Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Semangat saya adalah nasionalisme

Riwayat hidup hamid algadri,81, seorang pemuka partai arab indonesia. pernah menjadi penasihat delegasi ri dalam perundingan linggarjati, renvil- le & kmb. kini aktif sbg sekretaris-bendahara ydb.

24 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hamid Algadri: Semangat Saya adalah Nasionalisme Hamid Algadri, 81 tahun, tak pernah gentar menentang Belanda. Pengagum Multatuli dan Sutan Sjahrir ini adalah seorang pemuka Partai Arab Indonesia. Pernah memikul berbagai jabatan penting. Di antaranya, menjadi Penasihat Delegasi RI dalam perundingan Linggarjati, Renville, dan KMB. Juga anggota Konstituante. Dianugerahi bintang "Nishan Iftighar" dari pemerintah Tunisia. Pada 1978, ia ditetapkan sebagai Perintis Kemerdekaan. Kini, masih aktif sebagai Sekretaris-Bendahara Yayasan Dana Bantuan. Sudah dua buku ditulisnya: Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia (1988) dan Suka Duka Masa Revolusi (1991). Di saat peringatan ulang tahun Proklamasi ini, atas permintaan TEMPO, nasionalis keturunan Arab ini membeberkan sebagian dari masa lampaunya kepada Toriq Hadad, wartawan TEMPO. MAYOR Belanda itu mendesak lagi, apakah saya setuju bumi hangus. Saya katakan dengan tegas, "Memang saya setuju." Tak disangka, mayor tadi berdiri dan memberi salam pada saya. Tampaknya itulah warisan dari kakek saya, yang selalu menasihati, "Katakan yang benar dan tak boleh takut." Kakek saya, Alim Algadri, ilmu agamanya tinggi, pemikiran Islamnya tergolong modern pada awal 1990-an. Ia lahir di India Barat dan mengenal pikiran-pikiran baru Islam. Ilmu dagangnya cukup tinggi. Pada masa muda ia berdagang kuda. Dari Kepulauan Sunda Kecil, ia membeli kuda dan kemudian menjualnya di Pasuruan -- kota tempat keluarga kami menetap. Belanda mengangkat kakek saya menjadi Kepala Golongan Arab. Ia menerima, bukan untuk kepentingan sendiri, melainkan untuk melindungi golongannya. Agar tak kena pajak tinggi, supaya tak gampang-gampang ditangkap, dan supaya mudah mengurus segala surat keterangan di masa itu. Jasanya di bidang sosial cukup banyak. Kakek mengumpulkan dana dari para pedagang gula bangsa India untuk membangun rumah sakit di Desa Purut, Pasuruan (sekarang RSU Pasuruan) dan rumah orang miskin di Kebon Agung. Atas jasanya itu, Belanda kemudian memberi penghargaan bintang Ridder In De Orde van Oranje-Nassau. Bersama H.O.S. Tjokroaminoto dan Abdul Muis, Kakek menjadi panitia pendiri Sekolah Guru Islam. Saya lahir di Surabaya pada 10 Juli 1910 di rumah kakek dan nenek saya dari garis ibu, Abdurahman Surati Nanabai dan Encik Mariam. Kakek dari ibu ini adalah Kepala Golongan India di Surabaya atau Kapten der Benggalezen, sedangkan Encik Mariam adalah wanita Melayu asal Banjarmasin. Betapa sukacitanya kakek saya Alim di Pasuruan, sampai-sampai seorang bibi saya yang menyampaikan kabar kelahiran saya diberinya hadiah 10 gulden. Maklumlah, saya cucu lelaki pertama. Kakak saya perempuan, Saleha, dan adik saya laki-laki, Ali Algadri. Di Pasuruan, saya bertempat tinggal di Kebonsari, sekarang namanya Jalan Nusantara. Ini rumah kakek saya, Alim Algadri. Rumahnya sangat besar, ada delapan kamar tidur dan berdiri di atas tanah sekitar satu hektare. Keluarga saya biasa menyebutnya Rumah Besar. Ayah saya, Muhammad Algadri, arsitek berdirinya masjid Jami Pasuruan, juga tinggal di Rumah Besar. Tak seperti keturunan Arab umumnya, Kakek dan Ayah membolehkan saya masuk sekolah Belanda. Namun, siang harinya saya menjadi murid sekolah agama. Saya masuk Frobel School, taman kanak-kanak, untuk belajar bahasa Belanda. Akibatnya, ketika akan memasuki Europese Lagere School (ELS), sekolah rendah Belanda, usia saya sudah delapan tahun. Hanya anak-anak enam tahun yang diterima ELS. Akhirnya, karena tak ada akta kelahiran pada zaman itu, dikatakan saja saya lahir pada 1912. Tahun itulah yang tertera di semua ijazah dan diploma yang saya miliki. Saya ditolak masuk ELS karena sekolah itu khusus untuk anak Belanda. Kakek Alim sangat marah. Dia menemui Residen Pasuruan. Ia ceritakan, bahasa Belanda saya cukup baik menurut guru Frobel School. Tak lupa ia mengingatkan soal bintang penghargaan yang diterimanya. Kabarnya, istana di negeri Belanda terbuka untuk penerima bintang tadi. Namun, mengapa untuk sekolah cucunya ditolak. "Saya minta pertimbangan Tuan Residen, tapi kalau cucu saya tetap ditolak, saya kira lebih baik bintang ini saya kembalikan," kata kakek saya. Akhirnya, keluar surat keputusan, semua anak cucu Kapten Algadri boleh masuk ELS. Di kelas empat dan lima, saya diajar sejarah oleh bekas pendeta Belanda beragama Protestan. Namanya Swanbom yang juga menjabat kepala sekolah. Dia sangat fanatik pada agamanya. Sering dia menghina Islam. Dikatakannya Nabi Muhammad itu adalah nabi palsu, dan kalau terima wahyu seperti orang sakit ayan, lalu pingsan. Saya melawan, tapi hanya dengan marah-marah. Di rumah, Kakek mengajar saya tentang kebesaran Muhammad. Diceritakannya, dalam seratus tahun Islam bisa menyebar dari Arab sampai ke Afrika Utara, Cina, dan Asia. Itulah mukjizat Muhammad. Bahkan, seorang orientalis bangsa Inggris bernama Thomas Carlyle menaruh Muhammad dalam urutan teratas pemimpin besar dunia. Bahan-bahan inilah yang kemudian saya pakai berdebat dengan Swanbom. Saya tak pernah dilarang berdebat. Kakek selalu berpesan, "Katakan apa yang benar dan tak boleh takut." Meskipun angka-angka di sekolah diturunkan, bahkan dikeluarkan dari sekolah, saya tak boleh takut. Bekal dari kecil ini mungkin yang membuat saya tak pernah takut untuk berdebat dengan Belanda. Tamat dari ELS, saya masuk MULO di Praban, Surabaya. Di sana sudah mulai ada gerakan Jong Islamieten Bond (JIB). Ini adalah gerakan pembaruan Islam yang dipelopori antara lain oleh Haji Agus Salim dan Mohamad Roem. Saya lalu bergabung. Gerakan ini punya majalah, namanya Het Licht (Pelita). Artikel-artikel dalam Het Licht ini ditujukan untuk membantah pendapat-pendapat Barat yang keliru tentang Islam. Majalah ini dibagikan juga pada guru-guru -- semuanya warga negara Belanda -- di MULO. Setelah Sumpah Pemuda dicetuskan pada 1928, ada gerakan Indonesia Muda. Hanya saja, gerakan nasionalis di kalangan pemuda itu masih agak anti-lslam. Mungkin karena anggotanya kebanyakan didikan Belanda. Saya ingin bergabung dengan IM. Karena semangat saya adalah nasionalis. Tapi saya ditolak. Alasannya, saya keturunan asing. Padahal, saya punya banyak teman di IM yang tahu betul tentang saya: Namun, mereka tak bisa berbuat banyak. Bahkan, sekali tempo di MULO, saya dan seorang teman dari IM bernama Basuki hampir dikeluarkan dari sekolah. Gara-gara kami berdua menyanyikan Indonesia Raya. Dari Surabaya, saya meneruskan sekolah ke Algemene Middelbare School (AMS), setingkat SMA, di Yogya, pada 1931. Semester pertama saya jalani dengan kesedihan mendalam atas wafatnya Kakek Alim. Begitu banyak kenangan dan pelajarannya yang terus terngiang di telinga dan meresap di hati. Pada saat seperti itu, saya diajar seorang guru sejarah bernama Dr. Duyvendak, yang kemudian menjadi profesor di Sekolah Tinggi Hukum, Jakarta. Tak seperti guru di ELS dulu, Duyvendak selalu sependapat dengan saya. Selama sepuluh tahun saya di sekolah Belanda, baru kali ini ada guru Belanda yang obyektif terhadap Islam. Saya juga dekat dengan Doktor Ter Braak, guru Bahasa Latin. Ia selalu mengajak saya berbincang-bincang. Memberi nasihat agar saya tak menyia-nyiakan bakat yang diberikan Tuhan kepada saya. Setiap masuk di kelas, dengan keras ia selalu berteriak, "Algadri," menyebut nama saya. Kedua guru Belanda itulah yang membuka pikiran, meluaskan pandangan saya, yang saya rasakan manfaatnya ketika menceburkan diri dalam dunia politik. Sayang, saya tak pernah bertemu lagi dengan mereka. Pada masa pendudukan Jepang, keduanya ditahan dan meninggal dalam tahanan. Sampai sekarang, kalau saya ingat mereka, saya membaca Al-Fatihah. Dr. Duyvendak sering meminjami saya buku-buku orientalis dan tentang penjajahan. Termasuk Max Havelaar. Multatuli adalah pahlawan saya saat itu. Saya hafal pidato Multatuli di Lebak. Sebait sajaknya terus tergores dan melekat dalam ingatan saya: Akhirnya kita jadikan contoh si kerbau Yang jemu diejek dan disiksa, mengasah tanduknya Melemparkan si penyiksa tinggi ke langit Dan menginjak-injaknya dengan kakinya yang kasar Partai Arab Indonesia Saya mengenal A.R. Baswedan di MULO Surabaya. Baswedan tinggal satu jalan dengan saya di Kapelmen, sekarang jadi Jalan K.H. Mas Mansur. Cita-cita Baswedan masuk sekolah Barat tak terlaksana karena dilarang orangtuanya. Ia belajar dari buku -buku berbahasa Arab, antara lain dari Mesir. Karena saya masuk sekolah Belanda, ia senang berteman dengan saya. Kami terus surat-menyurat pada waktu saya di Yogya. Pada 1934, Baswedan mendirikan PAI di Semarang. Waktu itu, ia menjadi wartawan koran Matahari, milik aktivis Partai Tionghoa Indonesia. Partai ini belakangan gagal total dan kehilangan pengikut. Ikut mendirikan PAI adalah Salim Maskati, seorang perintis kemerdekaan. Juga Hoesin Bafagih, editor majalah Aliran Baroe. Dasar berdirinya PAI adalah pengakuan Indonesia sebagai tanah air, bahasa, dan kebangsaan pemuda keturunan Arab. Sesungguhnya, itu merupakan Sumpah Pemuda keturunan Arab, enam tahun setelah Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Baswedan meminta saya bergabung bersamanya. Di Kongres PAI I di Pekalongan pada 1935, saya diminta memberikan pidato. Itulah awal mula aktivitas politik saya. Selanjutnya, saya dipilih menjadi anggota Pengurus Besar PAI di Jakarta, selepas saya menyelesaikan AMS pada 1936. Saat itu saya memasuki Rechts Hogeschool (Sekolah tinggi Hukum, cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia). Baswedan, yang sudah pindah ke Jakarta, menduduki jabatan ketua partai. Dua organisasi mahasiswa yang aktif waktu itu adalah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), yang merupakan organisasi politik, dan Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI) yang nonpolitik. Saya ingin masuk PPI, tetapi lagi-lagi ditolak dengan alasan keturunan asing. Masuklah saya di USI, berkat dukungan teman-teman seperti Syafruddin Prawiranegara, Kosasih Pur- wanegara, dan Ali Budiardjo. Ada dua pemuda keturunan Arab yang juga masuk USI, yaitu Zaenal Abidin Yahya (ayah Dr. Chehab Rukny Helmy, ortopedis terkenal di Jakarta) dan Anwar Makarim (ayah Nono Anwar Makarim, pemimpin konsultan hukum Makarim & Taira, sekarang menantu saya). Saya juga diangkat menjadi salah satu redaktur majalah USI. Belum lama saya menjadi redaktur, ada artikel yang dikirim oleh seorang mahasiswi, putri seorang pangreh praja. Isinya, mengejek para nasionalis. Disebutnya, seorang nasionalis itu bergigi emas, bercelana komprang, berpeci merah, dan tukang pidato kosong. Mahasiswi tadi ingin artikelnya dimuat. Saya terkejut dan marah membaca tulisan itu. Saya minta segera diadakan rapat redaksi. Ternyata, ada redaktur yang setuju artikel tadi dimuat. Saya pun mengancam, kalau karangan itu dimuat, saya akan keluar dari majalah itu. Sidang redaksi akhirnya memutuskan, karangan putri pangreh praja tadi ditolak. Sejak kejadian ini, banyak teman yang akrab dan sepaham dengan saya. Di antaranya almarhum Amir Hamza Siregar. Saya dan Amir boleh dikatakan menjadi oposisi bagi mahasiswa kalangan elite yang memimpin USI. Cerita ini menggambarkan betapa kurangnya nasionalisme di kalangan mahasiswa ketika itu. Sementara itu, PAI dalam Kongres II di Surabaya pada 25 Maret 1937 mendukung secara bulat Petisi Sutardjo karena cita-cita PAI sama dengan cita-cita bangsa Indonesia menuju Indonesia merdeka. Petisi itu menghendaki pemerintahan bentuk baru di sini yang bukan lagi koloni tetapi sama kedudukannya dengan Nederland. Kemudian nama Persatuan Arab Indonesia diubah menjadi Partai Arab Indonesia, guna menegaskan bahwa PAI adalah partai politik. Ketika Gabungan Partai-partai Politik Indonesia (GAPI) didirikan, PAI masuk sebagai anggota dan aktif dalam gerakan Indonesia Belparlemen. Ini adalah untuk pertama kali partai nonpri diterima GAPI. Pimpinan PAI beralih dari A.R. Baswedan ke tangan H.M.A. Husein Alatas. Pemimpin baru ini bersama saya mewakili PAI dalam GAPI dan ikut serta dalam perundingan dengan Commissie Visman, yang ditugasi pemerintah Belanda mengetahui apa sebenarnya kehendak GAPI. Pada waktu itu suasana dan gerakan politik beralih ke kooperasi dengan pemerintah jajahan. Partai-partai yang "non" seperti Partai Nasional Indonesia pimpinan Soekarno dibubarkan. Begitu juga Pendidikan Nasional Indonesia yang didirikan oleh Hatta dan Sjahrir. Soekarno dibuang ke Ende, Hatta dan Sjahrir ke Digul. PAI tak bisa lain bersikap "ko" seperti partai yang belum dibubarkan misalnya Parindra, Gerindo, Partai Katolik, dan Parkindo. Suasana politik dalam negeri baru menghangat lagi ketika pecah Perang Dunia II, dan Belanda diduduki Nazi Jerman. Jepang masuk pada tahun 1942. USI dan PPI berfusi menjadi Badan Persatuan Pelajar Indonesia (Baperpi). USI waktu itu dipimpin oleh Azis Saleh dan PPI dipimpin oleh Chaerul Saleh yang kemudian menjadi wakil perdana menteri. Baperpi diketuai oleh Soepeno yang belakangan menjadi Menteri Pemuda RI dan ditembak mati Belanda. Saya terpilih sebagai wakil ketua. Saya tak lama di Baperpi karena saya menjadi kader politik Mr. Amir Syarifuddin. Tentu saja dia belum dikenal sebagai komunis. Amir Syarifuddin membentuk kader anti Jepang. Selain saya, ikut juga sebagai kader antara lain Amir Hamza Siregar, Soedarpo Sastrosatomo, dan Soedjatmoko. Kami berkumpul mendengar ceramah mengenai politik Jepang di rumah Amir di Jalan Tangkuban Perahu, Jakarta. Tiba-tiba Amir Syarifuddin ditangkap Jepang dan dijatuhi hukuman mati. Namun, berkat jasa Bung Karno dan Bung Hatta, diganti hukuman seumur hidup. Para kader pun berantakan. Soedarpo ke Tasikmalaya, Soedjatmoko pulang ke rumah ayahnya di Solo, dan saya juga pulang ke Pasuruan. Belum jelas benar kapan saya bisa kembali ke Jakarta. Sementara itu, saya sudah bertunangan dengan Zena Alatas, putri H.M.A. Husein Alatas, ketua terakhir Pengurus Besar PAI. Keluarga akhirnya memutuskan, kami segera menikah. Akad nikah berlangsung di Jakarta, dipimpin Habib Ali Alhabsyi dari Kwitang. Selesai akad nikah, rombongan pengantin ini dengan puluhan becak menuju Stasiun Gambir untuk berangkat ke Surabaya. Maklumlah, mobil-mobil orang partikelir sudah disita Jepang. Penuhlah satu gerbong kereta api dengan keluarga dan teman-teman PAI yang ikut mengantar sampai di Pasuruan. Ayah saya di Pasuruan menjemput kami dengan puluhan delman, seperti pengantin desa umumnya di sana. Pesta pernikahan berlangsung di Pasuruan, pada Juli 1943, karena pertimbangan masa perang. Kehadiran teman-teman PAI rupanya menimbulkan kecurigaan Kenpetai, polisi militer Jepang. Kabarnya, Kenpetai mendengar info bahwa bersamaan dengan pesta itu PAI melangsungkan kongres yang menentang Jepang. PAI memang sudah dibubarkan saat itu. Akibatnya, setelah perayaan itu, A.R. Baswedan, H.M.A. Husein Alatas, dan saya diinterogasi di markas besar Kenpetai yang letaknya di Gedung Kementerian Pertahanan, Medan Merdeka Barat, Jakarta, dekat Museum Gajah, selama beberapa hari terus-menerus. Mulanya, saya tak banyak tahu soal kekejaman Kenpetai. Waktu kami masuk markas Kenpetai itu, terdengar teriakan-teriakan orang-orang yang tengah disiksa di kanan-kiri bangunan. Kami bertiga mondar-mandir beberapa hari, sampai kemudian Kenpetai bisa diyakinkan bahwa keramaian di Pasuruan itu hanya urusan pernikahan semata. Setelah kejadian ini, saya kembali lagi menetap di Pasuruan. Namun, tak lama kemudian nenek istri saya meninggal dunia sehingga saya dan istri berangkat ke Jakarta. Bersamaan dengan itu, ada telegram dari kantor Urusan Arab pemerintah Jepang yang meminta saya datang ke Jakarta. Setelah pemakaman nenek istri saya selesai, saya menemui Kepala Kantor Jepang yang bernama Asada. Singkatnya, saya diminta menjadi penasihat Jepang untuk soal-soal keturunan Arab. Kepada Asada saya meminta agar diberi waktu mempertimbangkan tawaran tadi, dan dari Pasuruan saya akan memberi jawaban. Ketika saya minta diri, Asada memberikan amplop dari laci mejanya sambil berkata, "Ini untuk ongkos Tuan pulang pergi Pasuruan-Jakarta." Ketika saya jelaskan bahwa saya ke Jakarta untuk menghadiri pemakaman nenek istri saya, Asada tahu bahwa itu penolakan halus dari saya. Ia marah seraya menuduh saya anti-Nippon. Saya mencoba menenangkan diri sejenak. Lalu saya jawab, "Saya ingin melihat Indonesia merdeka. Maka, selama Nippon membantu Indonesia ke arah kemerdekaan, saya tidak anti-Nippon." Kemudian, saya terima amplop dari Asada itu, saya masukkan dalam kotak Fonds Kemerdekaan Indonesia yang ada di meja Asada. Di luar dugaan saya, Asada yang ternyata seorang idealis itu tersenyum dan menjabat tangan saya. Ketika saya kembali ke Pasuruan, surat jawaban itu tak pernah saya kirimkan. Perkenalan dengan Sutan Sjahrir Pada awal tahun 1944, Mr. Amir Hamza Siregar minta saya menyempatkan diri datang ke Jakarta untuk berkenalan dengan Sutan Sjahrir. Setiba di Jakarta, saya dan Amir Hamza pun menemui Sjahrir di rumahnya di Jalan Merak, Jakarta. Pembicaraan kami lancar dan menyenangkan karena Amir Hamza rupanya sudah banyak bercerita pada Sjahrir tentang saya. Saya benar-benar terkesan pada Sjahrir. Biasanya seorang politikus kalau bicara selalu berbau agitasi, tapi Sjahrir sangat rasional. Politik dalam dan luar negeri dikupasnya satu per satu dengan mendalam. Sjahrir banyak membuka cakrawala berpikir saya. Kemudian, buku kecilnya, Perjuangan Kita, bagi saya merupakan kompas dan peta agar bahtera Proklamasi dapat tiba nanti di pantai Merdeka. Saya punya pengalaman yang menunjukkan betapa rasionalnya Sjahrir ini. Sekali waktu ketika ia sudah menjadi perdana menteri, ia mengajak saya ke Cirebon untuk hadir dalam sebuah rapat umum besar di sebuah lapangan. Ia bukan orator ulung seperti Bung Karno, jadi bicaranya yang rasional jelas tak menarik. Ada pertanyaan dari hadirin, soal buku Perjuangan Kita yang ditulis Sjahrir. Pertanyaannya, mengapa dalam buku itu tak ada tertulis sepatah pun nama Tuhan. Dengan tertawa Sjahrir menjawab dengan sebuah cerita. Bahwa dahulu di masa kanak-kanak, ia punya sebuah buku berhitung yang dikarang oleh seorang pastor. Meski dikarang oleh pastor, tak satu pun disebut nama Tuhan di sana. Kemudian, Sjahrir menjelaskan bahwa bukunya adalah buku politik yang berisi perhitungan-perhitungan. Bukan buku yang dikarang dengan emosi. Kalau mengingat Sjahrir, saya tak pernah lupa pada kejadian di Cirebon tadi. Setelah berkenalan dengan Sjahrir, saya meneruskan aktivitas di Jawa Timur sampai saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. Sesudah itu, banyak di antara kami yang tak tahu apa langkah selanjutnya. Segera saya menemui Sjahrir kembali di Jakarta. Saya ingat benar pesannya, "Yang penting, kita jangan sekali-kali mengidentifisir diri kita dengan Jepang. Mereka yang mengidentifisir diri sama dengan Jepang akan merasa kalah karena Jepang kalah perang. Padahal, kekalahan Jepang berarti kemenangan kita, kesempatan kita untuk merdeka." Saya sampaikan pesan Sjahrir ini pada teman-teman di Jawa Timur. Di Pasuruan segera dibentuk Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang diketuai oleh seorang pemuda bernama Turmudi. Saya jadi penasihat dan adik saya wakil ketua. Kebanyakan anggota PRI adalah murid sekolah perkapalan Jepang di Pasuruan. PRI inilah yang memobilisasikan pemuda dan mengirim ke medan pertempuran di Surabaya. Pulang dari medan tempur, pemuda-pemuda ini beristirahat di rumah ayah saya. Keluarga saya sibuk menyiapkan makanan dan pakaian untuk mereka. Rumah Besar seakan-akan jadi markas PRI. Proklamasi pernyataan bahwa Pasuruan adalah bagian dari Republik juga dilakukan di Rumah Besar, setelah PRI melucuti polisi Jepang dan Bupati dipaksa mengibarkan Merah Putih. Persis 10 November 1945, saya ada di Surabaya, tapi tak ikut bertempur seperti halnya adik saya Ali. Seorang pemuda tiba-tiba memberi saya sebuah pistol FN. Saya bingung, mau diapakan ini pistol, menembak saja saya tak pernah. Akhirnya, pistol itu saya masukkan tas dan saya bawa ke mana-mana. Tak lama kemudian, saya diangkat jadi anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Kabupaten Pasuruan. Namun, saya bersiap berangkat ke Jakarta ketika menerima telegram dari Sjahrir tentang pengangkatan saya sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sjahrir sendiri terpilih sebagai Ketua Badan Pekerja KNIP dan dipersiapkan menjadi perdana menteri. Setelah itu, Bung Sjahrir dan Bung Karno dengan kereta api mengunjungi beberapa daerah sampai di Banyuwangi. Ketika kereta sampai di Pasuruan, saya bersama Budiono, yang juga diangkat sebagai anggota KNIP, ikut bergabung dan bertolak ke Jakarta. Saya mendapat tempat di Jalan Maluku dan tiap malam harus pergi ke rumah Sjahrir di Jalan Jawa untuk makan malam bersama. Istri dan anak saya waktu itu masih tinggal di Pasuruan. Situasi Jakarta belum aman, serdadu NICA masih gentayangan di mana-mana dan sudah sering terjadi mereka main tembak seenaknya. Kadang-kadang, saya dan Budiono memutuskan untuk "puasa" saja daripada kena tembak NICA. Pada pagi hari, saya biasanya berangkat dari Jalan Maluku menuju rumah Sjahrir dan bersama-sama Sjahrir berangkat ke Kementerian Penerangan yang letaknya di Jalan Cilacap. Aktivitas Badan Pekerja KNIP memang dipusatkan di tempat itu. Saya kemudian diangkat menjadi pegawai tinggi Kementerian Luar Negeri dan selanjutnya juga diangkat sebagai pegawai Sekretariat Perdana Menteri. Sjahrir ketika itu adalah perdana menteri merangkap menteri luar negeri, jadi tugas saya adalah sebagai liaison antara Kementerian Luar Negeri dan Perdana Menteri. Selanjutnya, saya juga diangkat sebagai Sekretaris Kementerian Penerangan menggantikan Mr. Tamzil. Di KNIP saya juga diangkat sebagai anggota Badan Pekerja. Ketika perundingan Linggarjati dan Renville dimulai, saya juga dimasukkan sebagai penasihat perundingan, tapi memang saya lebih banyak berada di Jakarta. Sebagai Sekretaris Kementerian Penerangan, saya berkantor di gedung bertingkat di Jalan Cilacap 4. Di depan kantor Kementerian Penerangan itu ada kantor Tentara Republik Indonesia (TRI) Penghubung yang dipimpin oleh Mayor M.T. Haryono, yang di belakang hari gugur akibat kekejaman PKI. TRI Penghubung inilah yang mengawasi pelucutan ribuan tentara Jepang dan mengatur evakuasi wanita-wanita Belanda ke pelabuhan-pelabuhan untuk melaksanakan politik Sjahrir. Karena TRI Penghubung inilah Indonesia memperoleh simpati dunia. Sebagai kepala kantor saya dibantu oleh Parada Harahap, wartawan kawakan pada zaman itu, lalu ada Soedjatmoko. Juga Soedarpo Sastrosatomo, Mr. Paul Hakim, Adek Budiardjo, yang kemudian jadi Nyonya T.B. Simatupang, dan Tasti Kusumo Utoyo, putri R.A.A. Kusumo Utoyo yang bekas anggota Volksraad. Tugas penting waktu itu adalah melawan propaganda Belanda melalui radio RVD (Regeerings Voorlichtingsdienst) yang dikepalai oleh Dr. Ozinga. RVD gencar melakukan indoktrinasi pada rakyat kita tentang politik Belanda. Inilah yang saya anggap harus dilawan. Tiap minggu, saya membuat jawaban atas propaganda RVD tadi melalui RRI. Naskah bantahan itu kami susun, bersama-sama di Kementerian Penerangan, kemudian saya sendiri yang membacakannya melalui corong RRI. Pokoknya, terjadilah apa yang dinamakan radio battle antara RVD dan Kementerian Penerangan. Perundingan Linggarjati berlangsung tak begitu lancar. Jakarta nyaris kosong karena semua pemuka Republik berada di Yogya. NICA, Netherlands Indies Civil Administration (Pemerintah Sipil Hindia Belanda), berkeliaran di tiap sudut Jakarta. Praktis kantor Republik yang masih aktif hanyalah Kementerian Penerangan dan Kantor Wali Kota Jakarta, dengan Wali Kota Suwirjo. Bung Sjahrir rupanya mendengar radio battle yang saya lancarkan dan menelepon saya. Ia mengingatkan saya agar berhati-hati karena saya praktis hanya sendirian di Jakarta. Nasihat Sjahrir memang tak berlebihan karena ketika itu NICA giat melakukan aksi pembersihan terhadap pemuda-pemuda Republik di kampung-kampung Jakarta. Bunyi tembakan hampir tiap saat terdengar. Sjahrir agaknya ingat pengalamannya waktu baru diangkat menjadi perdana menteri. Suatu saat di Jakarta, dengan mobil Republik yang bertanda "X", Sjahrir yang menyetir sendiri terlihat oleh seorang serdadu Belanda. Tanpa alasan jelas, serdadu itu membidikkan pistol ke arah Sjahrir. Untung, macet. Pelatuk ditarik lagi, tapi tetap macet. Mungkin karena kesal, serdadu Belanda itu menghampiri Sjahrir dan memukulkan popor pistol ke muka Sjahrir sampai matanya bengkak. Ramailah RRI menyiarkan berita menggemparkan: "Perdana Menteri Sjahrir ditembak". Mendengar siaran itu, Sjahrir menyuruh saya cepat-cepat menemui Amir Syarifuddin yang menjabat menteri penerangan. Ia minta siaran RRI disetop. Sjahrir khawatir orang-orang Belanda yang masih berada di tahanan Jepang akan habis dibunuh oleh pemuda Republik. Akhirnya, RRI menyiarkan bahwa Sjahrir selamat, dan kejadian tadi hanya insiden kecil. Sjahrir memperhitungkan benar setiap langkahnya. Inilah yang membuat namanya dikenal di seantero dunia. Pemikiran-pemikirannya dalam buku Renungan Indonesia mengagetkan dunia. Buku ini sebenarnya merupakan surat-surat Sjahrir ketika ia dipenjara di Digul dan Bandaneira pada istri pertamanya, seorang wanita Belanda. Istri Sjahrir itu mengumpulkan surat-surat suaminya dan menerbitkannya menjadi Renungan Indonesia tadi. Pemikiran yang mengagumkan dunia meskipun Sjahrir ketika ia masih berusia 25 tahun. Selagi saya mengingat Sjahrir, pintu kamar saya di Kementerian Penerangan diketuk orang. Dua orang informan Kementerian, Sastrosuwignyo dan Piet de Quelyu yang dari Ambon, membawa informasi penting: Belanda akan menembus garis demarkasi dan menyerbu ke pedalaman. Berarti, Perjanjian Linggarjati yang sudah ditandatangani pada 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk, Istana Merdeka sekarang, akan dilanggar Belanda. Saya segera menghubungi M.T. Haryono yang hampir tiap hari berkunjung ke kantor saya. Haryono juga mengatakan bahwa ia juga menerima info yang sama meski masih samar-samar. Tugas mendesak yang harus saya lakukan adalah mengirim kabar ini ke Yogya karena, begitu Belanda menyerang, Republik akan menjalankan bumi hangus atas perkebunan dan semua fasilitas penting lainnya. Ini memang "kartu" Republik untuk memaksa Belanda menempuh jalan perundingan. Namun, sebelum itu saya harus mengecek lagi kebenaran info tadi. Tak bisa lain, saya harus menemui Piet Sanders, sekjen Komisi Jenderal. Komisi Jenderal merupakan badan yang dibentuk oleh Belanda, yang terdiri dari wakil kalangan bisnis Belanda, Partai Buruh (PVDA), dan wakil Partai Katolik Belanda. Yang menjabat sebagai Ketua Komisi Jenderal adalah Prof Schermerhorn. Saya memutuskan berangkat sendiri bersama seorang sopir dengan mobil Studebaker tua hasil rampasan dari Jepang. Rumah Piet Sanders di Jalan Teuku Umar sudah gelap ketika saya tiba. Setelah tiga kali saya membunyikan bel pintu, Piet muncul dan segera saya kemukakan info tadi. Ia kaget dan mengajak saya menanyakan kabar tadi ke Schermerhorn, yang tinggal di pavilyun kompleks Istana Risjwijk, letaknya di Jalan Veteran sekarang. Komisi Jenderal Schermerhorn adalah orang Sosialis yang lebih suka mengambil jalan perundingan daripada perang. Ketika saya tanyakan info rencana penyerbuan Belanda tadi, Schermerhorn juga tampak kaget. Dia memperkirakan bahwa info tadi tak benar. Saya mendesak terus dan mengatakan telah mengirim orang ke Yogya untuk menyampaikannya. Akhirnya, Schermerhorn mengirim utusan ke dalam Istana untuk menemui Letnan Gubernur Jenderal Van Mook yang malam-malam itu sedang mengadakan rapat. Konon, Jenderal Simon Spoor, panglima tentara Belanda di Indonesia, ada juga di sana. Van Mook dan Spoor terkenal berhaluan garis keras. Ketika Van Mook datang, kami bertiga menemuinya dengan berdiri saja. Schermerhorn langsung terang-terangan bertanya di depan saya pada Van Mook, bahwa saya datang karena mendengar info kalau Jenderal Spoor akan melakukan penyerangan pada Republik. Van Mook diminta langsung menjawab. Orang Belanda tinggi-besar itu langsung menjawab, "Tuan Algadri, saya bisa menjawab dengan tegas, rencana itu tidak benar." Saya desak lagi, apakah saya bisa menyampaikan kabar ini ke Yogya. Van Mook menegaskan, "Silakan Tuan kirim kabar ini ke Yogya." Malam itu juga saya kirim radio telefonie ke Yogya. Boleh jadi, info tadi memang tak pernah ada. Bisa juga memang ada rencana penyerbuan itu, tapi karena bocor, Belanda membatalkannya karena takut Republik akan menjalankan bumi hangus. Perjanjian Linggarjati saat itu sudah diparaf, tapi partai-partai reaksioner Belanda dan para pemilik onderneming tak puas. Pihak Belanda kemudian membuat catatan-catatan pada naskah Linggarjati. Jadi, ada dua naskah Linggarjati, yang asli dan yang sudah "didandani" Belanda. Sementara itu, politik garis keras Belanda makin nyata. Sjahrir menerima nota dari Komisi Jenderal Belanda pada 27 Mei 1947. Isinya, penegasan bahwa secara de jure sampai 1 Januari 1949 Belanda masih berkuasa di Indonesia. Sebelum itu, Indonesia harus diperintah oleh pemerintahan peralihan. Yang terpenting, Belanda minta gendarmerie, pasukan polisi Belanda, diperbolehkan masuk ke daerah Republik. Sjahrir prinsipnya setuju pemerintahan peralihan, tapi ia menolak kehadiran gendarmerie yang sebenarnya hanya kedok Belanda untuk menghancurkan TNI. Namun, partai-partai sayap kiri -- Partai Sosialis, Pesindo, Partai Buruh, dan PKI -- menganggap Sjahrir bertindak terlalu jauh dalam menghadapi Belanda. Karena itu, Sjahrir memutuskan mengirim dua mahasiswa yang baru datang dari Belanda, Setiadjit dan Abdulmadjid, untuk menjelaskan garis politik Sjahrir ke Yogya. Di luar dugaan, sampai di Yogya, keduanya malah berbalik dan mengecam kebijaksanaan Sjahrir. Langsung Sjahrir sendiri berangkat ke Yogya, tetapi ia pun ditentang teman-temannya sendiri, termasuk Amir Syarifuddin. Partai Sosialis, partai yang didirikan Sjahrir, menyatakan tak lagi mendukung Sjahrir. Sebagai seorang yang tahu tata krama politik, Sjahrir mengembalikan mandat sebagai perdana menteri kepada Presiden, pada 27 Juni 1947. Bung Karno minta ia menyusun kabinet baru, tetapi ditolaknya. Amir Syarifuddin kemudian diangkat menjadi perdana menteri. Partai Sosialis pecah. Sjahrir bersama Djohan Sjahruzah mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI). George McTurnan Kahin Aksi militer Belanda tak terbendung lagi, pecah pada 20 Juli 1947. Hampir semua pemuka Republik ditangkap. Larut malam pada hari itu, rumah saya di Jalan Serang 13, Jakarta, dikepung sekitar 30 serdadu Belanda. Saya terbangun oleh suara tapak-tapak sepatu tentara. Anak saya Atika, yang masih berusia dua tahun, ketakutan dan memeluk saya. Pintu rumah diketuk keras. Dengan bersarung dan menggendong Atika, saya membuka pintu, dan beberapa pucuk senapan ditodongkan ke dada saya. Tapi, agaknya, serdadu Belanda tadi kecewa karena mendapati saya cuma bersarung, jauh dari bayangan seorang "ekstremis" yang siap tempur dengan granat di tangan. Menjelang subuh, saya dibawa ke tangsi Jagamonyet, dekat Harmoni. Ternyata, di sana, juga ditangkap beberapa teman dari Kementerian Penerangan, di antaranya Soedarpo Sastrosatomo. Interogasi segera dilakukan oleh seorang mayor Belanda. Mulanya, ia berkata, kalau kami ini pegawai Republik yang tentu setuju saja dengan politik Republik. Termasuk politik bumi hangus. Tapi, saya jawab, saya dan teman-teman sebenarnya adalah mahasiswa. Karena kami setuju pada Republik, kami menjadi pegawai Republik. Bukan sebaliknya. Ia mencoba memancing saya dengan mengatakan bahwa teman-teman saya bilang, karena mereka pegawai, maka setuju pada Republik. Saya bantah lagi, "Saya tak yakin, teman-teman berkata seperti itu." Mayor tadi mendesak lagi, apakah saya setuju bumi hangus. Saya katakan dengan tegas, "Memang saya setuju." Tak disangka, Mayor tadi berdiri dan memberi salam pada saya. Belakangan, saya tahu bahwa mayor tadi adalah seorang Belanda tatok yang baru bebas dari penjajahan dan kekejaman Nazi Jerman. Semua tahanan Republik dilepaskan, kecuali saya dan M. Natsir. Kami berdua dipindahkan ke gedung sekolah Kristen di depan RSUP, Jalan Diponegoro 82 sekarang. Konon, Prof. Schermerhorn bertanya kepada Mr. Piet Sanders, adakah pemimpin Republik yang ditangkap. Piet Sanders mengatakan, ia melihat saya dan Natsir duduk dalam truk serdadu Belanda. Malamnya, kami dibebaskan. Namun, Kementerian Penerangan sudah diduduki Belanda, begitu juga kantor Republik yang lain. Praktis, saya jadi penganggur. Saat saya tak punya pekerjaan itulah datang utusan Dr. Ozinga Ketua RVD. Mr. Bogaars, utusan itu, sopan dan simpatik. Setelah berbasa-basi, ia menjelaskan bahwa ia datang ke rumah saya dengan berat hati untuk menyampaikan tawaran Dr. Ozinga. Ia mengatakan, ia sudah tahu apa jawaban saya, tapi sekadar men jalankan tugas, ia segera menyampaikan: Dr. Ozinga menawari saya jabatan tinggi di RVD. Saya pun menjawab, "Karena Tuan sudah tahu jawaban saya, sampaikanlah jawaban itu pada Tuan Ozinga." Tak lama setelah itu, pada September 1948, keluarlah surat pengusiran untuk sekitar 30 keluarga Republik, termasuk saya. Kantor Republik yang tinggal di Jakarta hanyalah kantor delegasi di Gambir dan sebagai wakil Republik di Jakarta adalah Dr. Darma Setiawan. Entah sebab apa, saya ditunjuk mewakili 30 orang tadi untuk bertemu dengan Dr. Koets, Sekretaris Kabinet Van Mook. Diantar oleh Darma Setiawan dan seorang penasihat hukum, Mr. Sudiman Kartohadiprodjo, saya menemui Dr. Koets. Barangkali Dr. Koets mengira kedatangan kami untuk minta ampun, jadi ia berbicara keras dan sangat tidak simpatik. Saya tegaskan, kami datang untuk memprotes dan tak ada maksud lain. Saya protes karena tak pernah disebutkan apa kesalahan kami sampai diusir. Ada yang mengatakan subversi. Saya katakan, kalau saya dianggap subversi ya sudahlah, tapi yang juga diusir adalah istri dan tiga anak saya yang masih kecil, apa mereka ikut terlibat subversi. Dr. Koets tak mau menjawab pertanyaan saya. Suasana jadi amat tegang. Saya berdiri dan mengatakan, tak ada gunanya pertemuan itu diteruskan, dan saya akan segera berangkat ke Yogya. Tanpa menjabat tangan Dr. Koets, saya pergi diikuti dua teman tadi. Di kantor delegasi, saya tegaskan keputusan saya untuk berangkat ke Yogya. Kemudian keluarlah surat keputusan Belanda bahwa semua yang diusir boleh tetap tinggal di Jakarta. Kecuali saya, Tasti Kusumo Utoyo -- asisten saya di Kementerian Penerangan -- Sukardjo Wirjopranoto, dan Ir. Pangeran Noor. Keputusan ini disiarkan di koran-koran Jakarta. Orang-orang "usiran" ini pun berangkat ke Yogya dengan pesawat terbang UNCI (United Nations Committee on Indonesia). Di lapangan terbang Maguwo, kami disambut hangat oleh beberapa teman Republik. Dr. Leimena dan Mr. Ali Budiardjo juga ikut menjemput. Saya ditempatkan di Jalan Terban Taman, Kota Baru, bertetangga dengan Haji Agus Salim, Menteri Luar Negeri pada saat itu. Di rumah penampungan itu, ada seorang sarjana dari Cornell University yang tengah menyiapkan disertasi tentang nasionalisme dan perjuangan revolusi di Indonesia. Namanya George McTuman Kahin. Disertasinya itu kelak diterbitkan dengan judul Nationalism and Revolution in Indonesia. Buku yang dianggap standar revolusi Indonesia. Kahin senang sekali bertemu dengan saya. Dia banyak berdiskusi dan mengumpulkan bahan dari saya tentang jalannya perjuangan. Saya masih ingat, dia pernah menanyakan apakah saya yakin sosialisme bisa berakar di Indonesia. Saya jawab, saya tidak yakin. Sebab, menurut teori, sosialisme bisa diterapkan kalau kapitalisme sudah matang, sedangkan di masa itu kita belum punya kapitalisme. Yang ada adalah kolonialisme. Rusia memaksakan sosialisme dengan kediktatoran. Saya katakan kepada Kahin, sosialisme PSI -- partai tempat saya bergabung -- tak menghendaki adanya diktatur, tapi menginginkan demokrasi. Malah, sosialisme PSI itu menyempurnakan demokrasi, bukan mengurangi demokrasi. Karena sosialisme PSI menghendaki adanya demokrasi ekonomi untuk memperbaiki ekonomi rakyat. Rakyat yang lemah tentu tak bersuara. Rakyat hanya bisa bersuara kalau ekonominya kuat. Tanpa itu, rakyat memang punya suara, tapi tak punya radio, tak punya koran, lalu gampang dijejali macam-macam. Dalam pemilu, yang akan menang tentu yang punya duit. Inilah yang menarik saya bergabung dengan PSI. Tugas PSI yang penting adalah menjaga agar masyarakat tak dimasuki paham komunis. Itu sebabnya partai raksasa seperti PKI benci benar pada partai kecil seperti PSI. Selagi saya di Yogya, istri dan anak-anak saya tetap tinggal di Jakarta. Ayah dan ibu saya juga berada di Jakarta. Ceritanya, setelah aksi militer pertama Belanda, Pasuruan diduduki Belanda. Van der Plas, Gubernur Jawa Timur yang ahli Islam dan murid Dr. Snouck Hurgronye, mendatangi ayah saya dan meminta Ayah menjadi kepala golongan Arab kembali. Ayah saya menolak dengan halus. Mendengar itu, saya menulis surat kepada Ayah, agar pindah saja sementara ke Jakarta untuk menghindari tekanan Van der Plas. Ayah setuju dan berangkat ke Jakarta. Tapi, ketika saya diusir ke Yogya, ayah dan ibu saya memutuskan kembali ke Pasuruan membawa dua anak saya, Atika dan Maher. Istri saya dan Adila, anak ketiga yang masih berusia delapan bulan, tetap di Jakarta menunggu kalau-kalau ada perubahan keputusan tentang diri saya. Tak ada perubahan apa pun soal pengusiran saya. Istri saya pun menyusul ke ogya. Dua hari berada di Yogya, meletuslah aksi militer kedua Belanda, 19 Desember 1948. Lapangan terbang Maguwo dibom, Yogya dihujani serentetan tembakan dari udara. Muhamad Yunus, utusan Nehru yang akan menyertai Bung Karno ke India, mengira aksi tembakan itu hanya latihan tentara Republik. Tapi saya katakan, ini serangan Belanda. Sebentar kemudian, pasukan Belanda masuk Yogya. Sasaran pertama adalah daerah pejabat tinggi Republik di Terban Taman. George Kahin minta izin pada saya untuk mengibarkan bendera Amerika di halaman depan. Saya tak keberatan. Tapi, akibatnya, serdadu Belanda malah lebih dulu masuk di rumah penampungan saya. Di tengah tembakan yang memecahkan kaca jendela dan genting, saya dan Didi Djajadiningrat, seorang pegawai Deplu, disuruh keluar dan jongkok di tepi jalan. Saya melihat Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim juga diperintahkan jongkok di pinggir jalan. George Kahin memprotes perlakuan Belanda itu kepada pimpinan intelijen Belanda Kapten Vosveld. Tapi tak digubris, malah Kahin diusir ke Jakarta. Saya, Haji Agus Salim, dan Prof. Abidin dikenai status tahanan rumah di sebuah rumah di Terban Taman. Istri saya, Zena, mengurus keperluan kami bertiga, sehingga tiap hari mondar-mandir dengan sepeda ke pasar, membeli segala keperluan. Kemudian Haji Agus Salim dipindah ke Parapat dan saya pindah ke penjara Wirogunan. Istri saya diajak tinggal serumah dengan Jo Kurnianingrat -- yang, di belakang hari, menjadi Nyonya Ali Sastroamidjojo. Hari sudah mulai gelap ketika saya tiba di Wirogunan. Di sel kecil, tiba-tiba ada yang menyapa saya, "Apakah ini Bung Hamid?" Ternyata, yang menyapa saya itu adalah Kepala Kepolisian Negara Sumarto dan wakilnya, Memed Tanumijaya. Akan halnya Kahin, setelah seminggu di Jakarta, ia kembali ke Yogya untuk meneruskan penelitiannya. Ia mencoba menemui saya di penjara, tapi gagal. Ia kemudian menemui istri saya, membawakan beberapa kaleng susu untuk bayi saya, Adila. Saya tak pernah bisa lupa akan kebaikan hati Kahin ini. Konperensi Meja Bundar Setelah tercapai Persetujuan Roem-Roijen, saya sekeluarga kembali ke Jakarta. Delegasi Indonesia ke Konperensi Meja Bundar (KMB) disusun, nama saya termasuk di dalamnya. Belanda minta agar negara-negara bagian yang dibentuknya dan tergabung dalam BFO (Bijeenkomst voor Federale Overleg) mengirim wakilnya ke KMB. Delegasi BFO diketuai oleh Sultan Pontianak Hamid Algadri, yang namanya sama dengan saya. Belum lagi delegasi berangkat ke Den Haag, saya sudah bersitegang dengan Sultan Hamid. Karena dia menginginkan agar, dalam BFO, duduk wakil keturunan Arab. Saya menentang usaha ini. Saya katakan, golongan Arab sudah termasuk dalam bangsa Indonesia. Saya sebagai keturunan Arab menjadi penasihat delegasi Republik, bukan mewakili minoritas Arab. Pada akhirnya, tercapai kompromi yang menguntungkan saya. Dua orang keturunan Arab ditunjuk sebagai penasihat BFO, Abdulkadir Alsegaf -- pernah menjadi anggota PAI -- dan Yahya Alaydrus, simpatisan PAI. Sesampainya di negeri Belanda, keduanya menyerahkan segala urusan politik dalam KMB kepada saya. Delegasi Republik ditempatkan di hotel mewah Kurhaus di pantai Scheveningen. Mobil mengkilap disiapkan, setiap hari anggota delegasi menerima uang saku sekitar 25 gulden atau kira-kira US$ 10, yang nilainya tinggi di kala itu. Belanda memang berusaha keras melayani kami dengan segala keramahan. Tapi kami tak tergoda. Bung Hatta, yang memimpin delegasi Republik, merupakan contoh bagi kami: lambang keimanan yang kuat dan tak mudah goyah. Sjahrir dan PSI sesungguhnya kurang setuju dengan KMB. Tapi Sjahrir menganjurkan agar saya menerima pengangkatan sebagai delegasi Republik, agar sekali-sekali melaporkan kepadanya jalannya perundingan. Dalam surat kepada Sjahrir, saya menganjurkan agar Sjahrir mendukung KMB karena KMB setidaknya akan menghasilkan penyerahan kedaulatan kepada RI. Sjahrir tak menjawab surat saya. Namun, ketika KNIP membahas naskah per- setujuan KMB, PSI abstain dalam pemungutan suara. Sebelum KMB berakhir November 1949, setelah berlangsung sekitar tiga bulan, saya menyempatkan diri menemui Siti Wahyuna Saleh (Poppy), sekretaris pribadi Sjahrir, untuk menyampaikan surat Sjahrir. Siti Wahyuna adalah sahabat keluarga saya dan, ketika itu, ia sedang berada di Leiden untuk menyelesaikan studinya. Ternyata, surat Sjahrir yang saya sampaikan itu adalah surat lamaran. Dan menjelang kembali ke Jakarta, Poppy menitipkan sepucuk surat untuk Sjahrir. Dengan hati-hati, saya simpan surat itu di saku jas. Tiba di lapangan terbang Kemayoran, delegasi disambut meriah, antara lain oleh Mr. Ali Budiardjo. Saya segera pulang ke rumah saya di Jalan Musi, Petojo. Belum sempat saya berganti pakaian, Sjahrir datang. Ia merangkul saya dan mengucapkan selamat datang. Saya pun teringat akan surat Poppy. Anehnya, surat itu tak saya temukan di saku jas. Saya mencoba mencarinya di tas dan kopor, tapi tak ketemu juga. Dengan sedih, saya keluar dari kamar, hendak menyampaikan berita sedih itu. Tapi Sjahrir tertawa-tawa dan mengambil sehelai surat dari kantungnya. Ternyata, surat itu terjatuh di Kemayoran dan ditemukan oleh Ali Budiardjo, yang datang menjemput delegasi. Ia mengenali surat itu untuk Sjahrir dari satu kata "Sidi" -- panggilan Poppy khusus untuk Sjahrir. Isi surat itu, Poppy Saleh bersedia menjadi Poppy Sjahrir. Mereka menikah pada 1952 di Kairo, di rumah duta besar RI untuk Mesir, Rasyidi. Yang menikahkan adalah Rektor Universitas Al-Azhar. KMB akhirnya diterima sidang KNIP di Solo, walau ditentang kelompok oposisi. Lahirlah Republik Indonesia Serikat (RIS). RI hasil proklamasi yang beribu kota di Yogya hanya menjadi satu bagian RIS. Bung Karno menjadi presiden RIS dan Bung Hatta wakilnya. Presiden RI adalah Mr. Assaat dan Dr. Halim menjadi perdana menteri. RIS tak berumur panjang. Setelah penyerahan kedaulatan kepada pemimpin RI, rakyat setempat menuntut dihapuskannya negara-negara bagian yang dibentuk Belanda. Ketika itu, parlemen RIS sedang disusun. Saya diangkat jadi anggotanya dan melepas keanggotaan saya sebagai anggota Badan Pekerja KNIP. RIS terhapus, saya pun dengan sendirinya menjadi anggota parlemen negara kesatuan kita. Setahun setelah KMB, kita merasa KMB belum sempurna: karena Irian Barat masih dikuasai Belanda. Maka, pada 1951, dibentuk delegasi untuk menuntut pengembalian Irian. Yang memimpin delegasi adalah Dr. J. Leimena, Mr. Muhammad Yamin, Silas Papare -- seorang putra Irian -- dan saya. Kami pun berangkat ke negeri Belanda. Namun, setelah beberapa kali berunding, sama sekali tak ada titik temu. Perundingan menemui jalan buntu. Mr. Mohamad Yamin, yang menjabat Komisaris Tinggi Indonesia dalam Uni Indonesia-Belanda, mengusulkan agar salah seorang anggota delegasi menemui Menteri Luar Negeri Belanda Mr. Stikker. Pilihan jatuh pada saya. Saya pun berangkat ke gedung Kementerian Luar Negeri Belanda. Mr. Stikker terkenal sebagai pemimpin Belanda yang luwes sikap politiknya. Sikapnya ramah ketika menerima saya dan pembicaraan pun lancar. Saya kemukakan kesulitan Indonesia dalam perundingan itu. Pada dasarnya, Stikker memahami kesulitan delegasi Indonesia. Kesan yang ingin ia sampaikan adalah kenyataan bahwa sulit sekali mengubah sikap delegasi Belanda yang sangat dipengaruhi partai politik yang berkuasa. Saya masih ingat ketika Stikker menceritakan pembicaraannya -- mengenai sikap AS terhadap kemerdekaan Indonesia -- dengan Menlu AS Jenderal George Marshall. Pada akhir pembicaraan, Jenderal Marshall berkata, "Stikker, it can be done." Dari kata-kata Stikker itu, saya menarik kesimpulan betapa besarnya pengaruh Amerika di Eropa setelah Perang Dunia II usai. Perekonomian negara-negara Eropa hancur. Eropa tak mungkin membangun tanpa bantuan Amerika yang tetap utuh dan makmur setelah perang. Marshall Plan disusun Jenderal Marshall untuk membangun kembali Eropa, termasuk negeri kecil Belanda. Oleh karena itu, kalau Jenderal Marshall sudah berkata, "Stikker, it can be done," tak mudah bagi Belanda mengubah keputusan ini. Sekalipun Stikker tak menjelaskan serinci ini, saya menarik kesimpulan bahwa Irian Barat dapat dikembalikan kepada Indonesia jika disetujui dan didesak Amerika. Kenyataan yang terjadi kemudian, sekalipun melalui konfrontasi senjata cukup panas, Belanda mengembalikan Irian Barat dengan persetujuan Amerika. Tapi di Den Haag, ketika itu, Belanda masih berkeras untuk menguasai Irian Barat. Perundingan gagal. Delegasi memutuskan tak ada gunanya meneruskan perundingan. Sebagai protes atas sikap Belanda yang kaku itu, delegasi Indonesia pulang ke tanah air. Kami melaporkan ihwal macetnya perundingan itu kepada Perdana Menteri Mohammad Natsir. Karena Presiden Soekarno ingin mendengar soal Irian Barat tadi, delegasi bersama Natsir kemudian menghadap Presiden. Dr. Leimena, dengan kata-kata yang halus dan nada tenang, mencoba menerangkan jalannya perundingan. Namun, muka Bung Karno merah setelah mendengar laporan delegasi. Jelas, ia tampak kurang puas atas sikap delegasi. Oleh karena itu, kemudian timbul perdebatan sengit karena Presiden mengusulkan agar semua milik Belanda di Indonesia dinasionalisasikan. Kalau perlu, KMB dibatalkan. Natsir dan anggota delegasi minta agar Presiden bersabar, sebab ada tanda bahwa sikap pemerintah Belanda tak mendapat dukungan rakyatnya, terutama kalangan bisnis. Perdebatan pun makin panas. Natsir, yang biasanya sabar, akhirnya memperingatkan Presiden bahwa, menurut UUD Sementara, tanggung jawab politik ada di bahu perdana menteri. Bung Karno tersenyum seraya membenarkan tanggapan Natsir. Tapi ia khawatir Parlemen akan menolak sikap perdana menteri. Untuk meredakan suasana, Bung Karno mengajak kami semua menikmati lukisan-lukisan indah di Istana. Di depan sebuah lukisan besar, Bung Karno berkata kepada saya, "Bung Hamid, nikmatilah keindahan lukisan ini. Itu adalah lukisan seorang wanita cantik yang berjudul 'Gadis Arab' ". Beberapa hari kemudian, "ramalan" Bung Karno mengenai sikap Parlemen atas hasil perundingan Irian Barat terbukti. Suara-suara tak puas bergemuruh di Parlemen. Kabinet Natsir pun mengundurkan diri. Ketua Fraksi PSI di Konstituante Ketika Kabinet Ali Sastroamidjojo berkuasa, golongan oposisi -- terdiri dari Masyumi, PSI, Katolik, dan Parkindo -- membentuk Badan Kerjasama Oposisi. Pada 1955, Kabinet Ali jatuh dan Badan Kerja sama Oposisi menjadi alternatif pemegang pemerintahan. Sewaktu badan tadi menyusun kabinet, wakil PSI yang ditunjuk adalah Prof. Sumitro Djojohadikusumo sebagai menteri perekonomian dan saya sebagai menteri kehakiman. Saya baru tahu penunjukan ini setelah Sumitro dan Natsir datang di rumah saya, Jalan Tosari 50, untuk memberi tahu keputusan Badan Kerja sama Oposisi itu. Mereka mendesak saya segera menerimanya, tapi saya minta waktu untuk berunding dulu dengan Sjahrir. Dalam pada itu, kabar dibentuknya Kabinet Burhanuddin Harahap sudah dis- iarkan surat kabar dan RRI sehingga banyak teman yang memberi ucapan selamat. Saya menemui Sjahrir di rumahnya di Jalan Jawa. Tapi sambil tertawa, Sjahrir mengatakan bahwa sumber berita di surat kabar itu adalah Sjahrir sendiri. Dengan agak protes, saya katakan mengapa ia tak bertanya dulu kepada saya. Sjahrir justru heran mengapa saya menolak. Saya jelaskan kepadanya alasan-alasan baik dan tidaknya saya duduk di Kabinet. Rupanya, Sjahrir merasa bahwa yang saya kemukakan cukup beralasan. Ia pun setuju saya tak duduk di Kabinet. Ia juga yang menjelaskan penolakan saya ini kepada kawan-kawan di PSI. Antara lain, kata Sjahrir, selama ini orang lebih mudah menerima ketimbang menolak jabatan menteri. Sesudah penolakan ini, saya terlibat dalam sebuah diskusi dengan Sjahrir. Dalam diskusi itu saya katakan, saya sangat pesimistis mengenai nasib PSI dalam pemilu mendatang. Saya berpendapat, masyarakat Indonesia belum siap dan matang menerima program PSI yang disampaikan kelewat intelektualistis sehingga tak meresap di hati rakyat. Pemimpin PSI di daerah, dalam pidatonya, lebih mengutamakan intelektualitas dan mutu kata-kata ketimbang memberi pengertian sederhana akan cita -cita partai. Hampir tak ada hubungan bahasa, budaya, dan agama rakyat dengan cita-cita PSI. Saya kemukakan, sedikit banyak PSI harus mencontoh Partai Sosialis di Burma, yang mengaitkan ajarannya dengan ajaran-ajaran Budha. Saya ceritakan kepada Sjahrir, saya sering mendapat simpati di Jawa Timur karena mengaitkan cita-cita PSI dengan ajaran Islam, seperti lembaga zakat fitrah dan sedekah, yang jelas -jelas mengangkat nasib si lemah. Tapi sebagian kawan-kawan tidak menyetujui cara-cara saya. Saya dianggap lebih cocok menjadi anggota partai Islam ketimbang PSI. Juga saya katakan, UUD Sementara tak memungkinkan Indonesia melakukan pembangunan, karena kabinet jatuh-bangun dalam delapan atau sembilan bulan. Kesimpulan yang saya tarik dari diskusi dengan Sjahrir: ia sependapat dengan saya agar kita berusaha kembali ke UUD 1945. Semua pikiran ini sesungguhnya sudah lama menjadi pemikiran Sjahrir. Agaknya, karena ini, Sjahrir kemudian mempercayai saya sebagai Ketua Fraksi PSI di Konstituante. Kewajiban Konstituante adalah menyusun UUD baru untuk Republik. Konsep UUD bisa disahkan menjadi UUD kalau disetujui dua pertiga anggota Konstituante. Maka, debat dan diskusi untuk menyusun konsep UUD baru berlangsung selama tiga tahun. Namun, dua pertiga suara tak pernah dicapai. Kemudian, mulailah muncul suara-suara agar kita kembali saja ke UUD 1945. PSI sejak awal setuju diberlakukan UUD 1945 karena, dengan UUD Sementara yang menghasilkan sistem parlementer, tak ada kabinet yang berumur panjang. Boleh dikatakan, tiap delapan bulan kabinet berganti. Dengan UUD 1945, paling tidak kabinet akan bekerja selama lima tahun. Perjuangan PSI di Konstituante untuk kembali ke UUD 1945 juga tak berhasil karena dua pertiga suara tak diperoleh. Saya sendiri mencoba menarik partai-partai Islam agar menerima gagasan kembali ke UUD 1945, tetapi ditolak. Salah satu alasan, dalam UUD 1945 soal hak-hak asasi manusia sedikit sekali dicantumkan, sedangkan di UU RIS, hak-hak asasi komplet dis- ebutkan seperti yang terdapat dalam Piagam PBB. Sidang Konstituante berlangsung di Bandung. Wakil Ketua Masyumi, yang juga Wakil Ketua Konstituante, Prawoto Mangkusasmito, sering mengajak saya dengan mobilnya pergi ke Bandung dan balik ke Jakarta. Prawoto sudah lama saya kenal. Kami bersama-sama aktif dalam Studenten Islam Studie Club di Sekolah Tinggi Hukum, lalu berlanjut di BP KNIP dan parlemen. Dalam beberapa kesempatan perjalanan Bandung-Jakarta, saya katakan pada Prawoto bahwa soal hak-hak asasi manusia itu memang penting. Pidato saya di Konstituante, yang dimuat di harian Pedoman tiga hari berturut-turut, juga menegaskan pentingnya hak-hak asasi manusia itu. Namun, soal hak asasi ini bisa kita tambahkan kalau kita sudah menerima UUD 1945 karena PKI senang melihat Masyumi menolak UUD 1945, dan menjadi jago dari gagasan kembali ke UUD 1945. PKI jelas ingin memencilkan Masyumi dan PSI -- yang dianggap penghalang utama untuk berkuasa di negeri ini -- dari Presiden dan kehidupan politik. Partai-partai Islam tetap menolak UUD 1945. Sidang-sidang Konstituante macet, sedangkan Republik harus punya undang-undang dasar. Akhirnya, Presiden mengumumkan Dekrit Kembali ke UUD 1945 dan membubarkan Konstituante. Selain alasan harus punya undang-undang tadi, banyak permainan politik PKI yang mempengaruhi keputusan Presiden. Masyumi selanjutnya dibubarkan. Entah mengapa, PSI yang setuju kembali ke UUD 1945 ikut juga dibubarkan. PKI pun seakan pesta besar. Jalan terbuka lebar bagi PKI untuk mempengaruhi Bung Karno. Pembentukan Kabinet Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) adalah puncak kemenangan PKI setelah Masyumi dan PSI dibubarkan. Dari parlemen tak terdengar lagi suara oposisi yang mengingatkan Bung Karno akan taktik dan ulah PKI. Yang terjadi kemudian, tokoh kedua partai tadi ditahan dan dipenjarakan di Madiun, termasuk Sjahrir dan Natsir. Bintang Nishan Iftighar Pada 1952, datanglah Habib Bourguiba, Ketua Partai Neo-Destour Tunisia, dan Taieb Slim, juga seorang pemimpin partai itu, ke Jakarta. Tujuannya, mereka minta bantuan RI untuk perjuangan kemerdekaan negerinya dari Prancis. Mereka datang menjumpai Menteri Luar Negeri Mohamad Roem. Perdana Menteri RI saat itu adalah Mohammad Natsir. Menlu Roem meminta agar bantuan pada Tunisia ini dilakukan oleh parlemen saja. Saya ketika itu menjabat Wakil Seksi Luar Negeri Parlemen Indonesia dan diserahi tugas menjalankan perintah Menlu tadi. Saya, bersama Natsir, selanjutnya membentuk panitia yang terdiri dari semua partai politik di Indonesia. Masyumi, Parkindo, Katolik, PNI, dan PSI semua punya anggota di kepanitiaan tadi, kecuali PKI. Saya dipilih sebagai sekjennya. Panitia inilah yang mengatur pemberian bantuan kepada Tunisia. Ada wakil Tunisia di Indonesia, bernama Rasyid Driss, kami beri kantor, bantuan uang, mobil, dan pada akhirnya senjata. Caranya, Menteri Pertanian Kasimo mengirim karet dan diatur oleh Menteri Keuangan agar dibelikan senjata untuk Tunisia. Semua bantuan ini diatur oleh panitia tadi. Setelah membantu Tunisia sampai mencapai kemerdekaan penuhnya dari Prancis, panitia melanjutkan bantuan pada Aljazair yang belum merdeka. Wakil Tunisia pulang ke negerinya, diganti wakil Aljazair. Dialah Lakhdar Brahimi, yang ketika berlangsung Konperensi Mahasiswa Asia Afrika menjadi pemimpin mahasiswa Aljazair. Lakhdar Brahimi didampingi Mohammad Ben Yahya yang kemudian menjadi Menlu Aljazair. Belakangan, Brahimi juga menjadi menlu. Sebagai tanda terima kasih atas jasa RI, pemerintah Tunisia memberi saya bintang Nishan Iftighar. Saya diundang ke Tunisia untuk menerima bintang tadi. Mohammad Natsir juga dihadiahi bintang yang sama, yang kemudian saya serahkan pada Natsir di Jakarta. Saya kembali lagi ke Tunisia pada tahun 1965, atas undangan Wakil Pribadi Presiden Bourguiba. Tepat pada 30 September, saya meninggalkan Tunis untuk berangkat ke Paris. Dari Paris, kami melanjutkan perjalanan ke Zurich, Swiss, hendak menjenguk Sjahrir yang dirawat di sana. Sjahrir memang sudah dipindahkan dari penjara Madiun ke Jakarta. Namun, karena belum ada hasilnya, BK setuju Sjahrir dikirim ke Swiss. Ketika berjumpa saya, ia mengungkapkan rasa rindunya lewat air muka dan gerak tangan. Ia sempat berdiri, membuka sebuah laci dan mengeluarkan guntingan koran tentang meletusnya G30S-PKI. Tiga hari di Zurich, saya berpamitan. Tiba-tiba Sjahrir mengenakan sepatu, lalu mengambil jas dan memakainya. Ia hendak ikut mengantar kami ke bandar udara. Saya berusaha menasihati agar ia tak ikut ke bandar udara, begitu pula istrinya, tapi Sjahrir berkeras. Ketika menunggu jam keberangkatan, Sjahrir sempat membeli koran yang masih memuat berita hangat tentang G30S. Itulah pertemuan terakhir saya dengan Sjahrir. Enam bulan kemudian, tokoh yang saya kagumi itu meninggal dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus