Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Mengapa Mitigasi Krisis Iklim Indonesia Tersendat

Pertumbuhan proyek berkelanjutan seret, jauh tertinggal dari sektor ekstraktif. Janji mitigasi krisis iklim sulit terealisasi.

18 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SILVERIUS Oscar Unggul mengibaratkan hubungan antara proyek dan pendanaan mitigasi krisis iklim layaknya perdebatan tentang ayam dan telur: apa yang seharusnya lebih dulu ada? Di satu sisi, sumber pembiayaan menunggu kesiapan proyek-proyek hijau yang layak didanai. Tapi, di sisi lain, Wakil Ketua Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kamar Dagang dan Industri Indonesia itu mengungkapkan, investor dan pengembang juga menanti kepastian pendanaan untuk merealisasi rencana proyek mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Pengembangan proyek-proyek hijau pada akhirnya susah jalan kalau tidak ada pembiayaan,” kata Silverius ketika ditemui pada Jumat, 2 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Silverius mencontohkan proyek-proyek dalam program transisi energi. Pembangunan pembangkit dan transmisi energi terbarukan sulit mendapat kucuran kredit. Sedangkan perbankan dan lembaga pembiayaan sebagai lender masih melihat proyek energi fosil sebagai lumbung pendapatan bunga yang lebih menjanjikan. Seretnya pendanaan menjadi salah satu penyebab upaya meningkatkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional tersendat.

Dua pekan lalu, kabar buruk datang dari kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Menteri Energi Arifin Tasrif memperkirakan porsi EBT dalam bauran energi nasional hanya akan mencapai 13-14 persen pada 2025. Angka ini jauh dari target 17-19 persen, yang sebenarnya juga merupakan revisi atas ambisi pemerintah menggenjot kontribusi EBT menjadi 23 persen dalam bauran energi nasional yang didominasi energi fosil.

Aktivitas tambang nikel di Morowali, Sulawesi Tengah, 28 Maret 2023. Tempo/ Didit Hariyadi

Menurut Arifin, pengembangan energi terbarukan masih menghadapi sejumlah tantangan, seperti keterbatasan infrastruktur dan regulasi yang belum sepenuhnya mendukung sektor ini. "Makanya program-program untuk mendorong demand harus dilakukan. Contohnya electric vehicle terus kebut, dan kemudian pembangkit listrik tenaga surya untuk industri dan perumahan harus bisa didorong," ucap Arifin di kantor Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi, Jumat, 2 Agustus 2024.

Arifin tak menyinggung masalah pembiayaan. Namun dua tantangan yang ia sebutkan, yakni masalah infrastruktur dan regulasi, memang sudah bertahun-tahun dikeluhkan para pengembang proyek dan lender sebagai akar persoalan seretnya pertumbuhan industri energi hijau di Indonesia.

Walhasil, kinerja investasi sektor EBT tak pernah menggembirakan. Sepanjang semester I 2024, realisasi investasi EBT mencapai US$ 565 juta atau senilai Rp 9,01 triliun dengan kurs Rp 15.950 per dolar Amerika Serikat. Angka tersebut hanya sekitar 45,9 persen dari target tahun ini yang sebesar US$ 1,23 miliar.

Pada 2023, rapor investasi sektor EBT juga merah. Realisasinya hanya sekitar US$ 1,5 miliar, turun 6,25 persen dibanding pada tahun sebelumnya. Capaian ini menambah panjang masa stagnasi investasi EBT di Indonesia, yang terakhir kali menembus US$ 2 miliar pada 2017.

Hal tersebut berbanding terbalik dengan realisasi investasi pada sektor energi fosil yang justru terus menanjak. Sepanjang tahun lalu, realisasi investasi sektor minyak dan gas bumi tumbuh 12,23 persen. Investasi di sektor mineral dan batu bara bahkan menggelembung hingga 31 persen.

Dengan realisasi investasi yang timpang seperti itu, pertumbuhan konsumsi energi fosil akan makin sulit dikejar oleh sumber-sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Karena itu, Silverius pesimistis transisi energi bisa diandalkan untuk menopang target-target penurunan emisi gas rumah kaca yang dijanjikan pemerintah kepada masyarakat internasional.

Bagi Silverius, kondisi tersebut mengkhawatirkan. Pasalnya, buruknya kinerja mitigasi krisis iklim di sektor energi bisa berdampak pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan lain (FOLU). “Karena transisi investasi hijau di sektor ini juga lesu peminat lantaran arah kebijakan pertumbuhan ekonomi telanjur mengarusutamakan penggunaan bahan bakar fosil,” ujar Silverius.

Sektor energi dan FOLU menjadi tumpuan bagi komitmen mitigasi krisis iklim Indonesia yang dituangkan pemerintah dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC). Pemerintah berikrar menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor energi sebesar 12,5 persen secara mandiri dan 15,5 persen dengan bantuan internasional. Adapun target penurunan emisi dari FOLU dengan dua skenario yang sama masing-masing 17,4 persen dan 25,4 persen.

Sasaran E-NDC yang dua tahun lalu dilayangkan kepada Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCC) itu sejak awal dinilai banyak kalangan amat ambisius. Pemerintah menargetkan Indonesia mencapai karbon netral pada 2060. Rencana aksi mitigasi krisis iklim tak hanya membidik sektor energi dan FOLU, tapi juga limbah, produk industri dan penggunaan produksi, serta pertanian.

Silverius bukan satu-satunya orang yang pesimistis. Sarah Nita Hasibuan, peneliti kebijakan pada Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), mengungkapkan bahwa kajian terbaru lembaganya juga menemukan banyak kontradiksi antara arah kebijakan investasi dan komitmen pemerintah dalam aksi perubahan iklim.

“Kita ingin transisi ke energi baru dan terbarukan yang lebih berkelanjutan,” kata Sarah pada Selasa, 30 Juli 2024. “Tapi arah kebijakan investasi masih mengutamakan industri ekstraktif.”

Dalam kalkulasi KPPOD, sekitar 80 persen perekonomian nasional masih akan ditopang oleh industri ekstraktif. Salah satu yang menjadi rujukan hitungan ini adalah peta jalan penghiliran investasi strategis, yang dipaparkan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dalam ASEAN Investment Forum 2023 pada September tahun lalu. Peta jalan itu memuat delapan sektor prioritas pemerintah, yakni mineral, batu bara, minyak, gas bumi, perkebunan, kelautan, perikanan, dan kehutanan.

Pemerintah menargetkan, hingga 2040, nilai investasi pada delapan sektor prioritas tersebut akan mencapai US$ 545,3 miliar. Hampir 80 persen di antaranya diproyeksikan datang dari sektor mineral dan batu bara.

Celakanya, menurut Sarah, hasil riset KPPOD bertajuk “Investasi Hijau dalam Mitigasi-Adaptasi Perubahan Iklim dan Dampaknya: Kajian Kebijakan dan Implementasi di Daerah” menemukan masalah kronis lain. Pemerintah pusat, misalnya, belum memiliki dokumen perencanaan khusus ihwal investasi hijau. Regulasi yang tersedia juga tak sampai ke tingkat daerah.

Sarah memaparkan, sejauh ini perencanaan investasi hanya mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2012 tentang Rencana Umum Penanaman Modal. Pemerintah juga punya komitmen dalam Perjanjian Paris 2015 dan menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025-2029 yang sama-sama mengupayakan aksi mitigasi krisis iklim melalui pengurangan emisi.

Menteri ESDM Arifin Tasrif di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, , 31 Agustus 2023. Tempo/M Taufan Rengganis

Namun seabrek rencana itu tak dibarengi tersedianya pedoman yang khusus membahas arah kebijakan investasi hijau. Akibatnya, aksi mitigasi krisis iklim di beberapa kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah tak sinergis. Kajian KPPOD di tujuh daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota ini tak menemukan adanya anggaran khusus yang dialokasikan pemerintah daerah untuk aksi perubahan iklim.

“Sehingga, menurut kami, target NDC bakal sulit tercapai bila kebijakan investasi hijau masih terpecah-pecah,” tutur Sarah.

Menanggapi kajian KPPOD, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional Vivi Yulaswati menegaskan bahwa pemerintah sebenarnya telah mengintegrasikan perencanaan pembangunan rendah karbon. Pemerintah juga telah mengembangkan strategi periode 2045-2060 dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

“Semua program sudah diarahkan untuk mendukung pencapaian net zero emission pada 2060 atau lebih cepat,” kata Vivi.

Kendati demikian, Vivi menilai masih ada setidaknya empat persoalan yang perlu dicermati dalam upaya meningkatkan pendanaan iklim. Pertama, dia menjelaskan, banyak institusi belum berfokus memprioritaskan isu tantangan iklim. Selain itu, instrumen finansial dan paradigma risiko untuk proyek pembangunan hijau masih terbatas.

Persoalan ketiga adalah pemeriksa, pemberi opini eksternal, serta firma penasihat dampak finansial belum mumpuni. “Terakhir adalah dibutuhkannya penguatan kapasitas lembaga keuangan di negara berkembang,” ujar Vivi.

Masalah penguatan kapasitas lembaga keuangan ini pula yang membuka perdebatan tentang ayam dan telur dalam isu proyek hijau. Kajian Transparansi untuk Keadilan Indonesia mencatat gelontoran kredit untuk pengembangan komoditas ekstraktif selama 2016-2023 senilai Rp 1.083 triliun. “Ekonomi kita masih mengandalkan ekstraksi sumber daya alam, baik sektor tambang, hutan, lahan, maupun kelautan,” ucap Direktur Eksekutif Transparansi untuk Keadilan Indonesia Linda Rosalina.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mitigasi Iklim Sebatas Klaim"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus