DIAM-diam ia menyelusup ke dalam hutan itu.Hati-hati, agar tidak
mengganggu para penghuninya. Hutan itu masih perawan, hampir tak
pernah dijamah manusia. Ia tidak menyandang sepucuk bedil, sebab
ia bukan seorang pemburu. Ia hanya membawa sebuah teropong,
berikut alat-alat tulis dan perlengkapan berkemah.
DI hutan suaka margasatwa di Pulau Ball itu, Hadi Sukadi
Alikodra meneliti peri laku jenis burung liar yang amat langka,
yaitu jalak putih. Dalam istilah ilmiahnya burung ini disebut
Leucopsar rothschildistresm. Penyebaran burung jenis ini
ternyata hanya di Pulau Dewata tersebut.
Karena termasuk burung yang amat langka itulah, Alikodra
tertarik menelitinya. "Apalagi populasinya juga sangat menurun.
Penelitian itu barangkali bisa membantu melestarikannya," kata
Alikodra di rumahnya, Desa Babakan, Kecamatan Ciomas, Bogor.
Katanya, sekitar 5-6 tahun lalu masih terdapat sekitar 150 ekor
burung jenis itu. Tahun lalu jumlah tersebut sudah berkurang.
Insinyur IPB jurusan kehutanan (1974) yang lahir di Indramayu
ini semula bermaksud mengajar statistik di almamaternya. Sayang
ia tidak kebagian tempat. Satu-satunya lowongan yang masih ada
ialah sebagai dosen pada Fakultas Kehutanan : jurusan
Perlindungan Alam dan Pemilihan Margasatwa, yang ketika itu
"tidak laku". Namun justru di sinilah ia merasa mendapat
tantangan untuk berprestasi.
Ketika mengikuti kursus perlindungan alam - yang kelak menjadi
Pusat Studi Lingkungan IPB - ia ditawari mengambil gelar MA di
AS dengan bea siswa Ford Foundation. Ia menolak, "sebab saya
ingin mencari dan memecahkan masalah yang ada di sini, dibentuk
oleh alam Indonesia sendiri," kata Alikodra yang kini 35 tahun.
Itulah sebabnya ia terjun ke hutan di Bali bagian barat meneliti
jalak putih. Mula-mula, seperti biasa, ia melakukan studi
literatur tentang sifat-sifat jalak putih, lalu mempelajari
lapangan tempat sata tersebut bermukim. Ia juga mempelajari
berbagai peta seperti peta tanah, peta iklim dan peta vegetasi.
"Dari situ bisa diambil hipotesa di mana jalak putih bermukim,"
ujarnya.
Selama 1 bulan ia melakukan survei dilapangan, disesuaihan
dengan peta yang dibuatnya. Kemudian, selama 3 bulan berikutnya,
tak henti-hentinya ia mengamati gerak-gerik jalak putih. "Saya
ikuti ke mana saja mereka terbang," tuturnya. Tapi seluruh
penelitian di lapangan berlangsung tak kurang dari 1 tahun, di
musim kemarau maupun penghujan.
Ditambah penelitian tersebut semuanya memakan waktu 2 tahun
(1976-1978). Hasilnya dengan mengumpulkan bahan-bahan tertulis,
membuahkan gelar MA. Begitu ia menyandang gelar tersebut, datang
pula tawaran Ford Foundation untuk mengambil gelar doktor.
Alikodra, bapak dari 3 anak itu, tidak menyia-nyiakan
kesempatan. Ia memilih meneliti banteng (bosjavanicus), satwa
liar yang juga amat langka di hutan suaka Ujung Kulon, Jawa
Barat.
Selama 4 tahun melakukan penelitian secara kcseluruhan, tak
kurang dari 4 bulan dalam setahun Alihodra berada di lapangan,
di musim kemarau maupun penghujan.
Sangat jarang pulang ke rumahnya di Bogor. Setiap Sabtu tan
Minggu ia mangkal di Pulau Peutiang. "Kami sekeluarga sudah
terbiasa ditinggal Mas Hadi," ujar Emi Karminarsih, istrinya
yang juga sarjana kehutanan.
Seperti ketika meneliti jalak putih, dalam penelitian terhadap
banteng kali ini Alikodra juga mengamati binatang itu kemana pun
mereka pergi. Sering-sering ia harus mengawasi mereka dari
pohon-pohon yang tinggi. Seperti halnya di Bali, di Ujung Kulon
pun Alikodra harus menaati "aturan" yang berlaku, agar tidak
mengganggu ekosistem, yaitu tidak membuang kotoran sembarangan.
"Di Bali tidak boleh kencing sembarangan, sedang di Ujung Kulon
tidak boleh kencing sambil berdiri, melainkan harus sambil
jongkok," katanya. Barangkali agar tidak terlalu berisik. Suatu
saat ketika Alikodra sedang asyik nongkrong di pohon, mendadak
ia ingin buang air kecil. "Saya jadi tegang dan kebingungan
bagaimana caranya kencing. Padahal ketika itu saya sudah bawa
kantung plastik," ujarnya sambil tertawa.
Alikodra yang kini menjabat ketua Departeman Konservasi Sumber
Daya Hutan Fakultas Kehutanan IPB itu berkesimpulan, banteng
memerlukan padang rumput bukan sekedar sebagai sumber makanan,
melainkan juga sebagai sarana untuk membesarkan keturunan dan
membentuk kelompok sosialnya. "Di malam hari kadang-kadang
mereka masuk hutan belukar untuk mencari makanan tambahan," ujar
Alikodra lagi yang juga menjadi staf ahli menteri negara PPLH.
Ia sudah menulis 4 buah buku mengenai pengelolaan kawasan
konservasi dan inventarisasi satwa liar.
Ada beberapa ilmuwan yang berhasil menjadi ahli dalam salah satu
bidang tapi tidak dikenal secara luas di tanah airnya sendiri.
Tapi justru dikenal di kalangan ilmuwan d Iuar negeri. Salah
seorang di antaranya ialah Sukristijono Sukardjo, 30 tahun,
satu-satunya ahli hutan bakau (mangrove) di Indonesia.
Sehari-hari ia bekerja sebagai staf peneliti pada Herbarium
Bogoriense, LBN-LIPI, Bogor.
Setiap kali ada seminar mengenai hutan bakau di luar negeri,
Sukristijono seorang saja yang berangkat. Karena di Indonesia
memang hanya dia sendiri yang dikenal ahli dalam bidang ini.
Laki-laki kelahiran Sala ini memang pernah selama 5 tahun
mengakrabi mangrove, antara lain di kawasan Banyuasin, Kuala
Sekampung, Sumatera Selatan, delta Cimanuk di Indramayu dan
beberapa pantai di Kalimantan: Lima hari dalam seminggu, bahkan
kading sampai 2 bulan, ia menjadi tarzan bergumul dengan lumpur
dan : merelakan dirinya dimangsa nyamuk.
Tamatan Fakultas Pertanian Universitas Satya Wacana, Salaiga,
ini sedang mempersiapkan disertasi mengenai hutan bakau untuk
program gelar doktor di Universitas Mississippi, AS. Ia memang
ingin menjadi ilmuwan dalam bidang tersebut. "Dan saya mgin
meneliti hal-hal yang belum banyak diteliti oleh para ahli,"
kata Sukristijono di rumah kontrakannya di kawasan Cipaku,
Bogor. Sebelumnya ia pernah selama 3 tahun meneliti hutan
pegunungan.
Dibantu 2 atau 3 orang, dengan sebuah perahu Kris menyusuri
pantai. Ia mengukur diameter setiap pohon bakau, dipotong,
lantas ditimbang. Rontokan daun bakau juga ia kumpulkan dan ia
timbang. Ia juga mengumpulkan contoh batang, daun, akar serta
tanah untuk dianalisa di laboratorium di Bogor. Suatu kali ia
terpaksa semalam suntuk berada di hutan, tak bisa kembali ke
pondoknya karena air surut. Ini gara-gara ia salah hitung
datangnya pasang surut air.
Seperti halnya para peneliti yang lain Kris juga jarang berada
di rumah. "Kalau lihat Mas Kris pulang dari hutan bisa pangling
deh," ujar Tiktik Widayanti, istrinya, yang sedang menunggu
kelahiran anaknya yang pertama. "Kulitnya hitam kelam," tambah
calon ibu yang juga sarjana sastra Inggris IKIP Bandung itu.
Mereka menikah tahun lalu.
Bagi Kris, kayu bakau merupakan sumber daya alam yang perlu
mendapat perhatian, apalagi begitu banyak penduduk pantai yang
menggunakannya sebagai bahan bakar. Saat ini bakau telah meniadi
bahan komoditi ekspor sebagai bahan mentah industri kertas
(pulp) dan bahan penyamak kulit. Selebihnya, perairan tempat
tumbuh tanaman jenis ini merupakan sarana yang baik bagi ikan
dan udang buat berkembangbiak. Sedangkan daun bakau bisa
digunakan sebagai pupuk hijau.
Di seluruh Indonesia membentang sekitar 4,25 juta ha hutan
bakau, yang "menjanjikan" sumber kekayaan yang melimpah. Tak
heran bila di Kalimatan saja misalnya kini terdapat 13 pengusaha
konsesi hutan bakau. "Hanya yang jadi masalah akhir-akhir ini
ialah buangan minyak dari tanker yang mencemari rumpun bakau,"
kata Kris. "Sekarang ini saya sedang memikirkan cara penghijauan
yang cepat," tambahnya.
Di Bogor juga ada seorang ahli lain yang agaknya juga lebih
dikenal namanya di luar negeri ketimbang di sini. Ia berhasil
menemukan 5 jenis plankton. Bahkan namanya diabadikan sebagai
nama ilmiah dari 5 jenis plankton temuannya, dalam bahasa Latin.
Ia adalah Sachlan, 72 tahun, terkenal dengan panggilan akrab Mas
Sichlan. Di zaman pendudukan Jepang ia pernah kuliah di Fakultas
Kedokteran di Jakarta sampai tingkat III. "Teman seangkatan saya
waktu itu Dr. Soebandrio, bekas menlu di masa Orde Lama yang
terkenal itu," kata Mas Sachlan di rumahnya di pinggir jalan
menuju Ciapus-Ciomas, Bogor.
Yang disebut plankton ialah jasad-jasad renik yang hidup dalam
air dan merupakan makanan dasar semua kehidupan di air. Hidupnya
melayang dalam air. Tanpa adanya plankton, jenis-jenis ikan tak
mungkin bisa hidup. Di seluruh dunia terdapat tak kurang dari
15.000 jenis plankton, ada jenis yang dapat dimakan oleh manusia
seperti Chronella pyrenoides. "Di negeri-negeri maju seperti
Jepang, AS dan US jenis Chronella tersebut sudah dikembangkan
untuk makanan manusia, misalnya untuk kue," kata Mas Sachlan.
"Rasanya tidak enak, tapi kandungan gizinya komplit kecuali
vitamin C," tambahnya.
Dalam usianya yang sudah uzur, Mas Sachlan yang lahir diPati,
Jawa Tengah ini masih kelihatan segar. Ia masih sanggup memberi
kuliah di IPB dan mengajar di Sekolah Menengah Umum Perikanan
(Bogor), Unpad (Bandung), Insoed (Purwokerto), Undip
(Semarang), UI dan Unnas Jakarta). Setiap hari ia mondar-mandir
hanya Sabtu dan Minggu saja di rumah. "Saya ini sudah kebal
terhadap angin," ujar Sachlan yang lahir bertepatan dengan
melintasnya komet Hally yang masa edarny 75 tahun sekali.
Itulah sebabnya nama kecilnya dulu Suhali. "Mudah-mudahan tahun
1986 nanti saya masih bisa melihat komet Hally lagi," katanya.
Menyukai plankton sejak bekerja di Lembaga Penelitian Perikanan
Darat. Boor, pada 1941, Mas Sachlan sangat tertarik pada jenis
plankton yang disebut desmidiacae yang bentuknya bagus-bagus
seperti bintang-bintang di pundak para jenderal. Selama 6 tahun
sejak 1951 dalam perjalanan dinas ia meneliti plankton di
perairan Jawa, Bali, Sumatera dan Kalimantan. Ketika itulah ia
menemukan 5 jenis desmidiacae yang khas Indonesia.
Di negeri-negeri maju, jenis desmidiacae yang lain sudah
diinventarisasi, sehingga plankton temuan Mas Sachlan menambah
koleksi yang selama ini sudah ditemukan oleh para ahli di dunia.
Lima jenis desnacae tersebut ia kirimkan ke Universitas
Michigan, AS. Sebab menurut Mas Sachlan "di sana berkumpul para
ahli internasional di bidang plankton."
Akhirnya temuan-temuan tersebut mendapat nama baru, dengan
menambahkan nama penemunya sebagai satu kehormatan ilmiah:
Arthrodesmus Sachlanii, Ichtyodontum Sachlanii Micrasterias
lux var. Sachlanii Euastrum Sachlanii dan Micrasterias
torreyi Bail var. Sachlanii. Dengan demikian Mas Sachlan boleh
dikata merupakan "bapak plankton" Indonesia. Sebab selama ini
hanya orang asing saja yang meneliti plankton di Indonesia -
seperti Bernard C.H., bekas Direktur Kebun Raya Bogor pada
1908.
Menguasai bahasa Belanda, Inggris dan Jerman, Mas Sachlan pernah
belajar di Jepang dan AS untuk mendalami bidangnya. "Di Jepang
saya tak melewatkan kesempatan untuk mendaki Gunung Fuji," tutur
bapak dari 4 anak ini. Tiga bukunya, Planktonologi, Parasitologi
Ikan dan Limnologi menjadi buku wajib di beberapa perguruan
tinggi tempat ia mengajar. Di luar keasyikannya mengintip
mlkroskop meneliti plankton, Mas Sachlan juga menggemari
fotografi. Ia memiliki tak kurang dari 50 album yang menyimpan
hasil jepretannya.
Di balik bayang-bayang jasad renik desmidiacae yang bentuknya
seperti bintang-bintang itu, di luar dugaan, Mas Sachlan
ternyata memimpikan bisa memenangkan hadiah pertama Undian
Harapan sebesar Rp 120 juta. Setiap bulan ia selalu membeli 2
lembar kupon undian tersebut. "Kalau berhasil menang, saya ingin
keliling dunia. Dan langsung naik haji," ujarnya sambil
tertawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini