminarsih, istrinya yang juga sarjana kehutanan. Seperti ketika meneliti jalak putih, dalam penelitian terhadap banteng kali ini Alikodra juga mengamati binatang itu kemana pun mereka pergi. Sering-sering ia harus mengawasi mereka dari pohon-pohon yang tinggi. Seperti halnya di Bali, di Ujung Kulon pun Alikodra harus menaati "aturan" yang berlaku, agar tidak mengganggu ekosistem, yaitu tidak membuang kotoran sembarangan. "Di Bali tidak boleh kencing sembarangan, sedang di Ujung Kulon tidak boleh kencing sambil berdiri, melainkan harus sambil jongkok," katanya. Barangkali agar tidak terlalu berisik. Suatu saat ketika Alikodra sedang asyik nongkrong di pohon, mendadak ia ingin buang air kecil. "Saya jadi tegang dan kebingungan bagaimana caranya kencing. Padahal ketika itu saya sudah bawa kantung plastik," ujarnya sambil tertawa. Alikodra yang kini menjabat ketua Departeman Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan IPB itu berkesimpulan, banteng memerlukan padang rumput bukan sekedar sebagai sumber makanan, melainkan juga sebagai sarana untuk membesarkan keturunan dan membentuk kelompok sosialnya. "Di malam hari kadang-kadang mereka masuk hutan belukar untuk mencari makanan tambahan," ujar Alikodra lagi yang juga menjadi staf ahli menteri negara PPLH. Ia sudah menulis 4 buah buku mengenai pengelolaan kawasan konservasi dan inventarisasi satwa liar. Ada beberapa ilmuwan yang berhasil menjadi ahli dalam salah satu bidang tapi tidak dikenal secara luas di tanah airnya sendiri. Tapi justru dikenal di kalangan ilmuwan d Iuar negeri. Salah seorang di antaranya ialah Sukristijono Sukardjo, 30 tahun, satu-satunya ahli hutan bakau (mangrove) di Indonesia. Sehari-hari ia bekerja sebagai staf peneliti pada Herbarium Bogoriense, LBN-LIPI, Bogor. Setiap kali ada seminar mengenai hutan bakau di luar negeri, Sukristijono seorang saja yang berangkat. Karena di Indonesia memang hanya dia sendiri yang dikenal ahli dalam bidang ini. Laki-laki kelahiran Sala ini memang pernah selama 5 tahun mengakrabi mangrove, antara lain di kawasan Banyuasin, Kuala Sekampung, Sumatera Selatan, delta Cimanuk di Indramayu dan beberapa pantai di Kalimantan: Lima hari dalam seminggu, bahkan kading sampai 2 bulan, ia menjadi tarzan bergumul dengan lumpur dan : merelakan dirinya dimangsa nyamuk. Tamatan Fakultas Pertanian Universitas Satya Wacana, Salaiga, ini sedang mempersiapkan disertasi mengenai hutan bakau untuk program gelar doktor di Universitas Mississippi, AS. Ia memang ingin menjadi ilmuwan dalam bidang tersebut. "Dan saya mgin meneliti hal-hal yang belum banyak diteliti oleh para ahli," kata Sukristijono di rumah kontrakannya di kawasan Cipaku, Bogor. Sebelumnya ia pernah selama 3 tahun meneliti hutan pegunungan. Dibantu 2 atau 3 orang, dengan sebuah perahu Kris menyusuri pantai. Ia mengukur diameter setiap pohon bakau, dipotong, lantas ditimbang. Rontokan daun bakau juga ia kumpulkan dan ia timbang. Ia juga mengumpulkan contoh batang, daun, akar serta tanah untuk dianalisa di laboratorium di Bogor. Suatu kali ia terpaksa semalam suntuk berada di hutan, tak bisa kembali ke pondoknya karena air surut. Ini gara-gara ia salah hitung datangnya pasang surut air. Seperti halnya para peneliti yang lain Kris juga jarang berada di rumah. "Kalau lihat Mas Kris pulang dari hutan bisa pangling deh," ujar Tiktik Widayanti, istrinya, yang sedang menunggu kelahiran anaknya yang pertama. "Kulitnya hitam kelam," tambah calon ibu yang juga sarjana sastra Inggris IKIP Bandung itu. Mereka menikah tahun lalu. Bagi Kris, kayu bakau merupakan sumber daya alam yang perlu mendapat perhatian, apalagi begitu banyak penduduk pantai yang menggunakannya sebagai bahan bakar. Saat ini bakau telah meniadi bahan komoditi ekspor sebagai bahan mentah industri kertas (pulp) dan bahan penyamak kulit. Selebihnya, perairan tempat tumbuh tanaman jenis ini merupakan sarana yang baik bagi ikan dan udang buat berkembangbiak. Sedangkan daun bakau bisa digunakan sebagai pupuk hijau. Di seluruh Indonesia membentang sekitar 4,25 juta ha hutan bakau, yang "menjanjikan" sumber kekayaan yang melimpah. Tak heran bila di Kalimatan saja misalnya kini terdapat 13 pengusaha konsesi hutan bakau. "Hanya yang jadi masalah akhir-akhir ini ialah buangan minyak dari tanker yang mencemari rumpun bakau," kata Kris. "Sekarang ini saya sedang memikirkan cara penghijauan yang cepat," tambahnya. Di Bogor juga ada seorang ahli lain yang agaknya juga lebih dikenal namanya di luar negeri ketimbang di sini. Ia berhasil menemukan 5 jenis plankton. Bahkan namanya diabadikan sebagai nama ilmiah dari 5 jenis plankton temuannya, dalam bahasa Latin. Ia adalah Sachlan, 72 tahun, terkenal dengan panggilan akrab Mas Sichlan. Di zaman pendudukan Jepang ia pernah kuliah di Fakultas Kedokteran di Jakarta sampai tingkat III. "Teman seangkatan saya waktu itu Dr. Soebandrio, bekas menlu di masa Orde Lama yang terkenal itu," kata Mas Sachlan di rumahnya di pinggir jalan menuju Ciapus-Ciomas, Bogor. Yang disebut plankton ialah jasad-jasad renik yang hidup dalam air dan merupakan makanan dasar semua kehidupan di air. Hidupnya melayang dalam air. Tanpa adanya plankton, jenis-jenis ikan tak mungkin bisa hidup. Di seluruh dunia terdapat tak kurang dari 15.000 jenis plankton, ada jenis yang dapat dimakan oleh manusia seperti Chronella pyrenoides. "Di negeri-negeri maju seperti Jepang, AS dan US jenis Chronella tersebut sudah dikembangkan untuk makanan manusia, misalnya untuk kue," kata Mas Sachlan. "Rasanya tidak enak, tapi kandungan gizinya komplit kecuali vitamin C," tambahnya. Dalam usianya yang sudah uzur, Mas Sachlan yang lahir diPati, Jawa Tengah ini masih kelihatan segar. Ia masih sanggup memberi kuliah di IPB dan mengajar di Sekolah Menengah Umum Perikanan (Bogor), Unpad (Bandung), Insoed (Purwokerto), Undip (Semarang), UI dan Unnas Jakarta). Setiap hari ia mondar-mandir hanya Sabtu dan Minggu saja di rumah. "Saya ini sudah kebal terhadap angin," ujar Sachlan yang lahir bertepatan dengan melintasnya komet Hally yang masa edarny 75 tahun sekali. Itulah sebabnya nama kecilnya dulu Suhali. "Mudah-mudahan tahun 1986 nanti saya masih bisa melihat komet Hally lagi," katanya. Menyukai plankton sejak bekerja di Lembaga Penelitian Perikanan Darat. Boor, pada 1941, Mas Sachlan sangat tertarik pada jenis plankton yang disebut desmidiacae yang bentuknya bagus-bagus seperti bintang-bintang di pundak para jenderal. Selama 6 tahun sejak 1951 dalam perjalanan dinas ia meneliti plankton di perairan Jawa, Bali, Sumatera dan Kalimantan. Ketika itulah ia menemukan 5 jenis desmidiacae yang khas Indonesia. Di negeri-negeri maju, jenis desmidiacae yang lain sudah diinventarisasi, sehingga plankton temuan Mas Sachlan menambah koleksi yang selama ini sudah ditemukan oleh para ahli di dunia. Lima jenis desnacae tersebut ia kirimkan ke Universitas Michigan, AS. Sebab menurut Mas Sachlan "di sana berkumpul para ahli internasional di bidang plankton." Akhirnya temuan-temuan tersebut mendapat nama baru, dengan menambahkan nama penemunya sebagai satu kehormatan ilmiah: Arthrodesmus Sachlanii, Ichtyodontum Sachlanii Micrasterias lux var. Sachlanii Euastrum Sachlanii dan Micrasterias torreyi Bail var. Sachlanii. Dengan demikian Mas Sachlan boleh dikata merupakan "bapak plankton" Indonesia. Sebab selama ini hanya orang asing saja yang meneliti plankton di Indonesia - seperti Bernard C.H., bekas Direktur Kebun Raya Bogor pada 1908. Menguasai bahasa Belanda, Inggris dan Jerman, Mas Sachlan pernah belajar di Jepang dan AS untuk mendalami bidangnya. "Di Jepang saya tak melewatkan kesempatan untuk mendaki Gunung Fuji," tutur bapak dari 4 anak ini. Tiga bukunya, Planktonologi, Parasitologi Ikan dan Limnologi menjadi buku wajib di beberapa perguruan tinggi tempat ia mengajar. Di luar keasyikannya mengintip mlkroskop meneliti plankton, Mas Sachlan juga menggemari fotografi. Ia memiliki tak kurang dari 50 album yang menyimpan hasil jepretannya. Di balik bayang-bayang jasad renik desmidiacae yang bentuknya seperti bintang-bintang itu, di luar dugaan, Mas Sachlan ternyata memimpikan bisa memenangkan hadiah pertama Undian Harapan sebesar Rp 120 juta. Setiap bulan ia selalu membeli 2 lembar kupon undian tersebut. "Kalau berhasil menang, saya ingin keliling dunia. Dan langsung naik haji," ujarnya sambil tertawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus