DARI Stasiun Depok Baru, sebelah selatan Jakarta, baru saja
dimulai pembangunan fisik dan rehabilitasi jaringan kereta api
Jabotabek. Dalam waktu 9 tahun, menurut rencana, peranan kereta
tapi dalam pola angkutan di wilayah
Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi) itu meningkat dari 1,4%
sekarang, menjadi minimal 30% (TEMPO, 26 Februari).
Langkah awal proyek ini ialah pembuatan 30-an km jalur ganda
antara Depok dan Manggarai. Ini dimulai dengan pemasangan jalur
rel baru antara Depok Lama dan Pondok Cina (2,2 km).
Ratusan pekerja tampak sibuk, antara lain memasang bantalan
beton, suatu hal baru dalam perkeretaapian di Indonesia. Selama
ini dipergunakan bantalan kayu atau baja.
"Bantuan beton ini mempunyai life-time (umur pakai) minimal 30
tahun," ujar Irawan Satjadipura. Dia anggota direksi PT Kodja
(Persero) yang membikin bantalan itu di Jakarta. Bahkan di
Jepang bantalan beton sudah dipakai hampir 40 tahun tanpa ada
kerusakan. Ada dua jenisnya: monoblock atau balok beton utuh,
dan biblock, dua balok beton yang terhubungkan sebatang baja.
Jenis bibLock banyak dipakai di Prancis, tapi menuntut perawatan
tanggul dan balas yang cermat.
Justru perawatan ini diperkirakan akan kurang di Indonesia,
karenanya dipilih monoblok. Tipe ini, berbeda dengan biblock,
tak mudah terpengaruh gaya puntir akibat kondisi ban dan balas
yang jelek. Beratnya yang 180 kg itu menjaga kemantapan letak,
sekalipun balas (pecahan batu di bawah dan sekitar bantalan)
kurang terawat. Sebagai bandingan, bantalan kayu jati atau ulin
hanya seberat 30-an kg.
Pembuatannya tak melibatkan teknologi tinggi. PT Kodja
membuatnya berdasarkan spesifikasi PJKA. Sebagian besar dipakai
bahan dalam negeri, seperti semen 'Kujang', pasir dan koral.
Sedikit dipakai cementaid, larutan kimiawi agar beton itu cepat
mengeras. Bahan ini diimpor, begitu juga besi tulang dan alat
penambat rel.
Penulangan setiap bantalan terdiri dari 18 batang besi beton
bergaris tengah 5 mm, semuanya direntang (pratekan) sebelum
betonnya dicor. Saat itu juga dipasang jangkar penambat rel merk
'Panroll', yang khusus diimpor dari Australia atas permintaan
PJKA. Hanya sedikit kesulitan dialami, menurut Irawan, dalam
memperoleh mutu standar pasir dan koral.
Kini, dari pesanan PJKA sebanyak 15.000 bantalan, 3.000 sudah
selesai diproduksi, di antaranya 1.000 buah sudah diserahkan
kepada PT Papan-Gading, kontraktor yang memasangnya, di Depok.
"Kapasitas produksi sekarang sekitar 20.000 bantalan setahun,"
ujar Irawan.
Bantalan beton - yang panjangnya 2 m tinggi maksimum 19,2 cm dan
lebar dasar 27 cm - harus mampu menampung tekanan gandar 18 ton
dengan kecepatan 120 km per jam. Sekarang pengujiannya masih
dilakukan PT Kodja sendiri, sepengetahuan PJKA. Tapi kelak ada
rencana PJKA membuat test-track sepanjang 7 km pada jalur KA
CikampekJakarta. "Kapan waktunya belum tahu," ujar Irawan. "Kami
sih maunya cepat."
Harga sebuah bantalan beton itu (0,09 m3 dengan 5,5 kg besi)
sekitar Rp 40.000 atau Rp 440.000 per m3 (60-an kg besi). Ini
hampir dua seperempat kali lebih tinggi, dibanding Rp 200.000,
standar harga saat ini per 1 m beton bertularig (300 kg besi).
Tapi sudah tentu harga ini termasuk penyusutan harga alat cetak
dan dongkrak perentang besi.
"Harga itu bisa berkurang sesuai dengan banyaknya pesanan," ujar
Irawan. Menutut Drs. Soekotjo - yang perusahaannya juga
mensuplai bantalan kayu untuk PJKA harga bantalan kayu ulin yang
sudah diawet kan sekitar Rp 12.500. Tapi umur pakainya jauh
lebih singkat dari bantalan beton. "Kita harus jamin umur pakai
selama 8 tahun," ujar Soekotjo.
Dari 1.000 buah yang sudah diterima PT Papan Gading, sekitar 600
sudah terpasang pekan lalu. Perusahaan pemasang itu menerima rel
dari Balai Yasa PJKA di Manggarai. Di bengkel itu lima lonjoran
rel (17 m) dilas menjadi satu lonjoran sepanjang 85 m. Setelah
terpasang di lapangan, setiap dua lonjoran itu oleh PJKA
disambung lagi menjadi 170 m. Rel tanpa sambungan itu menjamin
perjalanan yang mulus dan rata, tak terganggu oleh gentakan
setiap kali sepasang roda kereta melewati sambungan.
Pada jalur rel lama terdapat sambungan setiap 80-an m. Di luar
negeri pemakaian rel tanpa sambungan sudah dipakai sejak tahun
50-an, bahkan menggunakan lonjoran sepanjang 400 m yang kemudian
disambung menjadi satu di lapangan. Tentu peletakannya semua
dilakukan dengan mesin.
Kemulusan perjalanan juga bertambah karena alas karet buatan
antara setiap pertemuan rel dengan bantalan beton. Di tempat ini
rel itu ditambatkan pada bantalan dengan klem khusus, bagian
dari penambat 'Panroll' yang disediakan PJKA.
Selain pemasangan rel ini, tanggung jawab utama PT Papan Gading
ialah pembuatan tanggul (tubuh ban), peletakan dan pemadatan
balas serta menjamin kerataan letak jalur rel itu. Teknologi
untuk tanggul itu tidak berbeda dari zaman Belanda. "Bedanya
kita sekarang menggunakan alat besar untuk mengeruk dan
menggilas," ujar Soekotjo.
Alat besar mesin juga dipakai untuk meratakan jalur rel yang
selesai dipasang serta memadatkan balas sekitar bantalan. Dulu
bisa dilakukan dengan tenaga manusia, tapi sekarang bantalannya
saja sudah seberat 180 kg. Mau tak mau harus pakai mesin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini