Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penelitian terbaru oleh peneliti Center for Biodiversity and Conservation Universitas Indonesia dan mahasiswa IPB University menemukan populasi dan persebaran tarsius Pulau Peleng alias krabuku atau lakasinding.
Pada 2017, Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) memasukkan lakasinding ke Daftar Merah Spesies Terancam dengan status konservasi terancam punah.
Penelitian terbaru menemukan populasi lakasinding cukup berlimpah di Pulau Peleng dan Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah.
KRABUKU Peleng atau Tarsius pelengensis adalah salah satu wujud keanekaragaman hayati khas Pulau Peleng yang menarik minat Mochamad Indrawan untuk melakukan penelitian di sana. Tahun ini, tepat 32 tahun peneliti ekologi dan koordinator Center for Biodiversity and Conservation Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia itu menggelar riset di pulau terbesar di Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah, tersebut. “Pada 1991, setelah lulus kuliah, saya memilih Peleng karena tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi,” kata pria 62 tahun itu, Selasa, 20 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria yang akrab disapa Didi ini bercerita, satwa endemis Peleng berlimpah, tapi terancam punah. Misalnya kukus Peleng, gagak Banggai, dan Tarsius pelengensis yang disebut lakasinding oleh masyarakat lokal. Menurut Didi, tarsius Peleng pertama kali dikoleksi J.J. Menden pada 1938. Spesimen itu dideskripsikan Henri J.V. Sody sebagai Tarsius fuscus pelingensis. Menurut penelitian W.C. Osman Hill pada 1955, tarsius Peleng adalah subspesies Tarsius spectrum. Lalu, pada 1991, Carsten Niemitz memasukkannya sebagai subspesies Tarsius dentatus. Namun pada 2001 penelitian Colin P. Groves menetapkannya sebagai spesies tersendiri.
Pada 2017, lakasinding masuk Daftar Merah Spesies Terancam Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) dengan status terancam punah. Menurut Didi, IUCN menetapkan status tarsius Peleng berdasarkan kajian yang ia lakukan pada 2008. Dalam studi tersebut, Didi menyebutkan satwa endemis ini terancam punah karena hanya mendiami hutan primer di pulau seluas 2.340 kilometer persegi itu. Namun penelitian Didi bersama Fakhri Naufal Syahrullah, Abdul Haris Mustari, dan Un Maddus pada 2017-2018 menemukan fakta baru bahwa lakasinding hidup di semua jenis hutan, dari hutan primer, hutan sekunder, hingga hutan kebun, bahkan kebun campuran di sekitar desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Itu karena mereka mampu beradaptasi,” ucap Didi, yang menuliskan hasil penelitian itu dalam artikel di Imperiled: The Encyclopedia of Conservation yang dipublikasikan pada 22 Juni 2022 di situs ScienceDirect milik Elsevier, perusahaan penerbitan ilmiah dari Belanda. Dalam artikel bertajuk “From the Heart of Wallacea: The Endangered Peleng Tarsier Tarsius pelengensis”, Didi menjabarkan bahwa di Pulau Peleng di Kabupaten Banggai Kepulauan, lakasinding dapat dijumpai di hutan pantai, hutan dataran rendah, hingga hutan pegunungan dari ketinggian wilayah 0-1.000 meter di atas permukaan laut.
Tarsius Peleng/Dok TN Babul
Fakhri Naufal Syahrullah yang menjadi penulis utama laporan yang telah dikirim ke Scientific Reports itu mengungkapkan, tarsius Peleng lebih banyak bersarang di hutan sekunder ketimbang di hutan primer. “Tarsius ini pemakan serangga. Serangga seperti laba-laba, kunang-kunang, dan belalang lebih banyak di hutan sekunder, termasuk hutan kampung dan taman kehati (keanekaragaman hayati),” ujar Fakhri saat ditemui, Selasa, 20 Juni lalu. “Di hutan sekunder, dari 0 sampai 600 meter di atas permukaan laut, lebih banyak tarsius dibanding di hutan primer di ketinggian di atas 800 meter.”
Fakhri, yang meneliti populasi dan persebaran lakasinding di Pulau Peleng untuk tugas akhirnya di Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor atau IPB University, Jawa Barat, pada 2018, mengatakan sarang tarsius Peleng berupa semak belukar yang rimbun dan tumbuhan merambat. “Berbeda dengan tarsius Sulawesi yang bersarang di lubang-lubang pohon beringin, pada bambu dan lubang batu,” tuturnya. “Mereka tak berpindah sarang kecuali sarang dirusak.”
Saat mendata tarsius di Pulau Peleng, Fakhri melakukan 19 kali transect atau berjalan kaki menelusuri jalur melintang dari lahan yang diselidiki. Panjang transect 800-3.500 meter sehingga total panjang jalur mencapai 62,6 kilometer dengan luas area 9,16 kilometer persegi. Survei di Pulau Peleng berlangsung selama empat bulan. “Kami berjalan masuk hutan pada pukul 04.00-07.00 dan 17.00-20.00. Satu desa dua-tiga hari,” ujar Fakhri, yang juga menyurvei Pulau Banggai, Labobo, dan Bangkurung.
Berdasarkan pengamatan lapangan itu, Fakhri menemukan lakasinding juga ada di Pulau Banggai, tapi tidak di Labobo dan Bangkurung. Fakhri mencatat tingkat perjumpaan dengan tarsius di Peleng sebanyak 1,34 individu per kilometer, sedangkan di Banggai 2,66 individu per kilometer. Tim lalu menghitung tingkat kerapatan tarsius di Peleng dan Banggai dan mendapatkan angka 247 individu per kilometer persegi. “Angka kepadatan ini gunanya untuk mencari populasi riil. Jadi tinggal mengalikannya dengan luas habitatnya,” ucapnya.
Jika luas Pulau Peleng 2.340 kilometer persegi dan Pulau Banggai 280 kilometer persegi, populasi lakasinding di kedua pulau itu sekitar 650 ribu individu. Fakhri mengaku tidak berani mengatakan jumlah populasi itu kecil atau besar. Menurut dia, diperlukan penelitian lanjutan mengenai ketersediaan habitat. “Kita tidak tahu berapa luas hutan riil di sana. Dari luas hutan yang ada di sana, kita belum tahu berapa luas hutan primer, sekunder, hutan kampung, dan sebagainya,” ujar Fakhri.
Dia menjelaskan, tingkat keterancaman lakasinding cukup tinggi lantaran habitatnya berada di dalam pulau yang kecil dan terisolasi. “Faktor yang membuat tarsius terancam adalah perluasan lahan untuk perkebunan atau permukiman. Jadi bukan karena perburuan, tapi kerusakan habitat,” tutur Fakhri. “Di Pulau Peleng belum ada kawasan konservasi terestrial, yang ada kawasan konservasi kelautan,” katanya. “Memang ada hutan lindung di puncak pulau, tapi perlindungan lebih rentan ketimbang kawasan konservasi.”
Tarsius pelengensis/Tempo
Fakhri menemukan tidak ada penduduk yang mengambil atau menangkap tarsius untuk dikonsumsi, seperti di wilayah lain di Sulawesi. Ternyata hal itu dipicu mitos: jika seseorang berjumpa dengan tarsius dan satwa itu menunjuk dengan jari tangannya, masa hidup orang tersebut sesuai dengan jumlah jari yang digunakan untuk menunjuk. “Jadi masyarakat agak takut dan menghindari tarsius ini,” ujar Fakhri.
Selain itu, di beberapa tempat yang menjadi lokasi penelitian Fakhri, sudah ada gerakan sukarela dari masyarakat untuk menjaga kawasan hutan mereka dan satwa-satwa endemisnya. Menurut Fakhri, gerakan kesadaran ini berjalan berkat program pendampingan Mochamad Indrawan sejak 1991. Ada anggota masyarakat yang sukarela memberikan kebunnya untuk dijadikan taman keanekaragaman hayati atau menjadi pemandu untuk mengantar turis melihat tarsius dan satwa lain.
Frengki Balugi adalah salah satu penduduk yang sadar lingkungan itu. Warga Desa Lalengan, Kecamatan Buko, Kabupaten Banggai Kepulauan, ini rela menyerahkan lahan miliknya seluas 1,5 hektare untuk dijadikan taman keanekaragaman hayati. Frengki mengatakan lahan yang dijadikan taman kehati itu semula adalah kebun yang ia tanami kelapa dan cengkih. Tanaman komoditas itu kemudian ia ganti dengan pohon-pohon yang bibitnya diambil dari hutan.
Frengki menyebutkan tujuannya menanam tanaman hutan di lahan itu adalah mencegah musibah kekeringan di musim kemarau dan tanah longsor serta banjir di musim hujan. Pohon-pohon hutan itu, kata Frengki, juga menjadi sarang bagi lebah liar yang kelak bisa dipanen madunya. Pohon-pohon yang besar tidak boleh ditebang karena berfungsi sebagai penahan dan penyimpan air. Adapun pohon-pohon yang Frengki tanam dari bibit boleh ditebangi untuk keperluan membangun rumah nantinya.
Frengki mengaku kesulitan mengajak masyarakat menjaga hutan dan menghentikan perburuan. Bukan hanya itu, aktivitas konservasinya pun tak direstui kepala desa. “Masyarakat tidak peduli. Mereka menganggap kami orang biasa dan tidak punya kedudukan,” tutur Frengki. “Peraturan desa yang melarang perburuan satwa itu sudah ada, tapi tidak pernah diumumkan ke masyarakat. Ini yang saya sesalkan, mengapa pemerintah desa tidak mendukung upaya kami ini.”
Mochamad Indrawan alias Didi, yang menjadi pembina masyarakat selama hampir 19 tahun dalam gerakan konservasi, membenarkan ihwal nihilnya dukungan pemerintah. Menurut dia, pembangunan tujuh taman kehati di Kokolomboi, Batong, Komba-Komba, Meselesek, Lalengan, Olusi, dan Kawalu adalah murni swadaya masyarakat. “Justru mereka mendapat apresiasi dari lembaga internasional. Mereka mendapatkan Charles Southwick Conservation Education Commitment Award 2023 dari International Primatological Society,” ucapnya.
Menurut Didi, penghargaan itu didedikasikan kepada individu atau kelompok masyarakat yang tinggal di negara habitat primata yang telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pendidikan konservasi di wilayah setempat. “Charles Henry Southwick ini ahli primata terkenal dunia yang meninggal pada 2015,” tuturnya. “Masyarakat adat yang menerima penghargaan ini namanya orang Seasea.”
Warga masyarakat bersama anggota tim peneliti mengeksplorasi potensi taman keanekaragaman hayati yang didirikan oleh masyarakat setempat, Pulau Bangai, Sulawesi Tengah, 2016/Anissa Hasanah.
Rahmad Hidayat, peneliti antropologi dari Universitas Hasanuddin, Makassar, yang meneliti orang Seasea selama Januari-April 2023, menemukan ada kearifan lokal masyarakat adat di Banggai Kepulauan ini perihal konservasi hutan. “Mereka membagi kawasan hutan itu menjadi empat zona: babono, balibatang, laing, dan bokulung,” kata Rahmad saat dihubungi, Senin, 26 Juni lalu. “Babono itu hutan adat yang merupakan tempat spiritual. Tidak boleh digarap untuk lahan pertanian, hanya boleh diambil hasil hutannya, seperti madu dan rotan."
Adapun hutan sekunder, menurut kearifan lokal orang Seasea, boleh digarap, yakni zona balibatang dan laing. “Kalau balibatang itu hutan yang pohonnya berumur 7-10 tahun yang boleh ditebang. Sedangkan di laing pohon yang berumur 1-5 tahun sudah bisa ditebang,” tutur Rahmad. “Tapi jenis tanaman yang hendak ditanam dibedakan juga. Kalau balibatang untuk tanaman umbi-umbian, sedangkan laing untuk palawija,” ucapnya. “Adapun bokulung itu lahan yang luasnya 200 meter keliling yang tidak boleh ditebang karena di tengah-tengahnya ada makam leluhur.”
Menurut temuan Rahmad, kearifan lokal itu masih berlaku dan masyarakat masih memahami aturan tersebut sampai saat ini. Memang, Rahmad menambahkan, tidak ada sanksi adat bagi orang yang melanggar aturan itu. “Tapi ada sanksi secara gaib yang dipercayai. Misalnya mereka menebang pohon yang dilarang, kadang mereka mendapat musibah, seperti yang bersangkutan atau keluarganya jatuh sakit,” ujar Rahmad, yang melakukan penelitian tersebut untuk tesisnya di Program Pascasarjana Magister Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Terpikat Tarsius Pulau Peleng"