Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Perginya Pendamai Santun

Deliar Noer wafat karena sakit tua. Menentang aliran kiri tapi membela anak-anak muda yang dituduh ”kiri”.

23 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”Dan banyaklah yang ­kemudian ­kuhadapi tanpa menduga ­sebelumnya. Pemberhentianku ­sebagai ­Rektor IKIP Jakarta, lama ­mengajar di ­banyak ­perguruan tinggi di ­Indonesia, ­interogasi yang kualami…. ­Namun akhirnya berlalu tanpa ­pengaruh ­berarti. Agaknya hal ini yang ­mempermudah aku melaluinya. Maka penyesalan pun menjauh, terhadap diri dan orang lain.”

AKHIRNYA, seperti ditulisnya dalam otobiografinya, Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa, ia pun berdoa khusyuk, ”Ya Allah, Engkau perintahkan aku istiqamah, dan ini kuusahakan juga. Tetapi acap pula godaan mengganggu, karena istiqamah membawa pada kesepian. Sikap konsisten mudah menyebabkan kawan sekelilingku lari…. Ya Allah, dekatkan aku pada-Mu.”

Menempuh usia 82, pada 10.30 Rabu, 18 Juni, Prof Dr Deliar Noer memenuhi panggilan Sang Pencipta. Semoga doa­nya kepada Allah, yang seakan tak pernah lekang dari hati dan bibirnya, diterima. Panjang juga umur yang dikaruniakan Allah kepadanya, dan hampir tak ada tahun serta bulan yang terbuang sia-sia. Ia yang berpenampilan tenang, dengan suara sejuk, seperti begitu saja memasuki berbagai lapangan kehidupan: aktivis organisasi kemahasiswaan dan keislaman, ilmuwan, pendidik, cendekiawan, politikus, mubalig, dan entah apa lagi.

Lepas dari kemungkinan kritik terhadap aktivitas yang dijalaninya, satu hal tak terbantahkan: ia selalu ber­usaha dan berbuat sejujur mungkin. Tak ada kebencian yang membuatnya mengatakan ”salah” terhadap perbuatan yang pada hakikatnya ”benar”, dan tak ada keakraban yang menyebabkannya mengatakan ”benar” pada sesuatu yang ”salah”.

Mestikah diherankan jika pada suatu saat Deliar Noer tampil sebagai saksi yang meringankan para pemuda pendukung partai yang dituduh ”kiri”? Padahal, sejak muda ia tokoh yang sangat menentang aliran kiri. Jangan pula menggeleng-gelengkan kepala ketika bahkan pada awal kariernya sebagai ilmuwan ia menolak kesaksian bahwa Sarekat Islam sesungguhnya lebih tua­ daripada Budi Utomo, betapa­pun mungkin di hati kecilnya ia ingin hal ini historis. Ia menolak bersaksi karena tidak mempunyai bukti yang kuat.

Ketika mendapat gelar PhD dari Universitas Cornell, mungkin Deliar Noer tak sadar menjadi doktor ilmu politik pertama di Indonesia. Para ahli pengetahuan politik kita sebelumnya adalah ahli hukum yang mendalami ”ilmu tata negara” dan ”pemikiran politik”. Diser­tasinya, The Muslim Modernist Movement in Indonesia 1900-1942, yang kemudian diterbitkan, merupakan studi klasik yang memberikan inspirasi bagi banyak ilmuwan lain untuk menelaah aspek-aspek tertentu secara lebih ­mendetail.

Perhatian utama Deliar sebagai cendekiawan adalah berbagai masalah ke­islaman dan dinamika serta pemikiran politik Tanah Air. Salah satu karyanya yang terpenting ialah Mohammad Hatta: Biografi Politik, yang sampai sekarang masih merupakan biografi sang proklamator yang paling lengkap. Buku penting lain yang dihasilkannya adalah Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, yang dengan tenang menguraikan naik dan memudarnya peranan partai Islam dalam dinamika politik.

Deliar tidak membantah bahwa perbedaan pendapat sesungguhnya ”berkah”, tetapi semuanya haruslah dijalankan dalam suasana kedamaian. Maka pada awal 1970-an, ketika para pemikir muda Islam dirasakannya telah mulai melampaui kewajaran dalam bersikap terhadap ”generasi tua”, ia pun berusaha mendekati ”generasi tua” agar jangan sampai yang muda-muda ini ”dibuang” dari sistem wacana keislaman di Tanah Air.

Merupakan suatu tragedi dari seorang pendamai yang senantiasa ingin berlaku sopan dan jujur, ketika harus menghadapi kenyataan bahwa bahasa kekuasaan lebih punya arti. Bukan saja dilarang membacakan pidato pengukuh­annya sebagai guru besar, ia diberhentikan pula sebagai Rektor Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta, meskipun masa jabatannya hanya tinggal beberapa bulan. Rupanya, kekuasaan dan kejujuran mempunyai bahasa yang berbeda. Tetapi apakah ini tragedi Deliar Noer, atau tragedi bangsa?

Taufik Abdullah (sejarawan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus