Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dunia mengalami anomali inflasi.
Inflasi tetap tinggi meski suku bunga sudah dinaikkan berkali-kali.
Inflasi di Indonesia lebih lunak ketimbang di negara-negara maju.
TINGKAT suku bunga yang tinggi dapat meredam inflasi. Begitulah teorinya. Namun kini seolah-olah ada anomali: inflasi tak mau turun meskipun kenaikan bunga sudah terjadi berkali-kali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasar keuangan pun terus bergejolak mengantisipasi berlanjutnya kenaikan suku bunga. Kamis, 6 Juli lalu, misalnya, imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat berjangka waktu dua tahun sudah menyentuh angka 5,02 persen, tertinggi sejak 2007. Ini pertanda naiknya risiko. Pasar menilai ekonomi dunia tak akan mampu bertahan jika tekanan inflasi dan bunga tinggi terus naik susul-menyusul, seolah-olah tak ada yang mau kalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jadi apa yang membuat bunga tinggi tak mempan menurunkan inflasi? Salah satu jawaban atas pertanyaan ini sebenarnya menyangkut logika paling dasar dalam ilmu ekonomi. Jika pasokan uang melonjak, sudah pasti nilainya merosot secara relatif terhadap berbagai barang dan jasa. Itulah inflasi. Dan jika lonjakan jumlah uang yang terjadi luar biasa besarnya, wajar pula bila dampak inflasinya tidak biasa-biasa saja, sebagaimana kita lihat saat ini.
Lonjakan pasokan uang mulai terjadi ketika pandemi meledak, awal 2020. Kala itu, untuk menyelamatkan ekonomi, bank sentral di seluruh dunia menggelontorkan dana besar-besaran dengan membeli obligasi pemerintah. Dari guyuran dana inilah pemerintah mampu menutup biaya ledakan defisit anggaran demi mengatasi wabah serta memberi insentif kepada ekonomi agar terus bergerak. Ibarat kata, bank sentral mencetak uang nyaris tanpa batas untuk membandari pemerintah.
Berbicara tentang gelontoran likuiditas, The Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat, bisa menjadi contoh paling ekstrem. Ekspansi moneter The Fed bisa kita lihat dari neracanya. Pada Maret 2020, persis di awal masa pandemi, total nilai neraca The Fed masih US$ 4,31 triliun. Per April 2023, neraca itu sudah menggelembung hingga US$ 8,63 triliun, melompat dua kali lipat hanya dalam tempo kurang dari tiga tahun.
Jadi sebetulnya wajar saja jika dunia sekarang harus bergelut dengan inflasi karena banjir dana yang terjadi begitu luar biasa. Dan bukan hanya The Fed, bank-bank sentral lain di seluruh dunia melakukan kebijakan serupa. Banjir uang menjadi fenomena global. Untungnya, Indonesia tidak ikut terjerumus dalam euforia obral suntikan likuiditas. Bukan berarti di sini tak ada ledakan defisit anggaran dan guyuran dana dari bank sentral. Kedua fenomena itu juga terjadi di masa pandemi dengan skala yang belum tergolong berlebihan.
Menurut hitungan ekonom M. Chatib Basri, pada waktu pandemi, puncak defisit anggaran pemerintah hanya 6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Hampir 3 persen di antaranya berasal dari penurunan penerimaan pajak. Jadi defisit yang muncul karena tambahan pengeluaran pemerintah hanya 3 persen. "Itu sebabnya pembiayaan defisit oleh Bank Indonesia relatif kecil dan terbatas,” tuturnya.
Hasil akhirnya, inflasi di Indonesia jauh lebih lunak ketimbang di negara-negara maju yang melakukan ekspansi moneter dalam skala besar. Per Juni 2023, angka inflasi tahunan di Indonesia sudah turun lagi menjadi 3,52 persen ketimbang pada bulan sebelumnya yang sebesar 4 persen.
Indonesia juga beruntung memiliki jangkar kebijakan fiskal yang kokoh. Ada undang-undang yang memaksa rasio defisit anggaran pemerintah tidak boleh lebih dari 3 persen terhadap PDB. Jangkar ini merupakan jaminan bahwa pemerintah tak mungkin melanggar disiplin fiskal yang bisa membahayakan stabilitas makroekonomi. Sebab, ancaman gejolak ekonomi karena naiknya suku bunga di negara maju kini makin keras terasa.
Aliran dolar yang kabur ke luar negeri mulai kencang, sementara aliran masuknya melambat karena harga-harga komoditas ekspor Indonesia menurun. Kondisi itu tampak pada posisi cadangan devisa per akhir Juni 2023 yang sebesar US$ 137,5 miliar, nyaris kembali ke posisi per akhir 2022 yang mencapai US$ 137,2 miliar. Dus, perolehan devisa selama enam bulan pertama tahun ini sudah tersapu bersih kembali ke titik awal 2023.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo