Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Perlawanan dari Bukit Janda

25 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ke mana perginya para lelaki? Ke mana tangan-tangan kuat itu? Lalu siapa yang mengaduk bubur kanji pada bulan Ramadan? Desa Cot Keng, Kabupaten Pidie di Aceh, punya sebuah tradisi. Setiap bulan puasa, warga di desa itu bergotong-royong memasak bubur kanji untuk berbuka puasa. Secara turun-temurun, tangan-tangan kuat lelaki bertugas mengaduk bubur berisi merica, bawang, laos, kunyit, dan garam di bejana besar itu hingga masak. Namun, sekitar pertengahan tahun 1990, para lelaki tiba-tiba mulai menghilang dari desa itu. Akibatnya, Cot Keng pun lantas terkenal dengan sebutan Bukit Janda. Dan, pada setiap bulan puasa berikutnya, para perempuan itu memasak bubur sendiri. Lalu ke manakah para lelaki? **** Farida Hariyani adalah salah satu dari kita yang pernah bertanya ke mana para lelaki di desa-desa di Kabupaten Pidie, Aceh. Nama yang mendadak mencuat ketika ia mengumpulkan sekitar 700 orang janda untuk dipertemukan dengan tim DPR yang dipimpin oleh Hari Sabarno yang berkunjung ke sana. Tujuh ratus janda! Dan menurut Farida, sebetulnya jumlah janda itu lebih dari jumlah yang sesungguhnya. Bekas Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pernah memperkirakan jumlah janda di Aceh mencapai 6.000 orang, adapun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 1998 menaksir jumlahnya sekitar 3.000 orang. Tentu saja bukan hanya karena itu Farida diganjar dengan Yap Thiam Hien Award (bersama Munir), Desember 1998 silam. Bukan pula hanya karena keluarganya yang menjadi langganan teror aparat keamanan atau karena ia sudah menjadi "ibu" dari seluruh keluarga yang kehilangan ayah di perkampungan di Kabupaten Pidie. Ketika ia datang ke Jakarta membawa para janda dan anak-anak yatim korban daerah operasi militer (DOM) untuk bersaksi, secara otomatis Farida telah membangkitkan kesadaran masyarakat Indonesia. Peristiwa itu seolah-olah sebuah informasi (baru) bagi masyarakat luas, betapa buruknya dampak satu daerah yang dijadikan operasi militer. Pengurus Yapusham (Yayasan Pusat Hak Asasi Manusia), Aristides Kattopo, menilai penghargaan itu layak diterima Farida karena berhasil mengatasi rasa takut ketika berhadapan dengan institusi negara yang mengancam hak hidup sebagian masyarakat. Di Aceh, kampung yang warganya terdiri dari janda—karena para lelaki tewas terbunuh atau lari bersembunyi ke desa lain—adalah suatu pemandangan yang menjamur. Desa Cet Kong, Kabupaten Pidie, sebetulnya hanyalah salah satu "Bukit Janda" dari sekian kampung janda yang bertebaran di Aceh. Kebetulan, Farida Hariyani adalah salah satu sosok yang dikenal gigih mengangkat persoalan ini ke permukaan. Tepatnya, dialah yang paling keras menyuarakan persoalan ini ke Jakarta. "Saya melihat mereka sebagai kaum lemah. Hati saya tergugah karena banyak janda dan anak-anak yatim yang tidak memiliki tempat bernaung," katanya kepada TEMPO, yang menemuinya nun di Desa Pulo, Kecamatan Bandar Dua, Pidie, yang terletak tiga jam dari Lhokseumawe. Dan untuk sebuah perhatian yang besar kepada para janda dan anak yatim, Farida mempertaruhkan keselamatan dirinya, termasuk teror terhadap keluarganya. **** Nun di Desa Pulo, Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie, kira-kira tiga jam dari kota Lhokseumawe, Farida Hariyani bersama dengan lima orang kerabatnya tinggal di sebuah rumah tembok yang sederhana. Tanpa identitas Aceh; tanpa "warna kedaerahan", tetapi juga tanpa kemewahan. Ruang tamu rumah itu terlihat lengang tanpa aneka perabot. Ada satu kamar cukup besar yang sering dijadikan tempat menginap para aktivis. Di dalam kamar ada sebuah tempat tidur besar dan sepotong lemari kayu kusam. Satu-satunya keistimewaan yang membetot perhatian kita adalah plakat Yap Thiam Hien Award yang dipajang di almari pajangan di ruang tamu. Lahir di Ulee Gle, Pidie, 5 Januari 1966, Farida adalah anak kelima dari enam bersaudara pasangan H. Muhammad Daud Bugis. Sebetulnya, keterlibatan Farida di dunia Bukit Janda terjadi secara tidak sengaja. Pada 1991, ia tengah berkutat untuk menyelesaikan skripsinya di Fakultas Pertanian Universitas Iskandar Muda, Banda Aceh. Untuk memperlancar penyusunan skripsi, ia mengerjakan berbagai proyek di desa. Nah, ketika ia sampai di Desa Cot Keng itulah ia terperangah. Dari 22 kepala keluarga di desa itu, ia tak menemui satu pun laki-laki dewasa. Menurut Farida, saat itu nasib para lelaki belum diketahui dan belum jelas pula apakah mereka sudah menjadi korban aparat keamanan. Semula, diperkirakan, mereka semua sudah tewas tertembak ketika desa tersebut diserbu aparat militer. Namun, syukurlah, ternyata sebagian dari mereka sempat melarikan diri ke Banda Aceh, Meulaboh, dan Medan. Baru setelah tahun 1997, para lelaki yang sebagian besar petani dan pencari rotan itu kembali ke Cot Keng. Maka, sebuah tradisi pun hidup lagi, yaitu laki-laki dan memasak bubur kanji pada bulan Ramadan. Namun, selama masa ketidakpastian tentang nasib para lelaki di desa itu—dan juga desa lainnya—adalah Farida yang kemudian merangkul para janda. Ia lantas membentuk sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama Yadesa (Yayasan Pembinaan Masyarakat Desa). Lembaga ini berusaha meningkatkan taraf ekonomi warga desa dengan bantuan ternak, bibit tanaman, serta pelatihan keterampilan. Yadesa sendiri memperoleh dana dari Aus-Aid dan Kanada. Selain melatih keterampilan, Farida juga mengajarkan baca tulis dan bahasa Indonesia. "Para tentara segan dengan orang yang bisa berbahasa Indonesia," ujar Farida. Ia tak salah karena awal bencana warga Cot Keng, salah satunya, bersumber dari masalah ketidakmampuan berbahasa nasional ini. Syahdan, ketika aparat militer pertama kali mendatangi Desa Cot Keng, mereka menanyai penduduk di mana sekiranya para anggota gerombolan bersenjata bersembunyi. Namun, karena tidak paham, mereka hanya tersenyum sambil berulang kali menjawab "hom", yang artinya tidak tahu. Hal inilah yang tampaknya memancing kegeraman aparat. Menurut Farida, sebelum status Aceh sebagai DOM dicabut, pihak militer menjadi hambatan utama bagi aktivitas Farida dan rekan-rekannya. Bila ada operasi militer, ia dilarang mengunjungi desa-desa. Untungnya, status Farida sebagai pegawai honorer Dinas Penghijauan Kabupaten Pidie banyak membantu. Walau mengundang pertanyaan aparat, ia tetap bisa menginap di desa. "Kalau saya datang mengaku sebagai aktivis LSM, mana bisa saya masuk?" tutur Farida. Para perempuan ini, menurut Farida, tidur di atas pohon untuk menghindari operasi militer. Di tengah kebingungan, rasa tertekan juga memuncak karena sebelumnya mereka pernah mengalami pelecehan seksual, bahkan beberapa di antaranya diperkosa. Saat itu, para perempuan ini berujar bahwa mereka saat ini hidup untuk sekadar menunggu kematian. Setelah Farida lebih dikenal, jubah pelindung pegawai honorer ini tak bisa lagi dikenakannya. Ancaman pun datang secara bertubi-tubi. "Ketika saya membawa dua janda DOM bulan Juni 1998 lalu, pihak militer terus-menerus meneror keluarga saya di Aceh," ujar Farida. Salah seorang abang Farida bahkan menelepon Farida dan menganjurkan agar Farida tidak pulang karena sedang dicari aparat. Apalagi, saat itu status DOM belum dicabut secara resmi. Dua janda yang dibawa Farida ke Jakarta, Zulhairiah dan Siti Aminah, juga menyadari risiko yang diambil. Untunglah, setelah bersaksi di LBH dan DPR, Komnas HAM bersedia turun ke Aceh. Namun tak urung Farida sempat kecewa karena semula yang dijumpai Komnas HAM hanyalah para pejabat. Bahkan kesimpulan saat itu, tidak ada korban DOM di Aceh. Farida lantas menyurati komisi tersebut. Akhirnya Komnas HAM melakukan pembongkaran kuburan massal. Tim DPR juga turun dipimpin oleh Letjen Hari Sabarno dari Fraksi ABRI. Bahkan Farida mengumpulkan sekitar 700 janda yang kemudian diangkut oleh truk untuk dipertemukan dengan rombongan dari Jakarta tersebut. "Dari sanalah mereka yakin bahwa di sini memang ada banyak korban DOM," kata Farida. Namun bagaimana reaksi keluarga Farida dengan sepak terjang putri yang masih lajang ini? Tentu saja mereka cemas. "Sebenarnya, pihak keluarga tidak menginginkan aktivitas itu, terutama abang-abang Kak Farida," ujar Zulfadli Bahar, keponakan Farida yang tinggal bersama dengan Farida. Reaksi seperti ini bisa dipahami mengingat ayah Farida, H. Muhammad Daud Bugis, saat itu menjabat camat di Ulee Gle. Farida sendiri mengaku sering kucing-kucingan agar kekhawatiran keluarganya berkurang. Ia tidak menceritakan bila sedang melakukan sesuatu yang berbahaya. "Yang paling melarang kegiatan saya adalah abang-abang saya," ujar Farida. Namun ia bisa memaklumi karena saat itu, bila satu orang dianggap terlibat gerakan pemberontakan, satu keluarga bisa ikut terseret. "Alhamdulillah, sampai saat ini saya masih dilindungi Allah," ujar Farida. Setelah kegiatan Farida itu membuahkan penghargaan Yap Thiam Hien, keluarga Farida jadi lebih bisa memahami aktivitas Farida. "Kami tahu, Kak Farida bekerja untuk kepentingan Aceh," kata Zulfadli. Namun, menurut Zulfadli, pihak keluarga sebenarnya tetap menginginkan Farida berhenti, terlebih dengan situasi Aceh yang kembali memanas. Harapan keluarga ini tampaknya belum bisa dipenuhi dalam waktu dekat. Farida tampak begitu lekat dengan kehidupan di kampung janda. Para perempuan di desa itu pun tak menutupi kerinduannya bila sosok Farida—yang mereka sapa dengan panggilan Ibu Farida—tidak muncul beberapa lama. Farida memang seperti "ibu" bagi para perempuan Aceh. Dan, dalam beberapa hal, Farida memang tampil langsung sebagai pelindung. Misalnya, ia mencegah tentara yang bertugas di sana berlaku iseng terhadap gadis-gadis. "Para orang tua lebih rela anaknya saya pukul daripada digoda tentara," kata Farida, yang juga ikut mengajar TK di Desa Beuresan, salah satu desa di kawasan Bukit Janda. Seringnya Farida terjun langsung dalam kegiatan di desa, terutama saat pemberian bantuan, memang bukan tanpa sebab. Ia mengaku jera bila memakai perantara. Berulangkali bantuan dari pihak yang bersimpati tersangkut di tangan orang-orang yang tak berhak menerimanya. "Kalaupun sampai, terlambat beberapa hari," ujar Farida dengan nada marah. Namun, kepadatan aktivitas fisik ini membuat Farida mengaku saat ini jadi habis waktu luang untuk membaca buku yang menjadi kegemarannya. "Sebagai gantinya, saya sempatkan membaca koran dan menonton televisi," kata Farida. Farida memang sosok yang bersahaja. Kesederhanaan ini tercermin dari gaya hidupnya sehari-hari. Ia mengaku setiap bulan paling banyak mengeluarkan Rp 125 ribu untuk kebutuhan pribadinya. Namun, kegiatan LSM terkadang memerlukan dana yang besar. Bagaimana kalau sudah begitu? "Saya sering minta bantuan kepada orangtua bila ada kebutuhan mendesak," ujar Farida tersenyum malu. Setelah menerima penghargaan itu, Farida malah merasa ada sesuatu yang ironis karena Aceh kembali bergolak. Ia tidak menampik fakta bahwa ada penduduk yang melakukan tindak pelanggaran hak asasi, tetapi ia juga berpendapat bisa saja kejadian tersebut direkayasa aparat militer agar mendapat legitimasi untuk bertindak keras lagi. Buktinya? "Lihat saja kasus di Lhok Nibong, mana mungkin pasukan ABRI yang sebanyak itu tidak mampu menghadapi massa yang hanya 60 orang? Begitu juga kasus Kandang dan Pusong, lokasinya kan tidak jauh dari markas korem? Jadi kita patut curiga," kata Farida. Farida menilai bahwa tewasnya sejumlah aparat di tangan masyarakat bisa terjadi karena mereka meniru tindak kekerasan yang dilakukan aparat. "Selama ini mereka diperlakukan semena-mena. Jadi, begitu ada pemicu, dendam ini muncul di mana-mana," ujar Farida. Menurut Farida, bibit separatisme memang ada. Namun hal ini lebih disebabkan kekejaman yang mereka derita untuk kurun waktu yang terlalu lama. Menurut penelitian lembaga yang dipimpinnya, banyak anak yang trauma karena melihat ayahnya dibunuh tentara di depan matanya. "Ini tidak mudah diatasi," kata Farida. Selain ada kerumitan faktor politik di Aceh, Farida menilai kesenjangan yang kian lebar membuat rakyat Aceh makin tertekan. Ia mencontohkan Kandang, daerah yang beberapa waktu lalu dijadikan sasaran operasi ABRI. Daerah tersebut terletak tak jauh dari kilang gas Arun. Ironisnya, Kandang justru termasuk salah satu daerah termiskin di Lhokseumawe. Jerih payah Farida memang telah berbuah penghargaan. Namun, di sisi lain, Farida saat ini hampir tak memiliki waktu untuk kegiatan pribadi. "Secara fisik, saya memang letih, tetapi demi rakyat saya rela mengorbankan apa yang saya miliki," ujar Farida. Usianya yang sudah menginjak 33 tahun pun membuat keluarganya sering menanyakan kapan ia akan berumah tangga. "Banyak laki-laki yang tidak mau dinomorduakan," kata Farida menjelaskan mengapa ia masih melajang. Namun, Farida berharap, dalam waktu dekat ini keinginan keluarganya itu bisa ditunaikan. Calonnya? "Saya tidak mau menjawab pertanyaan itu," jawab Farida tertawa. Sikap ramah dan optimistis Farida, juga pembicaraan yang penuh humor itulah yang mungkin telah membawa seberkas cahaya di Bukit Janda yang gelap. Yusi A. Pareanom dan Setiyardi (Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus