Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=#FF9966>Kusmayanto Kadiman:</font><br />Lawan Saya Para Ekonom

23 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRAHARA harga minyak di ­pasar dunia membuat pemerintah nyaris kalang kabut. Subsidi bahan bakar sudah dipangkas demi menyelamatkan anggaran, tapi tetap saja kedodoran. Lalu terpikirlah sumber energi alter­natif, yang murah dan mudah diguna­kan—tentu minus ”penemuan” akal-akalan.

Di bidang itulah Menteri Negara­ Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman­ bergerak. Mantan Rektor Institut Teknologi Bandung ini tekun meneliti dan menganalisis sejumlah pilihan sumber energi alternatif di Tanah­ Air. Ia kumpulkan beberapa pakar untuk membicarakan penggunaan energi panas bumi, biomassa,­ ataupun biofuel sebagai alternatif pengganti minyak bumi.

Berbincang dengan Kusmayanto tera­sa asyik. Kadang ”jahil”-nya muncul, misalnya ketika ia menyodorkan rumus buatannya sendiri tentang cara mengurangi ketergantungan terhadap minyak. Ia menggunakan huruf-huruf S, B, dan Y, bukan X, Y, dan Z seperti lazim digunakan. Secara lugas, Kusmayanto juga menyatakan pendapatnya soal ”blue energy” ala Joko Suprapto, yang berkali-kali disebutnya sebagai misteri.

Yosep Suprayogi, Grace S. Gandhi,­ Amal Iksan, Budi Riza, dan fotogra­fer Novi Kartika dari Tempo mewawan­carai Kusmayanto Kadiman di kantor­nya yang penuh buku di gedung Badan Pengkajian dan Penerap­an Teknologi, Jalan Thamrin, Jakarta ­Pusat, Rabu siang pekan lalu.

Apa yang akan dilakukan pemerintah menghadapi pergolakan harga minyak mentah?

Kita mesti keluar dari ketagihan minyak, karena minyak ini seperti narkoba, drug: membuat addict. Pilih­an lain dengan menaikkan produksi­ minyak. Kalau bisa menaikkan produksi minyak, tidak usah pusing.

Kenyataannya, pemerintah gagal menaikkan produksi minyak...

Sebetulnya banyak ladang ­minyak lama yang masih potensial. Di ­kawasan milik Pertamina ada ­banyak sumur kecil. Kalau dioperasikan oleh Pertamina, biayanya terlalu ­mahal, karena overhead cost Pertamina ­sudah terlalu besar. Mengapa ­tidak bekerja sama dengan perusahaan ­minyak kecil? Overhead mereka tidak besar, sehingga kalau berproduksi di bawah 5.000 barel per hari, masih bisa untung.

Sumur-sumur tua itu masih bisa dioptimalkan?

Masih sangat bisa. Kalau kita ­mengambil minyak dari bawah tanah, kan tidak semuanya terambil. Masih ada sisa. Untuk mengambil yang sisa ini, macam-macam teknologi ­dipakai. Mulai menyemprotkan uap ke bawah sana, minyaknya diencerkan dulu supaya gampang diangkat, hingga pakai surfactant alias pelicin. Bahkan ada yang menggunakan mikroba yang bisa hidup di bawah sana karena tahan ­panas dan tekanan. Setelah dikembangbiakkan, dimasukkan ke bawah sana. Ada jenis mikroba yang suka menggerogoti batu, maka terpisahlah minyak dari batu itu. Jadi selama ini apa yang dinilai tidak ekonomis dibuat menjadi ekonomis dengan teknologi dan manajemen baru serta perusahaan yang lebih efisien.

Masalahnya, sumur-sumur itu masih dimiliki oleh Pertamina dan perusahaan-perusahaan kerja sama produksi lainnya?

Ya, itu dia. Kalau yang menjadi halangan adalah aturan, ya, bikin aturan baru. Aturan itu yang bikin siapa? Pemerintah. Ya, kita bikin lagi.

Tidak harus menunggu sampai kontrak lama habis?

Enggak harus. Misalkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mengeluarkan peraturan menteri yang mengatakan bahwa di dalam KSO dibolehkan KSO. Perusahaan besar, seperti Chevron, Pertamina, atau Medco, biarkan saja, tapi perusahaan-per­usahaan kecil juga bisa bergerak. Dengan harga minyak seperti sekarang, ba­nyak yang mau.

Sudah Anda bicarakan soal ini dengan Departemen Energi?

Saya sudah membicarakan ini dengan Pak Purnomo (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral), BP Migas, dan Pertamina. Juga dengan bos Medco. Para pengusaha itu mengatakan, kalau peraturannya membolehkan, kita lakukan. Siapa yang enggak mau kalau janjinya untung?

Bagaimana jika perusahaan-perusahaan yang sudah memegang kontrak kerja sama menolak?

Pemerintah tidak bisa memaksa. Pemerintah hanya bisa memaksa satu hal: naikkan produksi minyak. Cara­nya? Silakan cari masing-­masing. ­Kalau penghalangnya peraturan, peraturannya diperbaiki. Itu langkah pertama.

Apa langkah berikutnya?

Langkah kedua, bagaimana menggunakan sumber energi yang ada. Selama ini pembangkit listrik lebih ba­nyak menggunakan batu bara, gas, minyak, dan air. Satu sumber energi­ yang belum dimanfaatkan dengan baik adalah panas bumi. Kita punya­ banyak sumber panas bumi dan bisa menghasilkan 27 ribu megawatt. Yang terpakai masih kurang dari 1.500 megawatt. Kenapa? Sebab, panas bumi itu dikenal susah, juga mahal. Tapi kalau pengambilan keputusannya sema­ta-mata berdasarkan hitungan eko­nomi, ya, kita akan sengsara terus. Selalu ditanya lebih murah daripada batu bara atau tidak? Kalau ada yang lebih murah, pakai yang lebih murah saja.

Kenyataannya, harga listrik pembangkit panas bumi memang lebih mahal ketimbang kilang batu bara....

Sekarang pembangkit listrik batu bara itu bisa di bawah atau sekitar US$ 4 sen per kilowatt hour. Adapun pembangkit panas bumi tidak kurang dari US$ 5,5 sen per kilowatt hour. Ekonom bilang lebih mahal US$ 1,5 sen. Saya minta tolong US$ 1,5 sen ini dilawan dengan tiga faktor. Pertama, panas bumi itu non-tradeable, tidak bisa diperdagangkan. Tidak bisa dimasukkan ke dalam koper terus dieks­por. Enggak dipakai pun, tetap ada. Karena itu, kenapa tidak dipa­kai? Kedua, ini pembangkit yang ramah lingkungan. Kalau kita banyak menghasilkan listrik dari panas bumi, bukan cuma dapat listrik, tapi juga dapat pujian dan tidak kecil kemungkinannya dapat duit dari penjualan karbon. Ketiga, selama di dalam bumi masih ada reaksi nuklir dan posisi Indonesia secara geologi masih seperti sekarang, panas bumi tetap akan ada. Kalau tiga faktor itu dihitung, angka US$ 1,5 sen itu enggak mahal.

Kantor Anda sudah membahas soal ini dengan Menteri Keuangan dan Menteri Energi?

Mulai anggota satuan pengamanan sampai presiden, sudah saya sampaikan. Tapi, sekali lagi, lawan saya adalah para ekonom yang mikir-nya... perut (menepuk perutnya keras-keras).

Berapa investasi yang diperlukan untuk membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi?

Dalam menghitung investasi pembangkit listrik, kita mesti melihat initial investment dan biaya operation and management. Panas bumi ini capi­tal expenditure-nya besar, tapi operational expenditure-nya kecil.

Mengapa pembangunannya seret? Bukankah sudah ada peminat?

Sampai sekarang belum ada aturan yang membolehkan PLN menjual US$ 6 sen per kilowatt hour. PLN bilang bukan mereka tidak mau, tapi aturan yang tidak membolehkan. Jadi di satu sisi kita royal membiayai mi­nyak bumi, tapi pelit banget mensubsidi yang lain.

Dengan kondisi sekarang, apa sumber energi terbarukan yang paling cocok dikembangkan?

Boleh dibilang biofuel adalah ­unggulan pertama sebagai substitusi­ parsial minyak bumi, karena ­banyak kemajuan yang sudah dihasilkan dari sisi pengetahuan. Sudah sampai pada tingkat komersial dan didukung sumber daya alam. Di antara semua sumber energi terbarukan, biomassa satu-satunya sumber daya yang secara relatif dapat mudah dan langsung dikonversi menjadi bahan bakar ­minyak. Badan Pengkajian dan Pene­rapan Teknologi sudah memiliki pilot project yang memanfaatkan singkong beracun yang tidak bisa dikonsumsi. Ini menghasilkan 8.000 liter bio-etanol per hari. Bahan baku untuk bio-etanol ini ada lebih dari 40 jenis tanam­an. Untuk bahan baku biodiesel, bisa diproduksi dari biji jarak pagar, biji kosambi, atau minyak kelapa sawit.

Di sejumlah daerah, warga memanfaatkan limbah MCK (fasilitas mandi, cuci, kakus) sebagai bahan bakar gas. Kenapa kita tidak memulai dari teknologi yang paling sederhana dengan memanfaatkan MCK?

Saya suka menggunakan rumus S = B/Y. Jika huruf S itu adalah pembagian dari huruf B dibanding ­huruf Y, huruf S ini bisa diperbesar dengan tiga cara. Satu, B kita perbesar. Dalam hal energi, diperbesar dengan cara apa? Jumlah energi yang bisa diproduksi diperbanyak, misalnya menggunakan panas bumi. Cara kedua, Y diperkecil dengan berhemat listrik. Di kantor ini enam lift yang kami punya hanya beroperasi semua­nya pada jam datang dan pulang kantor. Di luar itu, hanya empat yang beroperasi. AC tadinya satu jam sebelum masuk dan satu jam sesudah keluar masih hidup. Sekarang dibalik. Orang datang, belum dingin. Satu jam mau pulang, AC sudah dimatikan. Ini adalah cara memperkecil Y. Cara ketiga, keduanya dilakukan berbarengan: B diperbesar, Y diperkecil. Maka hu­ruf S akan besar.

Memanfaatkan sumber energi dari MCK termasuk yang mana?

Itu termasuk yang memperbesar B. Jadi, misalnya kita punya perumahan, semua cubluknya masukkan ke pipa. Bikin biogas.

Kenapa model ini tidak digalakkan?

Sekali lagi, karena kita adiksi­ terhadap minyak. Siapa yang mau ngerjain? Bau lagi! Tapi perlu saya tegaskan, tanggung jawab akan keberlangsungan­ bangsa sebenarnya bukan milik pemerintah saja. Kebutuh­an energi rumah tangga sampai skala desa dapat diupayakan dan dilakukan masyarakat dengan memanfaatkan bahan yang ada di sekitar, seperti kotoran hewan, biji jarak, sekam, hasil buangan industri gula, dan air. Jadi masyarakat tidak bergantung kepada pemerintah dan ketahanan energi masyarakat juga bisa terjaga.

Bagaimana dengan model sumber energi alternatif ala Joko Suprapto?

Saya tidak tahu karena selama itu dikungkung dengan istilah black box, saya enggak akan mau berkomentar.

Kotak hitam yang selama ini ditutup-tutupi Joko seharusnya dibuka?

Dalam dunia akademik, ada rumus emas yang namanya validitas. Kalau­ di dalam programming itu, ada input,­ proses, dan output. Jadi, kalau input-nya­ saya tahu, prosesnya tahu, saya tahu output-nya. Nah, kalau tiba-tiba ada output saja, aku enggak akan ngerti.­

Apa yang hendak Anda katakan tentang temuan Joko Suprapto ini?

Misteri. Belum jadi istri, masih ada ”m”-nya. Kalau semua sudah lepas, huruf ”m”-nya hilang, baru jadi istri.

Seharusnya Joko membuka temuannya secara transparan?

Atau jangan dulu dipublikasikan. Diam-diam saja, didaftarkan dulu sampai dilindungi hak atas kekaya­an intelektual, apakah dalam bentuk perdagangan rahasia, paten, technolo­gy license, atau dalam bentuk apa. Sesudah itu baru dipublikasikan.

Secara teknologi, apakah mungkin air menjadi bahan bakar?

Terima kasih. Anda yang bilang begitu ya, bukan saya.

Benarkah Anda pernah mengirimkan tim untuk ikut melihat sewaktu di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta?

Saya memang pernah mengirimkan tim, tapi yang Banyu Geni. Satu deputi dan satu anggota staf ahli, tapi Universitas Muhammadiyah tidak bisa menjelaskan. Mereka pulang dengan tangan kosong. Tidak bertemu juga dengan Joko. Ketemu dekan atau rektornya, tapi mereka tidak bisa menjelaskan.

Mengapa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tak bisa menjelaskan?

Enggak tahu. Tanya saja kepada mereka. Waktu staf saya pulang dengan tangan kosong, saya ngomel saja. Sudah gua biayain, pulang dengan tangan kosong.

Artinya, tidak bertemu dengan Joko?

Misteri. Waktu Joko dikabarkan memberikan paparan di Bali, saya juga mengirimkan tim untuk menemui, minta informasi. Pulang tangan kosong juga.

Di Bali tidak bertemu dengan rombongan kendaraannya juga?

Yang di Bali ketemu. Tapi kendaraan kan bisa diisi di stasiun pengisian bahan bakar umum? Saya tidak tertarik pada output-nya. Saya tertarik pada input-nya.

Tidak ngobrol dengan salah satu anggota rombongan atau Heru Lelono (anggota Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah yang bekerja sama dengan Joko)?

Rombongannya siapa? Diajak ngobrol, kan dia enggak ngerti. Yang ngerti kan cuman Den Mas Joko.

Tidak lihat barangnya juga?

Kalau cuma lihat kotaknya saja, mau apa? Itu komputer atau sound system? Kan enggak tahu kalau cuma kotak hitam.

Kabarnya Presiden ingin mengecek kebenaran teknologi yang dipakai Joko, ada konsultasi dengan kantor Anda?

Enggak tahu saya... enggak tahu. Misteri....

Selama tidak tahu proses dan input-nya, Anda menganggap itu misteri?

Ya, dong. Misalnya, saya bilang kepada Anda, ini teh. Anda cek, memang teh. Dari mana bikinnya? Anda bilang: nanti gua kasih tahu, elu contek lagi. Begitulah kira-kira. Saya dikasih satu jeriken. Saya cek, oh ya, ini memang mirip solar. Tapi bagaimana bikinnya? Yang saya mau tahu kan bagaimana cara bikinnya? Bisa enggak itu didu­plikasi di tempat lain? Bisa enggak itu diperbanyak? Bisa enggak itu di-scale-up? Kan itu tugas saya.

Bukankah seorang inovator kadang-kadang memang terlihat aneh?

Saya penganut aliran Einstein. Dia pernah bilang, jika di saat awal ide itu enggak gila, jangan diharapkan hasilnya besar. Berdasarkan perkataan itu, saya senantiasa menghargai ide orang. Enggak pernah saya bilang, ide elu tolol atau ide elu sinting. Minimum saya dengarkan dulu. Maksimum komentar saya, it’s good to be true.

Apa sebabnya di Indonesia kerap terjadi fenomena seperti Joko ini?

Kita ini sedang tertekan. Orang kalau lagi maraton, haus, lihat boks Coca-Cola dari jauh saja sudah senang banget. Seperti itulah kira-kira.

Apa hasil pertemuan Anda dengan sejumlah pakar untuk memikirkan sumber energi alternatif?

Sesuai dengan janji, kami dikasih waktu dua minggu. Saya penuhi janji itu. Senin kemarin (pekan lalu) saya kirim surat kepada Bapak Presiden bahwa kami sudah berkumpul dan kami siap memaparkan hasilnya. Seperti apa? Tunggu tanggal mainnya. Kalau saya paparkan sekarang, tidak etis. Yang jelas, semua masuk, panas bumi, biomassa, biofuel....

Mengapa dalam kasus Lapindo, kantor Anda mengatakan itu bencana alam?

Waktu itu di Dewan Perwakilan Rakyat saya mengatakan: dari kajian para ahli satu kelompok mengatakan itu bencana alam, satu kelompok lagi mengatakan akibat salah pengebor­an. Ada dua pendapat. Itu yang saya bilang. Badan Pengkajian dan Pene­rapan Teknologi penganut aliran itu bencana alam. Tapi di kelompok saya kan tidak hanya ada BPPT, ada LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Maka dengan hati-hati saya katakan: ada dua kelompok, nih. Satu kelompok purely natural, mud volcano, satu lagi bilang trigger by drilling.

Mengapa pemerintah tidak mengambil sikap yang tegas?

Seharusnya memang pemerintah yang bicara, tapi saya enggak tahu.

Tidak ada penelitian sendiri dari kementerian Anda?

Kementerian ini bukan operator. Saya bilang BPPT, saya bilang LIPI, tolong diteliti.

Kusmayanto Kadiman

Tempat dan Tanggal Lahir: Bandung, 1 Mei 1954

Pendidikan:

  • Sarjana Jurusan Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung, 1977
  • Doctor of Philosophy, Australian National University, 1988

    Karier:

  • Menteri Negara Riset dan Teknologi, 2005-sekarang
  • Rektor Institut Teknologi Bandung, 2001-2004
  • Direktur Technology Research Center ITB, 1996-1999
  • Direktur Computer Center ITB, 1989-1992
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus