Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Baik-Buruk Kecerdasan Buatan

Pakar artificial intelligence ITS, Mauridhi Hery Purnomo, dan Ketua Umum Korika Hammam Riza soal plus-minus kecerdasan buatan.

9 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA pemimpin raksasa teknologi dan peneliti internasional risau akan dampak kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Dalam petisi terbuka yang dirilis Future of Life Institute pada Maret lalu, mereka menyatakan AI menghadirkan "risiko besar bagi masyarakat dan kemanusiaan”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hingga awal Juli lalu, petisi itu sudah mendapatkan lebih dari 3.000 tanda tangan, termasuk dari Chief Executive Officer SpaceX, Tesla, dan Twitter, Elon Musk; cofounder Apple, Steve Wozniak; serta penulis Yuval Noah Harari. Ada sejumlah kekhawatiran yang timbul terhadap AI, dari soal bias, disinformasi, hilangnya pekerjaan, hingga bahaya otomatisasi persenjataan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Indonesia, pemanfaatan AI sudah cukup luas, dari sektor kesehatan hingga pendidikan. Namun yang paling banyak menjadi perbincangan belakangan ini adalah ChatGPT, aplikasi yang dibuat oleh Open AI, karena mudarat dan manfaatnya. 

Kekhawatiran terhadap dampak negatif AI itu disikapi beragam. Pakar AI dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Profesor Mauridhi Hery Purnomo, menilai ancaman itu memang ada, tapi reaksi yang muncul berlebihan. Apalagi kalau menganalogikannya dengan bom nuklir. "Makanya ada istilah man behind the gun. Ia kan tak bisa beroperasi dengan sendirinya," kata Mauridhi kepada wartawan Tempo, Abdul Manan, Iwan Kurniawan, dan Daniel Ahmad, di Jakarta, Rabu, 14 Juni lalu.

Ketua Umum Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (Korika) Profesor Hammam Riza mengatakan AI bisa disamakan dengan teknologi nuklir. Ia bisa menjadi bom atom yang membinasakan, tapi di masa damai dapat menjadi energi terbarukan. "AI bisa dilihat seperti itu," ujar Hammam kepada Abdul Manan dan Iwan Kurniawan pada Senin, 19 Juni lalu.


Pengajar ITS, Mauridhi Hery Purnomo:

Man Behind the Gun

Seperti apa perkembangan kecerdasan buatan saat ini?


Tiap negara punya ketertarikan masing-masing. Ketertarikannya ada soal uang, untuk mendanai riset lanjutan. Ada yang hobi. Saya lama di Jepang. Kalau saya membuat suatu program untuk menyelesaikan sesuatu tapi dipakai orang untuk kenikmatan tertentu, dosa atau enggak? Jepang kan jumlah penduduknya menurun. Mereka menggantikan istri atau suami dengan boneka. 

Kalau fokus penelitian Anda?


Saya banyak bergerak untuk isu usia lanjut. Ada anak bimbing saya membuat robot asisten. Kalau tanpa AI, sulit. ITS juga memproduksi 70 robot yang tersebar di rumah sakit besar di Indonesia. Fungsinya membantu perawat. Sewaktu Covid merebak kan perawat mesti pakai pakaian macam-macam. Kalau robot, disemprot-semprot selesai. Dan sudah bisa diajak ngomong

Pengembangan di kita banyak soal apa?

Kebetulan bidang saya banyak ke medis, pendidikan. Kami kembangkan pengajaran untuk anak taman kanak-kanak. Terutama kaitannya dengan pandemi. Baru finishing. Sebuah game virtual. Ada kamera, monitor, TV. Pakai virtual reality (VR). Kan, anak TK tak boleh calistung (baca-tulis-hitung). Berarti ngajari pakai VR tadi. Ada AI di dalamnya. 

Di industri lain?


Mobil listrik. Ada dosen bimbingan saya di Universitas Muhammadiyah mengerjakan front wheel drive. Itu pakai AI. Membuat lintasannya lebih pendek. Bahan bakar lebih irit. Mobilnya ada di ITS. 

Apakah sudah dipakai di mobil yang dijual di pasar?

Saya enggak tahu. Banyak biasanya berhenti di situ: paten. Itu lemahnya di Indonesia. Karena seorang peneliti disuruh mematenkan, memproduksi sendiri. Jadi link and match dengan industrinya kurang. 

Kalau di pertahanan?


Ada. Ingat tertangkapnya (Presiden Irak) Saddam Hussein? Tentara Amerika Serikat memakai seperti cincin. Nanti kalau ia tertembak, meninggal, akan diketahui posisinya karena terhubung dengan satelit pakai GPS (global positioning system). 

Kalau di militer kita?


Ada. Misalnya di pesawat atau helikopter tanpa awak. Grab dan Gojek itu kan penuh AI. Sebentar lagi frekuensi yang ditinggalkan stasiun televisi akan digunakan oleh drone. Cuma, pemerintah masih mengatur. Kalau enggak diatur, nanti berseliweran. Kalau pesan sesuatu saat ini mesti turun. Nanti enggak lagi. Di kamar, berapa pemesannya? Jendelanya tinggal dibuka (barang diantar langsung ke kamar). Di luar negeri kan sudah begitu. Masih banyak yang perlu dikembangkan.

Apakah ada sektor yang belum tersentuh AI?


Saya rasa semuanya sudah. 

Dibandingkan dengan di negara lain, bagaimana pemanfaatan kita atas AI?


Tergantung pengembangan dan kebutuhan. Di kita bisa lebih maju karena kebutuhan. Misalnya saya dapat permintaan (membuat AI) untuk digunakan dalam persidangan buat mendeteksi keterangan bohong dan sebagainya. Padahal di luar negeri belum sampai ke situ. 

Saat ini yang ramai kan soal ChatGPT. Apa kritik Anda?


Banyak. Contoh, ketikkan nama Anda dan saya. Tulisan Bapak di koran keluar semua. Untuk saya, yang keluar tulisan ilmiah semua. 

Sangat dipengaruhi entri yang pernah dimasukkan?


Ya. Jadi knowledge-nya tergantung input. 

Isu etik apa yang paling membuat Anda risau tentang AI?


Saya malah risau akan junior saya. Yang orang tuanya, oh, pakai ini saja (ChatGPT) untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Orang tuanya malas. Itu yang lebih berbahaya. 

Apa bahayanya?

Terhadap masa depan mereka. Tambah jadi pemalas. Kalkulator saja membuat orang malas. 

Sejumlah tokoh internasional membuat petisi karena AI dianggap bisa menghancurkan umat manusia. Tanggapan Anda?


Enggak, lah. Berlebihan.

Yang dikhawatirkan salah satunya soal otomatisasi di bidang persenjataan?

Ya. Makanya ada istilah man behind the gun. Dia kan tak bisa beroperasi dengan sendirinya. Kalau perang, tergantung siapa di belakangnya. Perintah perang, ya dari presidennya. 

Kekhawatiran terhadap dampak AI, termasuk ChatGPT, bukankah itu juga jadi perhatian serius?


Ya itu tadi. Semestinya ada rambu-rambu. Karena di dunia AI ada etikanya. Tapi di kita belum. 

Jadi kekhawatiran itu riil?

Ya. Pertanyaannya, berdosakah saya kalau membuat (penelitian soal) itu terus digunakan untuk yang tidak sebenarnya? Kalau ada rambu-rambu itu dosa, pasti (pembuatnya) masih ngerem

Jadi perlu pengaturan AI?


Perlu. Etika.

Bukan regulasi?

Regulasinya di soal siber. Kalau AI, dengan etika.

Selama ini sudah ada?

Internasional sudah. Indonesia belum.

Apa hal paling mendasar yang perlu diatur dalam soal etik?


Terutama yang berhubungan dengan siber adalah keamanan. Di kita kadang data orang digunakan seenaknya. Contoh, saya dipotret. Kecuali sudah izin. Tapi mau ditaruh di mana? Mahasiswa juga saya ajari. Saat ke Jepang, saya ingatkan jangan motret anak kecil. Karena itu anak orang. Ada gurunya. Kalau tiba-tiba muncul, gurunya yang diprotes. Etika, kan, itu. Di kita ada? Enggak ada. 

Kalau dalam aplikasi yang memakai AI?


Potretnya diubah-ubah. Karena ketidaksukaan, gambar presiden diberi sesuatu. Itu etika, kan.

Ada kekhawatiran kepintaran AI bisa mengalahkan manusia?


Itu yang perlu diatur dalam etika dan regulasi. Terutama yang kaitannya dengan yang membahayakan. Kata "robot" dari bahasa Rumania yang artinya budak. Ceritanya, saat itu ada orang kaya membeli robot. Dia punya anak nakal. Anak itu memerintahkan robotnya terjun dari lantai berapa, lalu rusak. Akhirnya ada peraturan yang dimasukkan di robot itu kalau ada perintah yang membahayakan dirinya, jangan mau. Itu masuk konsensus. Lama-lama jadi aturan. Jadi tergantung manusianya. Man behind the gun tadi. 

Kecemasan lain terhadap AI adalah ia bisa menghilangkan pekerjaan....


Ketakutannya terlalu dibesar-besarkan. 

Bukankah itu memang sudah ada contohnya?


Ya. Tapi lakukan sesuatu. Jangan membesarkan ketakutannya saja. 

Bagaimana sebaiknya menyikapinya?


Anda sudah menggunakan (perangkat perekam dan lain-lain) ini dan Anda tidak kehilangan pekerjaan, to? Sama dengan asisten dokter. Dokter tidak kehilangan pekerjaan. 

Bagaimana kalau sifatnya memang menggantikan, bukan membantu?


Beberapa menggantikan. Beberapa assisting. Jadi kayak kasir bank. Itu tergantikan (oleh anjungan tunai mandiri yang punya fungsi kasir). Mengurangi pekerjaan. Di bank tertentu enggak ada petugasnya. 

Apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mendukung pengembangan AI?


Sama dengan yang dilakukan pemerintah kalau rakyat ingin membeli mobil listrik. Pajak pertambahan nilainya dikurangi, dimurahkan, sehingga mendorong pertumbuhannya. Mahal, lho, mesin (komputasi) yang sanggup memproses macam-macam itu. Di Indonesia yang punya cuma tujuh perguruan tinggi. Harganya Rp 5 miliar. Terus yang sudah dimiliki Cina dan Amerika, ada namanya superkomputer. Basisnya sudah kuantum. Itu harganya triliunan rupiah. 

Kita belum punya?


Di Indonesia tidak ada. 

Apa manfaatnya?


Penghitungan data yang betul-betul big data. Sekarang saja kalau Anda sedang mengakses situs bank, atau masuk situs KAI (Kereta Api Indonesia) untuk pesan tiket, kalau yang pesan banyak, lemotnya minta ampun. Kalau di negara maju, cepat. Itu salah satunya manfaatnya.

Anda yakin AI tidak akan mengalahkan manusia?


Enggak akan. Manusia diciptakan sempurna. Saya yakin itu. Kecuali perbuatan jahatnya. Riset juga dianjurkan Allah, tapi untuk kebaikan.



Mauridhi Hery Purnomo

Pendidikan:

  • 
S-1    Institut Teknologi Sepuluh Nopember
  • 
S-2    Osaka City University, Jepang
  • S-3    Osaka City University

Pekerjaan
:

  • Pengajar di Institut Teknologi Sepuluh Nopember; Ketua Institute of Electrical and Electronics Engineers Industrial Electronics Society Indonesia Section


Ketua Umum Korika Hammam Riza:

Dilisensi Seperti Obat dan Makanan

Ketua Umum Korika yang juga Pakar teknologi informasi dan komunikasi (TIK), Hammam Riza saat sesi wawancara dengan Tempo di Jakarta, 19 Juni 2023/Tempo/M Taufan Rengganis

Seperti apa perkembangan AI di Indonesia?


AI bisa kita bedakan berdasarkan hasilnya. Ada AI deskriptif, ia mendeskripsikan saja. Ada AI prediktif, bisa memperkirakan. Lalu AI preskriptif, memberi solusi. AI generatif ini yang preskriptif. "Buatkan saya paper." Ia buat. 

Bisa memprediksi hasil pemilihan presiden juga, dong?


Bisa saja kalau ada datanya. Misalnya kita ambil dalam dua pemilihan umum sebelumnya, bagaimana peperangan di media sosial perihal Pemilu 2014, 2019, siapa calonnya, dari partai mana. Kalau kita bisa mengekstrak fitur itu, kita bisa ngajarin itu. Tapi masalahnya kandidatnya beda. 

Kalau pemanfaatan di Indonesia, apa yang paling menonjol?

Kita tidak menyadari sebenarnya sudah menggunakan AI. Hanya, AI yang kita gunakan implisit dalam aplikasi yang kita anggap mobile app

Misalnya?


Tiap kali kita menggunakan Google Search sudah pakai AI. Lalu nonton YouTube, buka situs travel, beli tiket. Ia tahu karakter kita. Menurut saya, fitur paling kuat AI adalah personalisasi.

Apa perbedaan AI generatif dengan yang lain?


AI generatif harus ada prompt, kita menanyakan kepadanya. Ia membangkitkan kalimat seperti ChatGPT atau membangkitkan karya seni. "Saya mau sebuah foto berada di puncak dengan latar belakang ini." Ia bikin itu. 

Secara umum, seperti apa plus-minus AI?


Plusnya, saya merasa lebih produktif. Membantu lebih berkreasi. Dalam urusan saya, untuk mempersiapkan paparan, saya pakai ChatGPT. Untuk media, kan mengecek semua hal mengenai topik tertentu jadi mudah sekali. Walaupun selama ini pakai search engine bisa. Tapi ada AI, lebih terarah.

Termasuk saat berbelanja produk?


Lebih berpengetahuan. Karena dalam pengambilan keputusan diberi pilihan.

Tapi juga bisa mengarahkan ke produk tertentu?


Itu yang jadi sumber persoalannya. Kita sebut itu bias. Karena ia belajar dari data yang kita kasih. Kalau kita kasih cenderung pada satu kelompok atau produk, ia jawabnya akan begitu. Misalnya anak dari kecil kita ajari makan sayur, dia pasti akan makan sayur. Tidak seperti anak saya. Enggak dikasih makan sayur. Sampai sekarang tidak mau makan sayur. Termasuk saya.

Apa nilai minusnya?


Datanya bisa bias. Tidak benar. Hasilnya jadi tidak benar, termasuk rekomendasinya. Jawabannya jadi salah. Itu karena ia memang ada keterbatasan dari sisi reasoning, penalaran, yang sudah diperbaiki dengan GPT-4. 

Apa penyebab bias dan ketidakakuratan ini?


Karena datanya tidak akurat. Intinya, ini adalah mesin yang belajar. Belajar dari data yang kita input kepadanya. 

Kalau soal etik, apa yang paling menonjol dari ChatGPT?

Misalnya kita mau menanyakan calon presiden atau siapa yang benar antara Ukraina dan Rusia dalam perang di Ukraina. Kalau datanya tidak netral, ia juga akan menjawab tidak netral.

Isu etik lain?


Penggunaannya juga bisa tidak beretika. Misalnya pelajar mengerjakan pekerjaan rumah menggunakan ini. Plagiat dia. Membuat critical thinking-nya hilang karena semua mengandalkan ini. 

Apa keluhan utama yang pernah disampaikan kepada Anda mengenai ChatGPT?


Ya, ada orang yang enggak percaya. Mungkin karena dia melihat ini bisa menggantikannya, pekerjaannya akan hilang, AI akan menguasai dunia. Bisa terjadi kiamat kalau semua diganti robot. AI generatif sudah mampu berkomunikasi dengan kita. Walaupun robot sudah ada sebelumnya, ia tidak bisa berkomunikasi seperti ChatGPT. Kalau ditambah dengan kemampuan ini, makin banyak pekerjaan bisa tergantikan.

Sudah mendengar keluhan tentang pekerjaan yang hilang karena AI di sini?


Belum. Kalau mau, ambil contoh. Di negara kita banyak petani. AI menawarkan smart agriculture, dipetain pakai drone, dilihat mana yang ada penyakitnya. Petani mengkonsumsi waktunya sekian banyak untuk melakukan itu. Sekarang pikirannya otomatisasi akan meningkatkan produktivitas. Tapi apakah kalau sekarang kita punya 1.000 petani yang mengolah sekian besar kawasan dan diganti teknologi hanya tersisa 100? Banyak yang melihat itu sebagai sisi minusnya. 

Kalau ada pekerja yang digantikan oleh teknologi, bagaimana mengatasinya?


Harus ditingkatkan skill-nya. 

Kalau AI untuk industri seperti apa?


Tergantung industrinya. Yang sudah pasti industri farmasi. Dalam bentuk obat. AI generatif melakukan drug discovery, menemukan obat baru. Yang sudah menggunakan ini Cina. Kita juga ada industri jamu atau OHT, obat herbal terstandar. Mereka mengajari AI khasiat masing-masing tumbuhan. Kalau kita tanya tanaman andaliman, misalnya cocok untuk apa saja, itu belum ada. Sekarang orang mulai mengekstrak khasiat tanaman itu. Nanti disimulasikan oleh generatif AI sehingga keluarlah obat baru yang khasiatnya lebih baik. 

Bisa dikatakan perkembangan AI masih dalam tahap awal, ya?

Untuk AI generatif, kita masih awal.

Ada petisi di dunia internasional tentang dampak AI. Apa kekhawatirannya?

Dalam waktu sekian bulan, mesin ini kan belajar terus. Dengan dimasukkan data, ada pengguna 100 juta. Sekarang sudah ratusan juta. Setiap hari orang prompting terus, memberikan human feedback, sehingga ia belajar terus. Jadi AI yang sedang kita tuju ini artificial general intelligence. Seperti manusia. Apa pun yang diminta, bisa dikerjakan. Nah, ini terus dilatih kepada mesin AI sehingga akhirnya ia mencapai artificial general intelligence yang dikategorikan sudah melebihi kemampuan manusia. Dan itu tidak lama.
Dari GPT generasi 4 ke 5, saya dengar kurang dari setahun. Kalau digunakan untuk kejahatan, bisa atau enggak? Bisa. Karena ia bisa jadi programmerHacker itu programmer

Kalau kekhawatiran AI bisa menghancurkan umat manusia, itu dalam konteks apa? Otomatisasi senjata?


Dalam ia menciptakan persenjataan, bisa. Saya nonton hearing Sam Atman di Kongres Amerika. Kenapa enggak diregulasi secara internasional, global. Dia mengumpamakannya seperti badan energi atom (IAEA). Kenapa? Nuklir itu kalau dimanfaatkan jadi bom atom bisa membinasakan manusia. Tapi nuklir masa damai adalah renewable energy yang bisa menghilangkan kebutuhan kita terhadap energi fosil, menyelamatkan lingkungan, mengatasi perubahan iklim. Nah, AI bisa dilihat seperti itu. Kalau dipakai oleh tangan yang salah, berada di tangan yang salah, dan dimanfaatkan untuk terorisme, cybercrime, dan semacamnya, itu hal yang perlu dihindari.

Apakah itu berarti memang perlu diatur?

Perlu. Parlemen Eropa sudah melepas draf pertama regulasi AI. Amerika Juli ini. Selama ini Amerika self-regulatory. Nah, di kita sendiri kita pakai semua teknologinya. Hanya disuruh daftar di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Padahal kalau mau dilihat, ya, efek aplikasi itu banyak yang negatif sekali juga. Sama seperti aplikasi di Internet.

Apa yang membahayakan?


Misalnya orang bisa belajar bikin bom, jadi teroris. Jadi sarang narkoba. Bisa, kan, di Internet itu.

Sebaiknya pengaturannya seperti apa?


Bukan sekadar semua dari luar itu diterima dan didaftarkan. Tapi harus kita beri lisensi seperti obat dan makanan yang kita konsumsi melalui lisensi Badan Pengawas Obat dan Makanan. Aplikasi AI harus dilisensi. Enggak bisa sembarang aja kita telan semua.

Apa tidak khawatir regulasi itu menjadi alat yang membatasi?


Bagaimana mekanismenya, itu yang saya tidak tahu. Karena aplikasi bisa kita unduh dari mana pun. 

Untuk riset, apakah perlu diatur juga?

Kalau riset jangan, lah. Itu kebebasan akademik.



Hammam Riza

Pendidikan:

  • S-1 Institut Teknologi Bandung, 1986
  • S-2 University of Kentucky, Amerika Serikat, 1991

  • S-3 Institut Teknologi Bandung, 1999

Pekerjaan:

  • Ketua Umum Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial, 2021-sekarang

  • Wakil Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2014-2018; Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2019-2021; Insinyur Utama
  • Pusat Kecerdasan Buatan dan Keamanan Siber Badan Riset dan Inovasi Nasional, 2021-sekarang
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus