Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMPERINGATI hari ulang tahun ke-79 Republik Indonesia, pianis dan komponis Ananda Sukarlan akan merefleksikan makna kemerdekaan dalam sebuah konser. Bersama Maudy Koesnaedi dan Mariska Setiawan, ia akan menggelar konser deklarasi tentang 79 tahun kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Deklarasi itu menyatakan kemerdekaan adalah hak seluruh rakyat tanpa memandang disabilitas, ras, suku, dan agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ananda, konser yang rencananya digelar pada 17 Agustus 2024 itu akan menampilkan beberapa cuplikan opera I'm Not For Sale berdasarkan libreto Emi Suy. Ia juga membuat komposisi musik berdasarkan teks Proklamasi secara utuh yang akan dibawakan penyanyi tenor Oswin Wilke.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk tema disabilitas, Ananda akan memainkan karya piano dengan tangan kiri saja yang kemudian "disambar" oleh penyair menjadi puisi. “Puisi ini kemudian saya bikin musik lagi, untuk soprano dan iringan piano lagi-lagi dengan tangan kiri saja,” kata Ananda kepada Tempo, Selasa, 6 Agustus 2024.
Ananda sangat memperhatikan disabilitas karena ia merasakan sendiri perundungan lantaran terlahir dengan sindrom Asperger, yang bahkan tidak terdiagnosis sampai usianya 26 tahun. “Jadi saya tahu bahwa kami yang memiliki ‘perbedaan’ akan selalu dimarginalkan,” ujar pria yang lahir pada 10 Juni 1968 ini.
Ananda telah menciptakan puluhan karya piano yang bisa dimainkan hanya dengan satu tangan, atau beberapa jari saja, atau tanpa pedal—karena kaki sang pianis tidak berfungsi. “Karya-karya ini bertujuan sangat luas, dari pendidikan dasar bermusik sampai karya konser dengan virtuositas tinggi,” ucapnya.
Pada momen Hari Kemerdekaan, Ananda juga mengungkapkan refleksi kemerdekaan dengan merujuk pada kata-kata penulis Amerika Serikat, William Faulkner: “Kita harus merdeka bukan karena kita mengklaim kemerdekaan, tapi karena kita mempraktikkannya.”
“Nah, apakah kita sudah bisa melakukan hal-hal itu? Sudah adakah kebebasan berekspresi, mengkritik kinerja pemerintah yang kita bayar dengan uang pajak? Sudah adakah toleransi beragama? Atau sekadar perbedaan?” kata peraih penghargaan Diaspora RI pada 2013 ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo