HUTAN Indonesia adalah sebuah tragedi. Ia dijarah para penebang, ia juga diludaskan api. Dan kali ini kebakaran memakan puluhan ribu hektar di sepuluh provinsi. Di Kalimantan, kebakaran itu hampir sebuah tradisi setiap tahun. Bahkan di pulau ini pula kebakaran hutan paling besar di dunia, 1982. Kebakaran tahun ini tak kalah sengit: dikabarkan hawa panasnya sampai menyengat Pulau Sumatera, dan asapnya sampai ke Singapura. Memang, khususnya kali ini, ada ikhtiar serius untuk menghentikannya. Sebuah pesawat dikirim untuk memuntahkan bom-bom air (lihat Kamera). Tak jelas adakah usaha ini dilakukan akan membawa hasil. Orang tetap cemas menunggu akibat api itu terhadap lingkungan. Sejauh ini yang terdengar memang bukan suara panik. "Hanya 2.350 hetar areal pertanian yang hangus," kata Achmad Affandi, Menteri Pertanian, selepas melapor kepada Presiden, pekan lalu. Sementara itu, lebih dari 30.000 hektar yang lainnya, di 10 provinsi selama lima bulan terakhir ini menurut Affandi, cuma padang ilalang. Meskipun begitu, cukup merisaukan musnahnya 24 ribu hektar hutan primer dan perladangan petani kecil di Kalimantan Tengah. Juga 650 hektar hutan karet di Kalimantan Selatan, 350 hektar kelapa sawit di Kalimantan Timur, 208 hektar tanaman cengkih di Lampung, dan 149 hektar pohon kelapa hibrida di Jawa Barat. Harus dihitung pula habisnya 7.400 hektar hutan di Sumatera Selatan. Bahkan 73 kali peristiwa kebakaran hutan melanda 6 ribu hektar di Sum-Ut. Berapa milyar rupiah kerugian, belum dapat dipastikan. Tapi bagi mereka yang hidup di dekat dan dari hasil hutan, pukulannya jelas. (lihat Selingan). Tak mengherankan bila di Kecamatan Kejuruan Muda dan Tamiang Hulu, Aceh Timur, misalnya, 560 warga penduduk mengobrak-abrik barak dan melempar motor milik PT Kwala Langsa -- pemegang lisensi hak pengusahaan hutan -- ke sungai, akhir bulan lalu. Ini gara-gara rebutan hutan. Perusahaan itu dituduh merampas mata percarian mereka selama ini. Sebaliknya Johan Tanuwijaya, Direktur Utama PT Kwala, membantah. "Merekalah yang mencuri kayu di areal konsesi saya," katanya. Pergulatan juga terjadi di tempat lain. Di kawasan Bukit Soeharto, Kalimantan Timur, kaum pendatang membinasakan hutan yang merupakan tempat hidup suku asli Dayak. Mereka membakar hutan, buat menanam merica -- dan itulah biang keladi kebakaran akbar lima tahun silam (TEMPO 3 Oktober). Menurut hasil survei Alikodra dari Fakultas Kehutanan IPB, perlakuan tak senonoh terhadap hutan memang dari pendatang. "Kaum pendatang umumnya tak memahami seluk-beluk manajemen terhadap kebakaran," katanya. Sebaliknya penduduk asli, misalnya suku Dayak, tak pernah membiarkan api merajalela. Mereka memang membakar hutan buat berladang, tapi dilakukan dengan terkendali. Rata-rata mereka hanya membakar 4 hektar selama waktu 4 tahun masa tanam. Kemudian berpindah tempat, dan akan kembali ke lokasi semula, 12 tahun kemudian. Untuk melakukan pembakaran hutan, katanya, suku Dayak juga memperhitungkan arah angin dan letak hutan. Di sebuah lereng, misalnya, hutan dibakar dari bawah dan berlawanan dengan arus angin. Maksudnya, agar api merambat pelan. Untuk membakar di daerah yang landai, api diusahakan berakhir di tepian sebuah sungai. Di sini siklus ekosistem agaknya diperhatikan. Menurut Alikodra, unsur penting dalam kebakaran hutan adalah material, cuaca, dan sumber api. Keistimewaan hutan di Kalimantan Timur adalah dua unsur yang terakhir. Di kawasan hutan tropis basah itu ada bongkahan batu bara yang merebak di berbagai tempat. Sementara itu, di musim kemarau, suhu udara bisa mencapai 32 derajat Celsius, dan kelembapannya sampai 50%. Dan sumber kebakaran itu jadi lengkap dengan adanya peladang yang menebarkan api untuk memperoleh lahan bebas belukar. Jadi, "Batu bara dan peladang itulah bahaya laten hutan di Kalimantan Timur," kata Alikodra pula. Akibat kebakaran yang nyata adalah porak-porandanya siklus air. Ketika formasi hutan masih utuh, permukaan tanah aman dari benturan air hujan. Tajuk pepohonan, semak, dan terutama serasah hutan melindungi tanah dari kikisan hujan. Namun, semuanya hilang begitu hutan terpanggang. Secara alamiah, menurut taksiran Alikodra, dalam dua tahun hutan bisa pulih kembali menjalankan fungsi hidrologisnya. Belukar dan serasah tipis yang terbentuk sudah cukup memadai untuk memberikan perlindungan terhadap permukaan tanah. Ahli ekologi Otto Soemarwoto mengatakan, pulih secara alamiah ini justru bisa lebih efektif ketimbang reboisasi. Upaya reboisasi -- dengan penanaman pohon tertentu, pada jarak tertentu -- justru akan lebih lama membiarkan tanah telanjang. Maka, untuk mengembalikan fungsi hidrologisnya, menurut Direktur Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan dari Universitas Padjadjaran ini, biarlah alam menyembuhkan dirinya sendiri. Rebosisasi dengan tanaman produksi, tentu, boleh-boleh saja, selama tak membiarkan tanah terlalu lama tak diselaputi apa-apa. Sebab, serasah itu cukup potensial untuk menjadikan tanah gembur hingga air gampang meresap ke tanah -- untuk disimpan di sana, dan dikeluarkan dari sana, sesuai dengan siklusnya. Tapi itu sebuah tindakan penyembuhan. Bagaimana dengan pencegahan dari bahaya kebakaran? Menurut Otto Soemarwoto, itu menyangkut perlakuan terhadap penduduk setempat. Misalnya menciptakan lapangan kerja yang bukan berupa lahan berpindah. Dengan cara itu kehidupan mereka diharapkan akan membaik, tidak berpindah, dan tak menyebabkan hutan jadi lautan api. Agus Basri, Putut Tri Husodo (Jakarta), Agung Firmansyah (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini