IA pemalu, pintar matematika, dan tak mau diistimewakan. Pergi kuliah diantarkan sopir, pulangnya jalan kaki atau naik bemo dengan teman-teman. Ia penggemar setia taoge goreng di Pasar Gembrong, Bogor. Ia bernama Siti Hutami Endang Adiningsih, 23 tahun, putri bungsu Presiden Soeharto. Sabtu dua pekan lalu Mamiek, begitulah panggilan sehari-harinya, diwisuda di Institut Pertanian Bogor. Mahasiswi Jurusan Statistika dan Komputasi ini menyelesaikan kuliah tepat pada waktunya, empat tahun. Ia -- yang masuk IPB lewat Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) pada 1983 dari SMA Theresia, Jakarta, hingga tak perlu mengikuti tes masuk -- memang kerja keras. "Kuliahnya sangat mencapekkan. Apalagi di tingkat satu, kuliah pagi, siang, dan malam, hampir tiap hari," tuturnya kepada Linda Djalil dari TEMPO, di teras tempat tinggalnya, Jalan Cendana 6, Jakarta, pekan lalu. Toh, gadis sederhana ini betah di Bogor. Baginya, "Bogor kota yang nikmat, udaranya enak dan bersih. Kalau malam dingin, enak untuk belajar," tutur gadis berkaca mata minus lima ini. Berapa kali selama kuliah ia ditengok orangtua? Mamiek mengenakan blus biru dan rok bawah abu-abu sederhana, menjawab, "Hanya sekali, selama empat tahun itu saya ditengok. Itu pun Bapak dan Ibu datangnya malam-malam, supaya nggak ada yang tahu." Tapi, tentu saja, ia bisa memaklumi semua itu. Guna mengumpulkan bahan buat skripsinya, berjudul Ciri-ciri Antropometri, Mamiek melakukan riset di perkebunan-perkebunan Wamena (Irian Jaya), PTP VIII Medan, dan Jawa Barat. "Tadinya, Bapak hampir tak memberikan izin ke Irian. Mungkin soal keamanan. Tapi kemudian boleh," tuturnya. Kepada direktur perkebunan tempatnya melakukan riset, Mamiek selalu berpesan agar identitasnya sebagai anak presiden dirahasiakan, "Supaya tak merepotkan." Di perkebunan, pendekar Merpati Putih ini dikawal oleh saudara sepupunya, wanita juga. Ia belum bersedia mengungkapkan cita-citanya. Hanya katanya, "Yang jelas, sejak dulu saya ingin menjadi pegawai negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini