Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA pertiga hidup Christian Hadinata dihabiskan untuk bulu tangkis. Padahal cinta pertamanya bukanlah kepada badminton, melainkan sepak bola. Dia baru aktif memukul kok setelah beranjak remaja. Sejak saat itu, Christian tak pernah lepas dari bulu tangkis.
Alasannya fokus di nomor ganda sederhana saja. ”Saya tidak mungkin bersaing dengan Rudy Hartono dan Muljadi,” katanya. Ternyata pilihannya tak keliru. Christian menjadi pemain ganda serba bisa dengan prestasi legendaris. Berpasangan dengan Ade Chandra juara dunia, dengan Ivana Lie juara dunia, dengan Imelda Wiguna pun juara dunia.
Setelah pensiun sebagai pemain, pada 1986, Christian tak sepenuhnya menggantung raket. Dia memilih di pinggir lapangan, melatih pemain-pemain muda. Dari tangannya lahir jago-jago ganda dunia, seperti Ricky Subagdja/Rexy Mainaky dan Candra Wijaya/Sigit Budiarto.
Namun, belakangan, sebagai Kepala Pelatih di Pemusatan Latihan Nasional Bulu Tangkis, dia agak gundah. Rege nerasi pemain nasional begitu se ret. Di ganda putra, misalnya, belum ada pelapis Markis Kido/Hendra Setiawan. Demikian pula di ganda campuran, yang hanya mengandalkan Nova Widianto/Lilyana Natsir. Di tunggal putra hanya ada Sony Dwi Kuncoro dan Simon Santoso.
Di Kejuaraan Dunia di Hyderabad, India, dan Taipei Yonex Terbuka, bulan lalu, tim Indonesia pulang tanpa gelar. Kepada Sapto Pradityo dan Irfan Budiman dari Tempo, Christian menuturkan berbagai persoalan yang membelit tim bulu tangkis Indonesia, Kamis pekan lalu, di Pelatnas Cipayung, Jakarta.
Di Kejuaraan Dunia, India, tim bulu tangkis Indonesia pulang tanpa gelar. Demikian juga di Taipei Yonex Terbuka. Apa persoalannya?
Sepanjang 2009 ini, tim Indonesia memang baru mendapat gelar di Malaysia Super Series untuk ganda campuran. Pada kepengurusan sebelumnya, sebetulnya, pernah terjadi hal serupa. Dalam setiap kepengurusan, tolok ukur keberhasilan ditentukan prestasi atletnya. Sebaik apa pun organisasinya, kalau prestasi atletnya jelek, ya pasti dianggap gagal.
Apa dampaknya?
Pemain-pemain paling top, seper ti pasangan Nova Widianto/Lilyana Natsir, terus diforsir. Mereka terus dikirim, sehingga melupakan regene rasi. Idealnya, pengiriman pemain seimbang. Pemain senior dikirim demi meraih prestasi, tapi pemain junior dan lapis kedua juga harus diberi kesempatan mengikuti turnamen sesuai dengan kelasnya. Selama ini, saking fokusnya mengejar gelar, yang diki rim pemain itu-itu saja. Pemain muda jadi terlupakan dan terbengkalai. Ketika pemain top yang sekarang hampir berlalu masa jayanya, pelapisnya masih terlalu jauh. Stok pemain top kita sangat sedikit. Di ganda campuran hanya ada Nova/Lilyana.
Bagaimana dibanding Korea Selatan atau Malaysia?
Pemain-pemain top dunia sekarang dulunya juga sering digebuki oleh pemain-pemain Indonesia, tapi negaranya terus saja mengirim mereka. Kalah tak peduli. Hasilnya kelihatan sekarang. Giliran mereka yang mengalahkan pemain-pemain top Indonesia. Contohnya Lee Yong-dae dari Korea Selatan. Pemain ini seangkatan dengan pemain pelatnas Muhammad Rijal. Waktu masih selevel, Rijal juga ber ulang kali mengalahkan Yong-dae. Tapi lihat sekarang. Kelas Rijal dan Yong-dae jauh sekali. Yong-dae sudah juara dunia, Olimpiade Beijing, dan All England, sementara Rijal masih merangkak.
Dulu sepertinya lapis kedua pemain pelatnas selalu ada….
Di zaman Ketua Umum Try Sutrisno, sebetulnya, kita juga mengalami hal mirip. Pada tahun-tahun pertama, pemain Indonesia digebuki terus. Tapi tak jadi soal, mereka terus dikirim. Baru beberapa tahun kemudian muncul Heryanto Arbi, Hermawan Susanto, Ardy Wiranata, Alan Budikusuma, dan Fung Permadi. Puncaknya, tim Indonesia meraih medali emas di Olimpiade Barcelona 1992.
Dengan kondisi seperti ini, apa mungkin menandingi Cina?
Kalau hanya mengandalkan Nova, Markis Kido, dan Sony Dwi Kunco ro, ya pasti cepat habis. Di tunggal, Sony mungkin bisa mengalahkan Lee Chong Wei dari Malaysia, tapi di babak berikut nya tenaganya sudah habis. Sedangkan Cina punya empat pemain top yang kualitasnya setara. Satu kalah, masih ada tiga menghadang. Di kelompok putri, Cina punya enam pemain tunggal dan empat ganda utama. Padahal mengalahkan satu saja sulit. Jadi, bayangkan betapa sulitnya menembus kekuatan Cina.
Idealnya seperti apa?
Waktu era Try Sutrisno, Indonesia punya tujuh pemain tunggal putra yang kekuatannya sama. Kalau Hermawan dilewati, masih ada Ardy Wiranata, dan jika Ardy kalah, ada Heryanto Arbi yang siap menghabisi. Idealnya, kita minimal punya empat pemain tunggal top. Sekarang di pelatnas sedang dipersiapkan tiga tunggal putra dan empat ganda campuran. Kami berharap semuanya bisa naik berbarengan, sehingga bisa saling melapis. Jadi, Nova/Lilyana nanti tidak berjuang sendirian.
Bagaimana tim junior? Apakah jumlahnya memadai?
Cadangan pemain junior pelatnas lumayan banyak. Jumlah pemain pelatnas pratama yang sekarang dilatih di Magelang ada 39 orang. Dan kualitasnya cukup bagus. Di Kejuaraan Asia 2009, mereka menjadi juara ganda putra. Asalkan diberi kesempatan bertanding, mereka akan menjadi pemain bagus.
Banyak mantan pelatih pelatnas memilih melatih di luar negeri. Apa jadi persoalan?
Secara kualitas, pelatih pelatnas tidak kalah dari pelatih-pelatih di luar negeri. Mereka juga sudah melahirkan para juara. Richard Mainaky, misalnya, sudah menghasilkan Nova/Li lyana yang juara dunia. Sigit Pamungkas membawa Markis Kido/Hendra Setiawan juara Olimpiade Beijing.
Setelah dilatih Atik Djauhari, Sania Nehwal dari India semakin moncer. Bagaimana?
Sebelum Atik datang, Sania Nehwal sudah lumayan bagus. Di Olimpiade Beijing, Maria Kristin perlu tiga set untuk mengalahkannya. Persaingan memang sangat ketat dan tidak bisa dilihat dari satu-dua pertandingan. Di kandang sendiri, di Kejuaraan Dunia, prestasi tim India malah jeblok. Juara Thailand Terbuka dari India dikalahkan Nova/Lilyana dua set langsung.
Apakah metode pelatihan khusus dari Atik atau Rexy Mainaky di Malaysia?
Tak banyak beda dengan pelatnas. Kami sering lihat mereka latihan. Polanya tak beda jauh. Namun setiap orang punya kualitas berbeda, demikian pula komitmen pemain. Itu yang menentukan keberhasilan. Pemain Cina, walaupun sudah juara, tetap rajin berlatih.
Kira-kira kapan pemain pelapis pelatnas siap menggantikan seniornya?
Kalau berkaca pada pengalaman, ya periode berikutnya. Target puncak kan tradisi emas di Olimpiade pada 2012 nanti? Jadi, sebelum 2012 sudah harus solid. Pada 2010, peringkat pemain sudah harus lebih baik. Pada 2011 tinggal mempertahankan, karena yang bisa lolos Olimpiade hanya peringkat tertentu. Waktunya sangat pendek.
Dalam soal pengiriman pemain lapis kedua, apakah ada problem keuangan?
Untuk mengirim atlet senior dan junior, dananya dobel. Ongkos kirim senior dan junior kan tak beda, baik hotel maupun tiket pesawatnya. Dana memang ada, tapi untuk mengirim pemain ke luar negeri dengan porsi ideal memang berat, apalagi situasi ekonomi juga lagi tidak bagus.
Bagaimana dengan dukungan sponsor seperti Yonex?
Sponsor tetap PBSI (Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia) saat ini adalah Yonex. Namun untuk biaya operasional tidak mencukupi, jadi harus mencari sponsor lain. Kalau hanya untuk mengirim senior, barangkali cukup, tapi untuk yang muda-muda, da nanya mepet. Repotnya, sekarang ini tim Indonesia beberapa kali pulang kosong tanpa gelar. Padahal yang diharapkan sponsor kan prestasi?
Dulu lebih gampang mencari sponsor?
Dulu kondisinya malah tidak sebaik sekarang. Saat itu tidak ada hadiah uang. Kami pakai raket juga apa ada nya. Kalau prestasi bagus, baru ada sponsor mendekat. Tapi tetap tidak ada uangnya. Mereka hanya memberikan perlengkapan seperti raket dan baju. Dan kalau juara, dapatnya kalau bukan medali ya piala. Sekarang total hadiah di turnamen kelas Super Series minimal US$ 200 ribu.
Saat ini, apakah metode pemusatan latihan masih tepat?
Menurut saya, dilihat dari hasilnya, metode pemusatan latihan masih yang terbaik. Cara ini bisa mengumpulkan pemain dengan kualitas setara, sehingga gampang mendapatkan lawan latih tanding yang setara. Kalau di klub, kan jarak kemampuan antar pemain terlalu jauh? Apalagi di ganda, pemainnya kadang dari perkumpulan yang berbeda. Jelas sulit latihan bersama. Ditambah lagi frekuensi pertandingan sekarang sangat ketat.
Di tenis, pemain bisa mengelola manajemen sendiri. Apakah mungkin diterapkan di bulu tangkis?
Di bulu tangkis rasanya belum bisa. Barangkali baru Taufik Hidayat yang melakukannya. Dia punya sponsor sendiri, pelatih sendiri, konsultan nutrisi dan manajemen sendiri. Tapi pemain lain masih sulit menirunya. Sebetulnya itu ide yang bagus. Kalau ada yang mau seperti itu, hasilnya akan bagus. Dalam soal ini, bulu tangkis masih tertinggal jauh dari tenis.
Pendapatan pemain badminton juga kalah jauh dari pemain tenis?
Jauh sekali bedanya. Saya sering merasa masih ada diskriminasi olahraga. Kalau Asia yang menguasai, seperti bulu tangkis dan tenis meja, pasti tak bisa sebesar tenis atau bola basket, yang dikuasai Eropa dan Amerika Serikat.
Klub bulu tangkis di daerah sepertinya banyak yang mati. Apa efeknya?
Dulu ada pusdiklat (pusat pendidik an den pelatihan) di setiap provinsi, dan kompetisi antarpusdiklat ketat sekali. Sehingga segera kelihatan mana saja bibit pemain unggulan. Sekarang kebanyakan hampir mati suri. Pembinaan bulu tangkis yang bagus hanya di Pulau Jawa. Greysia Polli itu kan dari Sulawesi Utara, tapi dibina di klub Tangkas, Jakarta. Dampaknya, banyak bibit bagus di daerah yang hilang.
Sebagai pelatih, apa yang Anda rasakan saat tim Indonesia pulang tanpa gelar?
Sedih dan prihatin sekali. Sebab, sejarah dan tradisi Indonesia selalu bagus. Misalnya di Piala Thomas atau All England. Tapi fakta ini tetap harus dihadapi.
Anda pernah marah ke pemain?
Saya jarang marah. Saya lebih memi lih pendekatan pribadi. Pemain bulu tangkis sekarang memang memanggul tanggung jawab besar karena sejarah.
Apa target PBSI tahun ini?
Bagi pemain senior, setiap kali diki rim, ya harus juara. Nova, misalnya, harus juara. Sony juga harus juara. Kalau Maria Kristin, minimal semifinal atau final.
Ada sanksi kalau target tak terpenuhi?
Ya, tidak kami kirim bertanding dulu. Makanya untuk China Master tak ada yang dikirim, karena di Kejuaraan Dunia mereka gagal.
Anda tidak ingin melatih di luar negeri?
Memang banyak sekali iming-iming. Tapi selalu saya jawab, ”Silakan tanya ke PBSI. Maukah mereka memberi izin?” Akibatnya jelas, mereka tak pernah lagi menghubungi saya. Saya ini kan merasa punya utang ke PBSI dan bulu tangkis? Karena bulu tangkis, saya bisa ke mana-mana.
Gaji melatih di luar negeri kan menggiurkan?
Jauh, bagai langit dan bumi. Tapi yang tidak bisa didapat di luar negeri adalah silaturahmi dan keakraban dengan masyarakat. Di jalan, saya sering ditanya orang: bagaimana prestasi pelatnas? Kalau lagi kalah, ya malu juga.
Tidak pernah bosan main bulu tangkis?
Rasanya enggak pernah. Saya selalu merasa senang kalau di lapangan. Makanya saya tidak mau kerja di belakang meja.
Christian Hadinata
Lahir: Purwokerto, Jawa Tengah, 11 Desember 1949
Prestasi:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo