Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lama menghilang dari mata publik, pria tambun berambut perak itu tiba-tiba muncul di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, akhir Februari lalu. Kehadirannya mengundang perhatian banyak orang. Maklumlah, lelaki sepuh itu pernah menjadi pejabat keamanan di era Orde Baru.
Di waktu Soeharto berkuasa, Laksamana TNI (Purnawirawan) Sudomo pernah menjabat Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)-sebuah lembaga super yang menjadi mesin keamanan pemerintah. Saat itu sosoknya sering muncul di layar televisi. Ia tampil dengan wajah garang saat menutup tujuh koran nasional pada masa krisis politik 1978. Tapi Sudomo juga bisa jenaka terutama jika menertawakan kisah cintanya yang selalu kandas.
Kehadirannya di Komisi Nasional HAM beberapa waktu lalu adalah untuk menjadi saksi penyelidikan Peristiwa Talangsari. Peristiwa itu diawali serbuan serdadu dari Komando Resor Militer Garuda Hitam 043 Lampung terhadap sebuah kelompok pengajian di Way Jepara, Talangsari, Lampung.
Mereka dituduh sebagai kaum yang ingin mendirikan negara Islam dan anti-Pancasila. Mereka juga dituding sebagai pengikut aliran Islam yang sesat. Akibat serangan tersebut, korban berjatuhan, termasuk wanita dan anak-anak. Saat itu-Februari 1989-Sudomo menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.
Kepada Widiarsi Agustina dan F.X. Dimas Prasetyo dari Tempo yang menemuinya di rumahnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, awal Maret lalu, Sudomo menyampaikan perihal peristiwa itu versinya dan beberapa kasus kekerasan lain di masa Orde Baru. Berikut ini nukilannya.
Apa yang membuat Anda memenuhi panggilan Komnas HAM?
Karena dalam surat disebutkan: jika tidak memenuhi panggilan Komnas HAM, yang dipanggil bisa dituntut. Selain itu, saya merasa berkewajiban menjelaskan duduk permasalahan Peristiwa Talangsari walau sudah 19 tahun berlalu.
Apa yang Anda sampaikan ke Komnas HAM?
Saya tak bisa bicara detail kepada Anda. Saya berada di bawah sumpah. Semua keterangan saya di Komnas HAM diproses dalam berita acara pemeriksaan. Tapi, intinya, saya menjelaskan semua yang saya ketahui tentang peristiwa itu. Sayangnya, ada yang memahami sikap saya ke Komnas HAM itu sebagai kekeliruan.
Maksudnya?
Penjelasan saya ke Komnas HAM itu dianggap menjorokkan Hendropriyono, Komandan Korem Garuda Hitam waktu itu, supaya diadili. Padahal bukan begitu. Yang saya jelaskan adalah posisi saya saat peristiwa tersebut terjadi. Talangsari terjadi pada Februari 1989, waktu itu saya Menko Polkam, bukan Pangkopkamtib. Secara lembaga, Kopkamtib sudah bubar pada 1988 dan diganti dengan Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas), yang pemimpinnya adalah Panglima ABRI.
Bagaimana rantai komando saat itu?
Rantai tanggung jawab pelaksanaan keamanan dan ketertiban juga berbeda. Sebagai Menko Polkam, saya hanya mengkoordinasi sembilan instansi, seperti Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Penerangan, Menteri Kehakiman, Sekretaris Negara, Panglima ABRI, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara, dan Kejaksaan Agung. Tiap bulan kami rapat tentang perkembangan politik dan keamanan. Jadi sifatnya evaluatif. Beda sekali dengan Kopkamtib.
Apa sebenarnya yang terjadi di lapangan saat itu?
Saya tak tahu persis apa yang terjadi di lapangan. Kejadian itu kan di bawah Korem 043 Garuda Hitam. Laporan yang masuk ke saya, Korem itu mengecek pondok pesantren yang menempati hutan lindung di wilayah Talangsari, Lampung. Mereka kabarnya menolak asas tunggal. Komandan Koremnya waktu itu Hendropriyono. Yang terjadi, saat pengecekan itu, mereka diserang. Karena diserang, anak-anak Korem mempertahankan diri. Jadi ada misunderstanding dengan warga.
Kapan Anda tahu peristiwa itu?
Saat rapat koordinasi Menko Polkam. Karena dilapori saya memberi petunjuk sebagai Menko Polkam. Tolong diselesaikan dengan baik, supaya tidak menjadi politis. Laporan yang masuk, Komandan Korem itu sudah benar. Dia memerintahkan anak buahnya mempertahankan diri. Jangan sampai orang melihat mereka sengaja nembak semaunya. Masalahnya, karena mempertahankan diri dan mereka yang di lapangan kurang berpengalaman, banyak korban.
Kalau sekadar membela diri, mengapa anak-anak dan perempuan juga menjadi korban?
Situasinya tidak memungkinkan. Ini kan ada orang sipil menyerang tentara. Sebagai orang profesional, dia harus bertindak sesuai dengan ketentuan. Masalahnya, mereka harus membela diri.
Bagaimana dengan perintah tembak di tempat?
Itu juga kondisi lapangan. Saya tidak tahu, Danrem yang tentunya bisa menjelaskan.
Anda membenarkan tindakan itu....
Kondisinya beda kalau mereka tidak menyerang. Ini yang tidak dimuat media. Terus terang saya benarkan tindakan Komandan Korem dalam melakukan aksi itu. Saya memberikan petunjuk supaya diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
Diselesaikan sebaik-baiknya itu maksudnya apa?
Wah, kau ini mintanya detail. Ini kan ada jenjang rantai komando. Dari Panglima ABRI, Kepala Staf Angkatan Darat, Panglima Daerah Militer, dan Korem. Sekali lagi, beda dengan jalur Kopkamtib yang langsung. Masalahnya, waktu itu laporannya lisan, bukan tertulis. Beberapa bulan kemudian, beliau mengatakan masalahnya sudah selesai. Sudah dikirim tim ke sana, saya mau apa lagi?
Saat itu tak ada tim investigasi?
Enggak ada. Komandan Korem, sesuai dengan rantai komando, harus mempertanggungjawabkan ke atasannya: Pangdam, KSAD, dan Panglima ABRI.
Anda tidak memanggil Danrem Garuda Hitam?
Karena waktu itu bukan Panglima Kopkamtib, saya tidak memanggil. Kalau Kopkamtib, pasti saya panggil. Saya sendiri yang akan umumkan. Tapi lembaga ini kan sudah bubar. Gantinya Bakorstanas, yang ketuanya Panglima ABRI.
Sebagai Menko Polkam, Anda kan bisa menanyakan ke Panglima ABRI....
Saya pada tingkat enggak harus memeriksa ke bawah.
Terkesan Anda cuci tangan.
Saya enggak cuci tangan. Tapi begitulah kondisinya. Saya selalu terbuka untuk menjelaskan duduk permasalahan, sesuai dengan porsi dan ketentuannya. Sejak jadi Pangkopkamtib, saya selalu terbiasa mengumumkan duduk persoalan sebuah peristiwa, sesuai dengan salurannya. Saat itu, saya sudah beri petunjuk, terus enggak ada laporan lagi. Saya anggap sudah selesai. Terlalu jauh kalau saya harus turun ke level Danrem.
Masalahnya, penjelasan di tingkat bawah tak pernah dilakukan hingga sekarang.
Itulah. Sekarang saya diisukan men-celakakan orang lain. Lo, mencelakakan bagaimana? Wong semua sudah jelas. Semua harus ada yang tanggung jawab. Sejak awal, saya jelaskan apa yang dilakukan Komandan Korem benar. Tapi, kalau mau diuntai susunan tanggung jawab, dia tanggung jawab pertama.
Artinya?
Seharusnya pemanggilan Komnas HAM bukan dari atas seperti saya. Tapi dari bawah dulu, dari posisi Danrem.
Tapi Komandan dan Panglima saat itu tak mau datang....
Seharusnya mereka berani. Kalau mau disebut tentara, ya, harus berani datang. Itu sudah didoktrin. Secara pribadi, saya membiasakan kalau dipanggil polisi atau lembaga tentang satu masalah, harus datang. Ini ketentuan dalam undang-undang.
Talangsari hanya satu kasus pelanggaran HAM di masa Soeharto. Banyak gugatan baru atas sejumlah kasus kekerasan di masa lampau. Apa komentar Anda?
Enggak ada masalah. Dulu orang takut melaporkan ini dan itu. Sekarang, dengan adanya demokrasi dan reformasi, bisa saja. Hanya masalahnya, peristiwa itu sudah sangat lama. Talangsari saja sudah 19 tahun. Ini repot karena arsip dan dokumennya juga terbatas. Sesuai dengan UU Kearsipan, disebutkan sedikitnya 10 tahun sebuah dokumen berlaku. Arsip yang sudah kedaluwarsa tidak berlaku lagi.
Tapi bagaimana bila pengusutan kasus-kasus itu tetap penting?
Kalau itu dianggap penting, silakan saja membawa kasus di masa lalu ke pengadilan. Masalahnya, peristiwa itu sudah terlalu lama. Bagaimanapun otak ini kan berjalan. Seperti saya ini diperiksa, ya, sudah banyak lupanya. Disuruh menyebut detail nama menteri zaman dulu, saya enggak hafal. Kalau nama penyanyi cantik, saya hafal.
Di era 1980, ketika Anda masih menjabat Pangkopkamtib, penanganan protes juga dilakukan dengan kekerasan.
Enggak juga. Sejak Malari, doktrin Kopkamtib kan saya ubah. Pendekatannya lebih persuasif. Kami selalu membentuk tim yang mengecek langsung ke bawah. Penanganan juga lebih baik. Lihat saja, Dorodjatun, Rizal Ramli, itu kan setelah saya tangkap, saya suruh ke Amerika saja, sekolah. Biar tidak bikin repot negara. Sekarang dia bisa balik dan bikin sesuatu untuk negara. Itulah, ada gunanya mereka ditangkap Kopkamtib.
Dalam kasus Priok, kenapa lepas kendali?
Sekali lagi situasinya. Karena marah, orang enggak memperhatikan kondisinya. Yang dilawan kan tentara, meskipun tentara juga tidak boleh semaunya. Menembak ada ketentuan. Didului tembakan peringatan, kemudian tembak kaki. Tidak bisa asal nembak orang.
Sekarang kebijakannya menembak dengan peluru karet. Dulu bagaimana?
Sama. Kalau ada huru-hara, kami pakai peluru karet. Supaya tidak jadi masalah.
Mengapa dulu banyak demonstran yang mati?
Ya, gimana. Para perwira itu kan baru lulus Akabri. Mau nembak juga enggak titis. Saya sebelumnya bilang, kamu tembak kakinya kalau sudah sangat keterlaluan. Enggak tahunya, mereka itu anak-anak baru lulus. Enggak tepat nembak, seharusnya kaki, kena kepala. Ya, mati. Saya harus gimana? Toh, saat itu kepada para wartawan saya jelaskan kondisinya.
Mengapa kerusuhan tidak ditangani secara hukum?
Saya juga ditanya wartawan saat itu, katanya penanganan berdasarkan hukum. Saya katakan, lo, saya juga pakai hukum. Hukum apa, Pak? Hukum geregetan. Namun, saya jelaskan juga kondisinya. Mereka anak-anak baru. Itu kasus terakhir. Setelah itu, tak ada lagi.
Dalam kasus Priok, kenapa tidak ada penyelesaian damai?
Ya, karena enggak ada tuntutan apa-apa.
Bagaimana dengan peristiwa penembakan misterius alias petrus?
Itu di masa Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Benny Moerdani. Saat saya Pangkopkamtib, tak pernah ada operasi seperti itu. Tapi itu kan soal aksi penanganan akibat perang antargeng yang berebut lahan. Mereka tembak-tembakan, terus banyak mayat dilempar di jalan. Tidak ada kebijakan menembak mereka.
Siapa yang bertanggung jawab atas kebijakan petrus?
Yang jelas, bukan Kopkamtib. Itu di masa Benny dan diketahui Pak Harto. Jadi itu antara geng dan geng. Repotnya, perang antargeng itu menyisakan mayat yang dilempar begitu saja di jalan. Psikologis masyarakat yang kena.
Bukankah dalam bukunya Soeharto mengakui itu kebijakannya?
Bukan. Tak ada perintah begitu. Pak Harto sendiri mengatakan itu perang antargeng.
Adakah kasus unjuk rasa yang pernah membuat Soeharto marah?
Malari. Itu kita kecolongan betul. Seharusnya intelijen sudah bisa mengetahui dan melaporkan ke Presiden. Ini enggak ada laporan sama sekali. Lalu kasus Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Waktu Setneg didemo dan demonstran berhasil masuk, saya tahu Pak Harto marah betul, meski beliau masih berada di Mesir. Masalahnya, Pak Harto mengikuti betul proses SDSB. Maksudnya sebenarnya baik, membantu orang miskin. Tapi akhirnya diselewengkan, di nomor terakhir menjadi judi.
Sebagai Panglima Kopkamtib, bagaimana Anda menangani kasus unjuk rasa dan perbedaan politik? Selalu berkonsultasi dengan Presiden?
Secara periodik, saya selalu bertemu dengan Presiden. Tapi biasanya, kami memutuskan begitu saja dan tinggal melaporkan. Saya dan tim juga terbiasa menyelesaikan sendiri. Saya lapor karena beliau bertanya. Seperti kasus Woyla. Saya dan Benny Moerdani sepakat dulu bagaimana aksi penanganannya. Kami latih tim antiteror di Cawang. Baru menyerbu. Jadi tidak setiap kasus saya lapor ke Presiden. Tergantung masalahnya. Misalnya soal pencekalan anggota Petisi 50. Itu keputusan saya, bukan Presiden. Pak Harto malah menanyakan, apa betul saya mencekal Ali Sadikin, Jenderal Nasution. Saya membenarkan.
Anda menjadi bumper Soeharto, ya....
Tidak juga. Saya hanya tipe menteri yang enggak mau merepotkan presiden.
Maksud Anda seperti Harmoko?
Dia menteri yang sebenarnya bikin jengkel Soeharto. Beliau bahkan sampai menolak bertemu dengan Harmoko. Ada tiga orang yang beliau wanti-wanti emoh bertemu: Harmoko, Habibie, dan Ginandjar. Dan seluruh keluarga sudah paham. Jadi, meski kena stroke hampir 95 persen, ya, masih ingat. Pak Harto kan orang Jawa. Seharusnya mereka bisa mengamankan beliau seperti beliau mengamankan Bung Karno. Jadi waktu mereka mau nengok di Pertamina (saat Soeharto sakit), keluarga enggak mau terima. Sebelumnya, Pak Harto sering berpesan, kalau harus datang melayat atau acara pengantin, "Saya mau datang, hanya satu syarat, jangan sampai ada tiga nama ini."
Seberapa efektif penanganan kasus model Kopkamtib?
Sebenarnya Kopkamtib jelas kewenangannya sesuai dengan UU Subversif. Kalau ada yang macam-macam, kita tahan saja, enggak perlu pengadilan. Ini namanya preventif, sama dengan di Malaysia dan Singapura. Di sana malah bisa ditahan selama dua tahun. UU Subversif sekarang diganti UU Antiteror. Disebutkan tersangka bisa ditahan enam bulan, tapi tetap saja penahanan 7 x 24 jam harus dibuktikan. Ini yang repot. Amerika di Guantanamo saja tak perlu membuktikan.
Di era 1980, Anda paling sering diprotes umat Islam....
Ya, saya ngerti-lah. Zaman dulu kan saya suka nangkepin orang. Dikiranya ditujukan pada Islam, padahal bukan. Saya nangkepin yang radikal dan berpotensi mengganggu ketertiban. Belakangan saya masuk Islam dan keluar-masuk pesantren. Bahkan, setelah pensiun, saya aktif mendirikan majelis zikir nasional. Ini nebus dosa. Sekarang saya mau jadi "ulama", maksudnya "usia lanjut makin asoi".
Laksamana (Purnawirawan) Sudomo
Tempat dan Tanggal Lahir: Malang, Jawa Timur, 20 September 1926
Pendidikan:
- Sekolah Tinggi Pelayaran (1944)
- Pendidikan Perwira Operasi Khusus, Sarangan, Jawa Timur (1948)
- Artillerie School, Den Helder, Belanda (1953)
- Sekolah Para Komando (KKO), Surabaya (1966)
- Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut, Jakarta (1968)
Karier:
- Panglima AL Mandala (1961-1964)
- Panglima Kawasan Maritim Tengah (1964-1969)
- Kepala Staf Angkatan Laut (1969-1973)
- Kepala Staf Kopkamtib (1974-1981)
- Wakil Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib (1982-1983)
- Menteri Tenaga Kerja (1983-1988)
- Menko Polkam (1988-1993)
- Ketua Dewan Pertimbangan Agung (1993-1998)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo