Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koleksi pakaian biduan berdarah Ambon-Manado ini memenuhi tiga lemari yang masing-masing memiliki tiga pintu. “Rumah yang kepenuhan baju itu bikin enek,” ujar Monita di Jakarta, Rabu dua pekan lalu.
Monita, 31 tahun, pun menerapkan aturan satu masuk, satu keluar. Setiap membeli satu baju, dia harus melepaskan satu koleksi lawasnya. Bisa diberikan cuma-cuma kepada teman, disumbangkan, atau dijual.
Perempuan yang mengawali kariernya lewat ajang pencarian bakat Indonesian Idol 2005 itu pun kerap melego bajunya ke tukang loak atau lewat garage sale yang digelar kawan-kawannya. Soal harga, cingcai. “Terserah, deh. Mau Rp 10.000 kek, Rp 5.000 kek. Yang penting baju itu keluar aja dari rumah,” ucap penyanyi beraliran pop, jazz, dan folk ini diikuti derai tawa.
Sudah dikurangi pun, kata Monita, masih ada ratusan koleksi tidak terpakai yang memenuhi rumahnya. “Udah diberesin dan siap untuk direlakan,” ujar alumnus jurusan desain komunikasi visual Universitas Trisakti ini.
Bagus NTRL. TEMPO/M Taufan Rengganis
Lirik di Balik Kupon
BAGUS Dhanar Dhana punya kebiasaan menyimpan lirik lagu-lagu yang pernah ditulisnya. Dia menyimpan dengan rapi lirik lagu yang ia buat sejak 1992 tersebut. “Di dalam kotak bekas tempat buku diary,” kata vokalis kelompok musik NTRL--sebelumnya bernama Netral--itu saat ditemui di kantor Kaskus, Jakarta Selatan, Selasa dua pekan lalu.
Saat inspirasi datang, Bagus langsung mencatatnya. Pria 47 tahun asal Tangerang, Banten, itu menulis di berbagai media. Yang paling tak lazim adalah lagu Pinbol, yang dia ciptakan pada 1997. Bagus sedang berbelanja di Golden Truly, Jalan Tendean, Jakarta Selatan, saat mendapat “wangsit” lirik tembang itu. Karena tak menemukan kertas di tasnya, ayah dua anak itu mencomot kertas kupon di gerai restoran cepat saji terdekat. “Kupon gratis satu gelas root beer reguler dengan belanja minimal Rp 2.000 di A&W,” ujar Bagus, tertawa.
Kini, Bagus tidak lagi kesulitan mendapatkan media untuk menulis. Meski masih menggunakan kertas, dia lebih sering mencatat di telepon pintarnya. Bagus mengatakan inspirasi menciptakan lagu bisa muncul di mana saja. “Yang paling sering di toilet, he-he-he...,” katanya.
Soleh Solihun. TEMPO/Ilham Fikri
Susah Merdu
KOMEDIAN Soleh Solihun sangat percaya diri dengan kemampuan aktingnya saat mendapat peran sebagai Iskak dalam film Lagi-lagi Ateng. Tapi, ketika tahu dalam peran tersebut ia mesti mendendangkan lagu Jawa, Soleh mendadak dilanda stres. “Saya susah merdu,” katanya, Senin pekan lalu.
Soleh, 39 tahun, sadar betul suaranya fals. Namun dalam film yang didedikasikan untuk dua komedian legendaris, Andreas Leo Ateng Suripto dan Iskak Darmo Suwiryo, tersebut sutradara Monty Tiwa malah menyuruhnya menyanyi dalam langgam Jawa.
Dalam film itu, Iskak digambarkan sebagai orang Jawa yang bertugas menjaga Ateng (Augie Fantinus), anak seorang ndoro ningrat. Iskak menembang Yen Ing Tawang Ono Lintang untuk merayu Cemplon (Julie Estelle). “Nembang itu kan satu level di atas menyanyi. Nyanyi saja enggak bisa, apalagi nembang,” ujar Soleh.
Sebulan sebelum pengambilan gambar, Soleh berlatih mendendangkan lagu tersebut. Namun apa daya, kualitas suaranya tak banyak berubah. “Sebulan latihan enggak merdu-merdu juga,” katanya.
Soleh pun pasrah. Ia mendendangkan lagu sebisanya. Beruntung Monty, yang menyadari upaya Soleh, tidak menyuruhnya mengulang adegan tersebut. “Mohon maaf, ya, bagi orang Jawa, suara saya fals,” ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo