Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WILLIAM Tanuwijaya menyusun ide untuk mengikuti demam viral #10YearChallenge. Bersamaan dengan itu, ini tahun kesepuluh Tokopedia beroperasi. Pada 17 Agustus 2009, dia cuma berempat meng-operasikan perusahaan bersama co-founder Leontinus Apha Edison, seorang engineer, dan seorang petugas layanan konsumen. Mereka meluncurkan situs marketplace dari rumah dan tempat kos masing-masing.
William, 38 tahun, ingin membandingkan situasi saat itu dengan sekarang. Tokopedia telah menjelma menjadi portal belanja terbesar Indonesia dengan sekitar 90 juta pengguna bulanan, 5 juta pedagang, dan 2.600 karyawan. Perusahaan teknologi itu menjadi satu dari empat unicorn Indonesia. Unicorn adalah sebutan bagi startup yang memiliki valuasi lebih dari US$ 1 miliar. Valuasi Tokopedia saat ini diperkirakan US$ 7 miliar atau sekitar Rp 102,5 triliun—tertinggi di Indonesia. “Sayangnya, waktu awal dulu kami tidak narsis sehingga susah mencari fotonya,” katanya, tertawa.
William dan kawan-kawan tidak punya banyak waktu untuk foto-foto. Dia terus mencari modal mengembangkan usahanya. Setiap tahun Tokopedia selalu mendapat kucuran modal baru, antara lain dari perusahaan investasi Jepang, Korea Selatan, India, dan Amerika Serikat. “Saya tetap ingin punya pemodal dari luar agar membuka cakrawala,” ujarnya.
Salah satu langkah strategis yang dia ambil adalah menggandeng Agus Martowardojo— Gubernur Bank Indonesia periode 2013-2018, Menteri Keuangan 2010-2013, dan Direktur Utama Bank Mandiri 2005-2010—menjadi komisaris utama, tiga pekan lalu.
Sabtu siang dua pekan lalu, William menerima wartawan Tempo, Arif Zulkifli, Sapto Yunus, Reza Maulana, dan Angelina Anjar, di kantornya di lantai 52 Tokopedia Tower, Setiabudi, Jakarta Selatan. Selama hampir tiga jam dia menceritakan perjalanannya membangun Tokopedia, dari kehidupan masa kecilnya di Pematangsiantar, Sumatera Utara; masa-masa bekerja di warung Internet saat kuliah; hingga ditolak calon investor Amerika Serikat karena tak lancar berbahasa Inggris.
Dari mana ide membangun Tokopedia?
Saya punya ide membangun Tokopedia pada 2007. Saya kepikiran dengan harga barang di Pematangsiantar yang lebih mahal dibanding di Jakarta. Saya juga melihat urbanisasi sebagai sebuah lingkaran setan yang tidak pernah berhenti. Mereka yang ada di daerah, kalau punya bisnis, pasti akan mengembangkannya di kota yang lebih besar. Padahal semua orang sudah terhubung dengan Internet. Saya ingin membuat sebuah marketplace di mana transaksi juga terjadi lewat Internet.
Bukankah saat itu ada Kaskus dan Tokobagus?
Tapi sifatnya seperti iklan baris sehingga ada masalah kepercayaan. Bisa saja pembeli sudah mentransfer lalu penjualnya kabur. Waktu itu bertransaksi di Internet masih diasumsikan penuh penipuan. Saya ingin membangun kepercayaan tanpa keharusan bertemu penjual dan pembeli. Dengan begitu, tidak perlu lagi ada urbanisasi. Orang-orang di daerah juga bisa menikmati harga barang yang sama.
Inspirasinya dari mana?
Saya terinspirasi Google dan Facebook. Mereka bisa membangun industri sebesar itu karena mencari pemodal. Jadi saya membangun platform, lalu mencari pemodal. Tapi sejak 2007 sampai 2009 selalu gagal.
Mengapa mereka menolak?
Ada lima hal yang membuat mereka tidak mau berinvestasi: tidak ada orang Indonesia yang berhasil di bisnis Internet, persaingan dengan pemain global, latar belakang keluarga yang tidak bisa menjamin jika investasi rugi, latar belakang pendidikan, dan pengalaman membangun usaha. Sembari kuliah di Jurusan Teknologi Informasi Universitas Bina Nusantara, saya bekerja sebagai penjaga warung Internet di Kemanggisan, Jakarta Barat. Jadi, saat ditanyai pernah membangun bisnis apa, saya jawab menjadi freelancer sembari menjaga warnet. Saya jatuh cinta kepada Internet. Sampai-sampai saya menganggap saya lulusan warnet, ha-ha-ha….
Apa yang Anda pelajari saat menjadi penjaga warung Internet?
Saya kutu buku. Di Internet, saya bisa membaca informasi apa pun. Saya pun belajar mendesain website. Saat itu penghasilan dari menjaga warnet hanya Rp 10 ribu per hari. Tapi, lewat mendesain website dan membuat company profile, saya bisa mendapatkan Rp 300 ribu. Lumayan untuk menyambung napas.
Bagaimana akhirnya Anda menggaet pemodal?
Victor Fungkong, bos saya, yang memberikan modal. Saat itu saya sudah bekerja selama dua tahun di perusahaan content provider miliknya. Saya bilang, ketimbang layanan pesan pendek (SMS) berbayar, orang bisa mendapat informasi on demand lewat Internet. Makin lama, Internet makin murah sehingga makin banyak orang yang memakai. Beliau pun berbaik hati memberikan modal pada Februari 2009. Kami juga diberi tempat di lantai 4 rumah kantornya di Patal Senayan, Jakarta Pusat.
Apa yang Anda kerjakan setelah mendapat modal?
Saya kembali ke kampus saya, Universitas Bina Nusantara, dan ikut job expo. Langsung sewa dua booth biar kesannya prestisius, he-he-he…. Yang jaga dua orang, saya dan co-founder. Dua hari kami di sana, tidak ada satu pun orang mendaftar. Di depan kami ada stan bank, ribuan orang yang melamar. Saya memulai pendekatan lain untuk merekrut dengan berbicara di kelas-kelas kecil di kampus saya, berbagi pengalaman membangun startup. Harus menunggu satu-dua tahun sampai lulusan kelas itu mau bergabung.
Mengapa memilih momen 17 Agustus untuk meluncurkan Tokopedia?
Agar didoakan seluruh masyarakat Indonesia secara tidak langsung, he-he-he…. Saat itu hanya ada empat pegawai Tokopedia, yaitu saya, co-founder, engineer, dan customer care. Pada 16 Agustus, kami berada di rumah dan kos masing-masing. Tepat pukul 12 malam, situs Tokopedia kami luncurkan.
Langsung ada transaksi?
Sebelum peluncuran, kami telah bermitra dengan 70 penjual. Saat peluncuran, kami memanfaatkan momentum. Pada pertengahan 2009, Indonesia mendapat musibah bom di Hotel Ritz-Carlton dan JW Marriott di Jakarta Selatan. Kemudian ada kampanye netizen dengan tanda pagar #KamiTidakTakut. Kami bilang ke penjual kaus di Tokopedia soal itu dan mereka berkreasi. Jadi SEO (search engine optimization, penelusuran lewat kata kunci di Google) bagus.
Pasar menanggapi positif?
Media pertama yang meliput kami adalah majalah Tempo, sepekan setelah peluncuran. Kami bingung karena tidak pernah bikin publikasi. Dapat coverage dua halaman, lumayan. Orang-orang yang baca Tempo, yang punya bisnis, ikut mendaftar. Terjadi efek bola salju. Jadi kami mesti berterima kasih kepada Tempo, he-he-he….
Victor Fungkong ingin investasi Rp 2,5 miliar di Tokopedia kembali dalam waktu dua atau tiga tahun. Apakah tercapai?
Itu komitmen awal. Ketika baru menggunakannya sekitar Rp 1 miliar dalam setahun, kami sudah mendapatkan pemodal baru. Jadi kami tidak perlu menggunakan modal awal itu sepenuhnya. Buat para investor awal, seperti East Ventures dan Cyber Agent, ini adalah investasi terbaik seumur hidup mereka. Saat itu mereka berinvestasi Rp 1-2 miliar, tapi valuasinya terus naik. Saat ini Tokopedia sudah menjadi multibillion dollar company.
Mengapa mengandalkan modal asing?
Pada 2010, raksasa seperti eBay dan Rakuten masuk ke Indonesia. Di atas kertas, kami tidak punya kesempatan bersaing. Saya sadar harus membuka cakrawala. Enggak bisa pakai modal kecil. Beruntung, tahun itu Yahoo! mengakuisisi startup Indonesia, Koprol. Indonesia digambarkan sebagai tambang emas bagi investor dunia setelah Cina dan India. Pemodal dari Amerika Serikat banyak yang datang ke Jakarta. Saya berkesempatan bertemu dengan mereka. Saya senang sekali. Tapi lima menit saya berbicara, mereka mengusir saya. Mereka bilang, “Kamu telah menyia-nyiakan waktu saya. Saya tidak mengerti kamu ngomong apa.” Beruntung, calon pemodal berikutnya asal Jepang dan Korea Selatan. Bahasa Inggris mereka sama hancurnya dengan saya, ha-ha-ha…. Jadi kami mendapat investasi dari East Ventures pada 2010, Cyber Agent pada 2011, Net Price pada 2012, Sofbank Korea pada 2013, serta Softbank dan Sequioa Capital pada 2014.
Berapa valuasi Tokopedia saat ini?
Prediksi media, pada pertengahan tahun lalu US$ 7 miliar, Rp 102,5 triliun. Prediksi itu tidak begitu meleset. Tapi sekarang sudah tumbuh. Sebenarnya valuasi bukan prestasi yang bisa menjadi ukuran.
Berapa saham Anda di Tokopedia?
Sejak awal saham saya minoritas. Saya memulai dengan 10 persen. Sebagai pemilik saham minoritas, sulit bagi saya meyakinkan pemodal global. Tapi saya beruntung bertemu dengan investor yang membangun bisnis sendiri dari nol. Ketika percaya terhadap visi-misi kami, mereka menawarkan solusi. Salah satunya peremajaan saham manajemen. Ada program kepemilikan saham untuk manajemen. Setiap enam bulan kami menerbitkan saham baru untuk diberikan kepada pegawai yang berprestasi. (William menyebutkan kepemilikan sahamnya saat ini secara off the record).
Dengan saham kecil, bagaimana memastikan manajemen berada dalam kontrol Anda?
Saya punya hak veto. Misalnya, kalau ada tawaran akuisisi dari perusahaan lain, hanya saya yang bisa memutuskan. Kalau saya tidak mau, walaupun pemegang saham lain 100 persen sepakat, tidak bisa. Tawaran itu memang datang berkali-kali, tapi saya tidak pernah mau.
Mengapa?
Visi-misi bisa dijaga selama ada independensi. Karena itu, kita harus melahirkan pemimpin-pemimpin lokal. Mereka pun mesti punya kepemilikan saham. Mungkin nanti hak veto akan saya berikan kepada CEO berikutnya.
Apakah unicorn Indonesia masih bisa disebut sebagai perusahaan lokal dengan besarnya saham asing?
Kita harus pisahkan antara permodalan dan kontrol. Saya selalu mengumumkan investor Tokopedia dan berapa nilainya. Ketika menginvestasikan uang mereka kepada pengusaha lokal, artinya mereka percaya Indonesia pada akhirnya bisa bersaing secara global, bukan hanya negara pasar. Sebab, yang diinvestasikan adalah modal kerja untuk perusahaan lokal. Menurut saya, kita tidak boleh kehilangan kontrol, tapi juga tidak boleh memusuhi asing. Toh, sehari-hari kita bersaing dengan mereka. Kita butuh transfer teknologi dan transfer wawasan.
Berapa gaji Anda?
Yang pasti saya bukan penerima gaji paling tinggi di Tokopedia. Lagi pula, karena dibesarkan dari keluarga sederhana, saya tidak tahu apa gunanya uang. Kami mempekerjakan mantan karyawan perusahaan teknologi raksasa Amerika Serikat, tidak mungkin kasih gaji lebih rendah dari sebelumnya. Hingga 2014, ketika Tokopedia sudah mendapat modal sampai US$ 100 juta, saya masih tinggal di rumah yang atapnya bisa jatuh kalau kehujanan.
Benarkah saat Tokopedia baru berdiri gaji Anda Rp 3 juta per bulan?
Ya. Jumlah itu bertahan cukup lama. Lalu naik jadi Rp 6 juta, Rp 9 juta, dan seterusnya. Baru pakai mobil, ya, mobil dinas, beberapa tahun lalu. Sebelumnya saya naik ojek.
Dengan akselerasi seperti sekarang, bagaimana Anda menahan Tokopedia tidak menjadi konglomerasi?
Pernah tercetus ide agar Tokopedia ikut berjualan. Toh, kami sudah tahu produk apa saja yang laku sehingga bisa mendapat keuntungan besar, dan mungkin tidak perlu lagi pendanaan dari luar. Tapi itu bukan bagian dari cita-cita Tokopedia, yang ingin mewujudkan pemerataan ekonomi secara digital. Tokopedia harus membuat sebuah garis dalam bentuk filosofi, batasilah diri kamu sehingga kamu menjadi tidak terbatas, limit yourself to become limitless. Sejak awal saya ingin membangun Tokopedia seperti membangun sebuah negara, tidak boleh memonopoli. Dalam proses inovasi, kami tidak mau membunuh bisnis orang lain.
Filosofi itu juga yang membuat Tokopedia tidak membuat dompet virtual sendiri hingga kini?
Ya. Dari sisi pembayaran, kami memilih pendekatan kemitraan. Banyak bank yang menjadi mitra kami. Tapi tentunya harus ada dompet virtual yang bersifat default karena orang akan pusing dengan begitu banyaknya pilihan. Jadi kami menggandeng OVO sebagai mitra strategis.
Dengan jumlah pengguna 90 juta per bulan dan 5 juta pedagang, seberapa jauh Tokopedia masih bisa berkembang?
Kalau pedagang, ruang pertumbuhannya sangat besar karena usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia diprediksi berjumlah 56-60 juta. Kami ingin memindahkan mereka ke online. Tapi saya melihat tidak semua UMKM bisa pindah ke online, tidak semua UMKM mau mengoperasikan bisnisnya tanpa bertemu dengan orang lain. Karena itu, ruang pertumbuhannya bukan cuma online, tapi juga offline. Dalam satu dekade ke depan, yang offline ini juga akan menjadi fokus kami.
Seperti apa konsepnya?
Saya menyebutnya sebagai infrastructure as a service. Jadi ini dibuat untuk membantu petani, nelayan, pemilik toko kelontong, dan sebagainya agar bisa tumbuh lebih efektif dan tidak mati tertelan perubahan zaman.
Bagaimana konkretnya?
Contoh: paman saya di Pematangsiantar adalah pemilik toko kelontong. Ancaman terbesar baginya adalah pertumbuhan industri retail modern dan retail online yang luar biasa cepat. Tapi dia tidak mau saya ajak berjualan di Tokopedia. Ketika saya mengobservasi tokonya, ternyata sangat tidak efisien. Penjualannya tergantung para salesman yang datang. Misalnya hari ini stok sampo habis. Salesman baru datang minggu depan. Artinya selama seminggu dia tidak bisa berjualan sampo. Kami kepikiran membuat aplikasi business-to-business (B2B). Kalau stok barang habis, bisa langsung pesan dan stok kembali tersedia.
Kapan proyek ini akan dilaksanakan?
Secara B2B sudah berjalan. Tapi kami baru berfokus di satu daerah sebagai pilot project untuk mempelajari kendala-kendala di lapangan.
Berapa nilai investasinya?
Ini butuh modal sangat besar. Karena itu, setelah kami menerima pendanaan US$ 1,1 miliar beberapa waktu lalu, sebagian besar kami pakai untuk fase evolusi ini.
Kapan Tokopedia bisa berjalan tanpa permodalan baru?
Sebenarnya, kalau Tokopedia mau balik modal dan mendapat profit, sudah bisa, asalkan kami tidak berevolusi, puas dengan kondisi saat ini.
Sampai batas mana evolusi itu akan dikejar?
Terus terang, saya tidak tahu jawabannya. Mungkin sampai saya benar-benar melihat tercapainya pemerataan ekonomi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di titik di mana orang punya pilihan: saat jenuh dengan kemacetan di Jakarta, bisa pulang kampung karena kesempatan berusaha di Jakarta dan di kampung sama. Mungkin saat itu cita-cita kami tercapai.
Dari mana pemasukan Tokopedia?
Tahun ini, kami ingin memfasilitasi pengguna untuk membuka rekening bank lewat Tokopedia. Ada beberapa pengguna yang selama ini membayar secara tunai lewat Alfamart, Indomaret, atau kantor pos. Padahal, menurut data, daya beli mereka mencapai Rp 2 juta per bulan dan bisa membuka rekening bank. Kami juga ingin membantu pengguna memiliki kartu kredit. Saat ini pengguna sudah bisa menabung dalam bentuk emas, dari Rp 5.000; atau reksa dana, dari Rp 10.000. Dari situ kami mendapat margin. Memang kecil sekali, tapi volumenya besar.
Sumber pendapatan lain?
Pedagang kecil yang tumbuh menjadi pedagang besar biasanya ingin toko dan produknya lebih terkenal. Jadi mereka mulai beriklan di Tokopedia. Ini ada biayanya.
Pendapatan terbesar Tokopedia dari iklan itu?
Ya.
Mengapa memilih Agus Martowardojo sebagai komisaris utama?
Saya butuh mentor, butuh orang yang punya rekam jejak sebagai direktur utama di beberapa perusahaan serta pernah melakukan berbagai aksi korporasi, seperti akuisisi ataupun merger. Hal-hal itu belum pernah saya jalani seumur hidup saya. Pak Agus punya pengalaman yang cukup lama sebagai direktur utama bank.
Juga pengalaman Agus sebagai Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia?
Kalau ingin mewujudkan pemerataan ekonomi secara digital, sisi financial services kami harus kuat. Bagaimana kami bisa memberikan modal kerja, tidak hanya kepada pedagang online, tapi juga kepada petani, nelayan, dan lainnya. Navigasinya tidak mudah. Secara governance harus kuat. Tokopedia belum punya dewan komisaris yang bisa memberikan masukan soal itu. Semoga Pak Agus bisa menjadi magnet yang kuat untuk mengajak yang lain sehingga bisa saling mengisi. Mungkin nanti ada komisaris dengan latar belakang agrobisnis dan lainnya.
Apakah pemilihan Agus juga bertujuan memuluskan hubungan dengan pemerintah?
Saya sangat bersyukur, dalam proses membangun Tokopedia, pemerintah sangat suportif. Pada 2015, untuk pertama kalinya saya ke Amerika Serikat. Waktu itu bersama delegasi pemerintah ke Silicon Valley.
Seberapa besar peran pemerintah dalam mendukung tercapainya status unicorn?
Empat unicorn (Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak) baru jadi pada 2016. Padahal perusahaannya lahir tujuh atau sembilan tahun lalu. Ini karena exposure dan kesempatan yang diberikan pemerintah. Ojek berbasis aplikasi sempat di-shutdown, tapi dibuka kembali. Pemerintah melihat teknologi tidak bisa dihindari. Bisa menjadi disruptor (pengacau), tapi, kalau dijaga dengan baik, bisa menjadi empowerment.
Aturan pajak e-commerce menuai polemik. Pandangan Anda?
Ada asumsi yang salah bahwa seakan-akan pedagang online tidak membayar pajak. Sistem pembayaran pajak di Indonesia kan self-assessment. Siapa yang bisa menjamin pedagang di pasar benar-benar memiliki omzet Rp 200 juta, padahal sebenarnya Rp 1 miliar? Jadi transaksi online memformalkan semua yang informal. Soal pajak harus kita pisahkan. Sama seperti dunia offline, dunia online punya banyak pedagang kecil. Kalau pedagang kecil ini dibikin sulit bertumbuh, misalnya disyaratkan kartu tanda penduduk dan nomor pokok wajib pajak, akan menjadi barrier of entry. Padahal data transaksi mereka toh tercatat semuanya.
Artinya aturan itu menghalangi orang berbisnis?
Kemarin Bu Sri Mulyani (Menteri Keuangan) sudah mengatakan tidak perlu NPWP dan KTP. Di Tokopedia, kami sudah memberlakukan verifikasi KTP. Begitu merchant melakukan verifikasi KTP dan NPWP, dia mendapat status terverifikasi dan lebih dipercaya. Tanpa kami paksa, mereka melakukannya karena kebutuhan. Mekanisme online itu, secara psikologis, harus diputar balik. Kalau persyaratan di depan, jadi barrier of entry. Kami percaya tidak boleh ada tembok penghalang. Yang harus dibangun adalah jembatan-jembatan.
William Tanuwijaya
Tempat dan tanggal lahir:
Pematangsiantar, Sumatera Utara, 11 November 1981
Pendidikan:
- SMA Methodist, Pematangsiantar (1996-1999)
- Universitas Bina Nusantara, Jurusan Teknik Informatika (1999-2003)
Pekerjaan:
- Karyawan PT Indocom Mediatama (2005-2007)
- Pendiri dan CEO Tokopedia (2009-sekarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo