Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEDARI awal harusnya PT Pindad sadar: senjata bukanlah komoditas yang bisa dijual seenaknya. Sebagai penjual, badan usaha milik negara yang merupakan produsen senjata satu-satunya di Indonesia itu mesti berhati-hati. Salah-salah jual senjata, alat perang itu bisa dipakai untuk aksi jahat—terorisme, kudeta, perampokan, atau perbuatan kriminal lainnya.
Absennya prinsip kehati-hatian itulah yang kelihatannya terjadi ketika pabean Filipina menangkap awak kapal berbendera Panama di Port Mariveles, Manila, akhir Agustus lalu. Di atas kapal ditemukan 20 peti kayu berisi 100 senjata serbu SS1-V1 dan 10 pucuk pistol 9 mm buat an Pindad. Pemerintah Filipina curiga senjata tersebut diselundupkan untuk mengacaukan pemilihan presiden di negara itu awal tahun depan.
Pindad mestinya tidak lepas tangan. Mereka tak boleh semata berdalih senjata itu dipesan pemerintah Mali untuk kepentingan olahraga menembak. Kontrak jual-beli memang dilakukan dengan sistem free on board—penjual hanya bertanggung jawab sampai senjata dikapalkan. Tapi menjual peralatan tempur tanpa pengecekan yang saksama akan berarti malapetaka. Indonesia bisa ditu ding membantu gerakan pengacau keamanan negara tetangga. Jika jatuh ke tangan teroris, senapan dan pistol itu bisa menjadi bumerang, kembali ke dalam negeri dan dipakai untuk mengacaukan keamanan di negeri pembuat senjata tersebut.
PT Pindad memang layak bungah, inilah untuk pertama kalinya perusahaan itu mengekspor senjata. Sebelumnya, sejumlah negara seperti Malaysia, Nepal, Bangladesh, Brunei Darussalam, dan Timor Leste pernah menyatakan tertarik pada senjata buatan pabrik di Ban dung itu. Belakangan diketahui mereka hanya melakukan window shopping.
Menghadapi pesanan dari Mali itu, Pindad terkesan lengah. Penelusuran majalah ini menunjukkan broker senjata yang memesan dari Filipina menggunakan nama palsu. Tentara Nasional Indonesia juga sama tak waspadanya. Identitas pemesan di Mali tak rinci diperiksa. Sangat disayangkan, PT Pindad dan TNI tak curiga sejak awal. Modus pemesanan senjata pun sesungguhnya sangat tak lazim. Order dilakukan via surat elektronik dan pembayaran dilakukan tunai di depan.
Itulah sebabnya gagasan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono membentuk badan pengawas perdagangan senjata patut disokong. Bernaung di bawah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan atau Departemen Pertahanan, badan ini kelak berwenang memeriksa siapa pengguna akhir senjata yang dipesan.
Badan juga berhak memantau perjalanan kapal pembawa barang dagangan itu untuk memastikan kapal tak melenceng di tengah jalan. Badan harus memastikan sang calon pembeli memiliki lisensi pembelian senjata. Umumnya negara produsen atau negara eksportir senjata di dunia memiliki badan pengawas semacam ini.
Dengan bernaung di bawah badan pengawas, lembaga-lembaga yang terlibat—Tentara Nasional Indonesia, PT Pindad, Kementerian Badan Usaha Milik Negara—diharapkan tidak berpikir sektoral. Penjualan senjata bukanlah urusan PT Pindad semata, melainkan urusan bangsa secara keseluruhan.
Kita tentu bangga PT Pindad dikenal sebagai produsen senjata yang andal. Kepercayaan luar negeri pada senjata buatan PT Pindad tentu harus dijaga. Tapi sukses perlu dipertahankan tanpa meninggalkan prinsip kehati-hatian. Badan usaha milik negara itu tak boleh menjadi barang mainan para broker senjata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo