Pementasan Lautan Jilbab di Surabaya sukses. Emha Ainun Nadjib masih tetap melemparkan kritik-kritiknya. Inikah kesenian Islam? Lautan jilbab, samudera putih samudera cinta kasih .... ITU sepenggal bait dari bermeter-meter puisi penyair Emha Ainun Nadjib, Lautan Jilbab, yang pekan lalu dipentaskan Kelompok Titian Yogya. Pergelaran kolosal di gedung Go Skate Surabaya itu sukses karena telah mampu "memaksa" sekitar 10.000 penonton terpaku duduk di kursi, termasuk Pangdam V/Brawijaya Mayjen. R. Hartono. Apalagi penyelenggaranya, Universitas Muhammadiyah, berani membiayainya dengan dana yang "wah": Rp 50 juta. Repertoar ini tepatnya disebut Lautan Jilbab II -- sebagai tanggapan terhadap diizinkannya gadis-gadis muslimah mengenakan jilbab di sekolah -- menyusul Lautan Jilbab I yang dimaksud sebagai reaksi atas pelarangan pemakaian jilbab di beberapa sekolah negeri. Bukan hanya "cinta kasih" yang disuguhkan Emha, yang jebolan pondok pesantren Gontor, Ponorogo ini. Pementasan ini ditangani empat sutradara -- Jujuk Prabowo (Teater Gandrik Yogya), Goetheng Ms. Fauzie, Whani H. Darmawan, Agus Sutheng Yuniawan (ketiganya dari Teater Shalahuddin Yogya). Grup sutradara yang ternyata juga dimotori Emha dari belakang layar ini mampu menampilkan tontonan yang kocak-kocak segar, tapi religius dan agung. Dan seperti mengikuti semacam mode, teater yang oleh Emha dan Jujuk dianggap sebagai teater eksperimental ini juga melontarkan kritik sosial. Kritik itu mulai dari soal jilbab, fungsi masjid, kesenian Islam, pembangunan, pemilihan umum, potret sosial umat Islam, sampai pada kecenderungan para pejabat naik haji. "Tapi yang korupsi ya tetap korupsi, yang numpuk dosa ya tetap saja numpuk dosa ..." Itu dialog antara dua malaikat. Dalam cerita ini memang ada dua tokoh malaikat, ada sutradara, ada ketua panitia, ada aparat keamanan, ada takmir masjid, ada penyair. Ceritanya, para remaja masjid mau menyelenggarakan syukuran atas diizinkannya jilbab masuk sekolah. Lalu mereka mementaskan soal jilbab itu. Tapi kenapa ada penyair segala? Tokoh penyair itu rupanya memang refleksi kehidupan pribadi Emha sendiri. Sang penyair, tokoh utamanya, didaulat sutradara untuk membaca puisi di sebuah masjid. Ia sempat dielu-elukan publik dan dikultuskan. Tapi ia sendiri menolak dengan melemparkan sarung, mencopot kaus oblong, memelorotkan celana, dan bergoyang pinggul. Pendeknya, ia ingin tampil "telanjang" sebagai manusia biasa. Dalam pengamatan wartawan TEMPO Kelik M. Nugroho, pementasan karya Emha -- kini katanya ingin menanggalkan atribut santrinya, "supaya wilayah gerak saya tidak dibatasi" -- memang bagus. Pergantian blocking dinamis dan rapi, dibantu tata lampu yang apik. Dekorasinya pun "khas Islam": ada kubah, ada pilar empat buah, ada enam buah beduk. Kostumnya sudah bisa diduga: yang lelaki mengenakan pakaian seperti pakaian tradisional Melayu, warna hitam dan mengenakan peci yang perempuan gaun panjang berikut jilbab, yang biasa disebut "busana muslimah" itu, berwarna putih. Yang istimewa ialah iringan musiknya, yang sangat membantu adegan di panggung luas dengan pemain 60 orang itu. Maklum, yang menggarap Sapto Rahardjo, musisi Yogya yang sering tampil dengan karya-karya eksperimental. Ia menampilkan bermacam efek bunyi -- berikut enam komposisi khusus untuk pementasan ini -- dengan menggunakan berbagai perangkat yang namanya niscaya asing bagi kaum awam: RS PCM Keyboard U-20, Synthesizer D-50, Digital Sampling Keyboard, Music Computer S-50. Pendeknya, canggihlah. Ia juga mencomot tema dari Kings Gipsy de La Espanola, yang tak jauh dari tema musik Timur Tengah -- untuk mengiringi adegan tari pada bagian awal. Tapi ia juga tak segan-segan menampilkan orkestrasi gambus yang benar-benar asli Timur Tengah, dengan memutar kaset biduanita Mesir yang piawai, almarhumah Umi Kalsum, Thola'al badru'alaina, yang dinyanyikan penduduk Medinah ketika Rasulullah tiba hijrah dari Mekah, 15 abad lampau. Tapi ada yang mengganggu irama permainan. Yaitu penampilan samroh -- musik tradisional dengan lirik bahasa Arab yang sangat populer di kalangan santri -- yang antara lain menyajikan lagu-lagu pujaan terhadap Rasulullah. Tapi toh ada saja alasan Emha menampilkannya. "Saya memang kurang srek, tapi penampilan samroh lebih berdasarkan pertimbangan kultural," katanya. Dan pertimbangan komersial bukannya tidak ada. Misalnya dengan menggaet Gito Rollies, yang kabarnya dibayar Rp 2 juta. Untung, penyanyi rock aliran keras yang menyanyikan tiga lagu itu -- No Kasta, Pil Maklum, Jangan Masa Bodoh -- dengan pas masuk dalam alur cerita. Pendeknya, pementasan ini sukses. Padahal, sebagian terbesar dari 60 pemain Lautan Jilbab II ini masih duduk di bangku SLTA, yang bisa diduga kurang mengenal dasar-dasar teater. Itu sebabnya dialog-dialog tunggal lebih dipercayakan kepada pemain kuat seperti Whani H. Darmawan, Labibah Yahya (Teater Eska), Goethen Ms. Fauzie, Agus Sutheng Yuniawan (Teater Shalahuddin). Kalau dalam lakon yang sudah dimainkan 10 kali ini (di Yogya, Ujungpandang, Malang, Madiun, dan Surabaya) Emha mengkritik kesenian Islam, adakah pementasannya itu sendiri merupakan "kesenian Islam"? Budiman S. Hartoyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini