Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden minta Lemhannas berfokus pada transformasi lembaga, kajian IKN, dan soal ketahanan pangan.
IKN di Kalimantan memberikan ketahanan strategis tapi memunculkan kerawanan baru soal pertahanan.
Andi Widjajanto mengakui data dan indeks menunjukkan adanya regresi demokrasi.
KABAR tak biasa bagi Andi Widjajanto itu datang pada Jumat, 18 Februari lalu. Hari itu, Menteri Sekretaris Negara Pratikno memintanya bersiap-siap ke Istana Negara pada Senin, 21 Februari lalu. Tak ada pemberitahuan dari Pratikno untuk keperluan apa ia diminta ke Istana Negara. Andi merasa ada yang berbeda ketika ia diminta menjalani tes usap reaksi berantai polimerase atau PCR dengan pendampingan Sekretariat Negara di sebuah rumah sakit di Menteng, Jakarta Pusat, Ahad, 20 Februari lalu. Hasil tesnya diketahui pada siang hari. Lalu keesokan harinya datang undangan berisi pelantikannya sebagai Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional untuk menggantikan Agus Widjojo.
Andi adalah putra Mayor Jenderal Tentara Nasional Indonesia (Purnawirawan) Theo Syafei, mantan Panglima Komando Daerah Milter IX/Udayana yang juga politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Andi orang lama di lingkaran Presiden Joko Widodo. Ia menjadi anggota tim pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla dalam Pemilihan Umum 2014 dan Deputi Tim Transisi dalam pembentukan Kabinet Kerja. Pria kelahiran Jakarta, 3 September 1971, ini kemudian dipercaya menjadi Sekretaris Kabinet pada 3 November 2014-12 Agustus 2015.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selepas dari jabatan itu, Andi menjadi penasihat senior Kepala Staf Kepresidenan 2016-2021 dan penasihat senior Lembaga Laboratorium Indonesia 2045 atau Lab 45. Kajian Lab 45 salah satunya perpanjangan masa jabatan presiden yang menjadi perbincangan publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andi menjelaskan asal-muasal kajian itu, tapi membantah ada rekomendasi yang disampaikan lembaga itu tentang skenario perpanjangan masa jabatan kepada Jokowi. “Saya tidak tahu rumor itu dari mana,” katanya dalam wawancara pertama dengan wartawan Tempo, Abdul Manan, Budiarti Utami Putri, dan Gangsar Parikesit, di Jakarta, Kamis, 10 Maret lalu.
Wawancara kedua dilakukan secara daring pada Jumat, 18 Maret lalu. Dalam dua kesempatan itu, Andi menjelaskan perihal pesan khusus Presiden kepadanya sebagai Gubernur Lemhannas dan pandangannya soal aspek pertahanan ibu kota negara (IKN) dan regresi demokrasi.
Apa pesan khusus Presiden kepada Anda?
Secara garis besar ada tiga. Pertama, transformasi lembaga sehingga sesuai dengan perkembangan terbaru. Lalu dalam perjalanan sepuluh hari ini ada beberapa arahan lagi, yaitu melakukan standardisasi pendidikan kepemimpinan strategis nasional antara TNI, Kepolisian RI, dan aparatur sipil negara. Kami bisa bekerja sama dengan sektor di luar Polri dan ASN, seperti korporasi, partai politik, organisasi kemasyarakatan, dan parlemen. Itu dibutuhkan supaya ada pemahaman yang sama tentang kebangsaan dan ketahanan nasional. Kedua, kajian ibu kota negara. Saya sudah bertemu Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (10 Maret 2022), ngobrol awal terkait dengan kolaborasi yang bisa dilakukan Lemhannas dan Kementerian PUPR yang punya konsep infrastruktur fisiknya, Kepala Otorita IKN, dan kementerian lain, termasuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Ketiga, ketahanan pangan. Setelah pelantikan, Presiden bercerita tentang kenaikan harga komoditas pangan dan energi yang berpengaruh pada inflasi. Jokowi detail sekali menyampaikan angka inflasi di Amerika Serikat, Jepang, dan itu mengakibatkan ketahanan pangan terganggu. Jadi kami diminta melakukan kajian-kajian itu.
Anda juga dikenal dekat dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Ya, ada arahan juga dari Ibu Mega, Minggu (11 Maret 2022). Saya ditanya punya gagasan apa tentang Lemhannas. Ibu Mega memberikan tiga arahan, yaitu tentang Pancasila; pemikiran strategis tokoh-tokoh bangsa, termasuk Bung Karno; dan proyeksi geopolitik ke depan.
Dari pengamatan Anda, secara umum apa capaian Lemhannas?
Kalau sebagai pencetak kepemimpinan nasional, ya relatif sudah berhasil. Alumnusnya menduduki jabatan-jabatan strategis di TNI dan kementerian. Dari kajian, ada puluhan rekomendasi yang disampaikan ke Presiden dan beberapa diminta secara khusus dan ditindaklanjuti oleh kementerian. Tantangannya bagaimana membuat Lemhannas bertransformasi sehingga relevan dengan perkembangan teknologi.
Transformasi seperti apa yang akan dilakukan?
Pertama, transformasinya yang benar-benar mengadopsi teknologi terbaru, digital. Kami siap-siap dengan metaverse. Misalnya, kami siap-siap dengan artificial intelligence (AI), termasuk memberikan materi-materi virtual yang nanti sertifikatnya antara lain bisa dibantu dengan AI.
Apa masalah krusial dari identifikasi Lemhannas?
Kalau di pertahanan keamanan, masalah utamanya bagaimana kita memenuhi kebutuhan pertahanan yang memang sudah direncanakan sudah lama: alutsista (alat utama sistem persenjataan), kesejahteraan, kelengkapan doktrin, dan gelar organisasi baru. Di TNI sekarang ada Armada 3; Komando Operasi 3; serta Kopgabwilhan (Komando Gabungan Wilayah Pertahanan) 1, 2 dan 3. Semua akhirnya menjadi gelar kapabilitas pertahanan yang kita inginkan. Kami pun punya laboratorium pengukuran ketahanan nasional. Semua gatra ada indeksnya sehingga Lemhannas tahu daerah mana yang rawan secara sosial, ekonomi, dan demografi.
Kalau potensi ancaman dari luar?
Kami ada gatra pertahanan, atau politik, yang di dalamnya ada analisis variabel eksternal tersebut. Penelitian AUKUS (aliansi pertahanan strategis Australia, Inggris, dan AS) tahun lalu sudah dilakukan. Tahun ini, karena dinamika Rusia-Ukraina, ini juga dilakukan. Laut Cina Selatan selalu menjadi focal point, dan AUKUS. Tapi kami juga sadar AUKUS impaknya belum akan segera dirasakan. Lalu Rusia-Ukraina, ramifikasi dari konflik itu, terutama kalau nanti makin eskalatif. Konflik ini benar-benar bisa membuat dua negara besar berhadap-hadapan. Sekarang disebutnya retaliasi asimetrik. Rusia mengandalkan gelar militer, lalu Amerika Serikat dengan negara-negara Eropa melakukan retaliasi nonmiliter, terutama ekonomi. Kalau retaliasinya semacam ini, penyelesaiannya makin susah dan makin panjang, juga mesti diamati. Salah satunya nanti balik ke ibu kota baru. Kita akan punya pusat gravitasi baru yang mungkin akan membuat gelar pertahanan, bagaimana senjata direncanakan, didapat, dan digelar. Selama ini pusat gravitasinya di Jakarta, Jawa, dan kemudian akan bergeser benar-benar di tengah-tengahnya Indonesia. IKN letaknya sedemikian rupa sehingga dua-tiga jam dari kiri-kanan dan utara-selatan Indonesia bisa mencapai IKN. Itu membentuk ketangguhan strategis tertentu. Tapi di sisi lain kerawanan baru juga akan muncul.
Bentuk kerawanannya seperti apa?
Di sisi pertahanan darat, yang namanya manuver dalamnya lebih besar daripada di Jakarta. Tapi kerawanannya muncul karena makin ke utara, makin dekat dengan hotspot-nya, dengan perbatasan. Hotspot-nya Laut Cina Selatan dan Ambalat. Di IKN ruang manuver dalamnya membesar walau kita makin mendekati hotspot. Hotspot ini dua-duanya naval centric. Kalau lihat kerawanannya, air centric karena ruang udaranya terbuka.
Seperti apa antisipasinya?
Sebetulnya dari tahun lalu hal itu sudah dilakukan oleh gubernur sebelumnya. Saya pun sudah sering diminta masukan di Angkatan Darat dan Bappenas. Kalau sebagai gubernur, kemarin memberikan masukan di rapat pimpinan Angkatan Udara. Angkatan Udara menyampaikan kerawanan pertama, kalau kita membuat skenario serangan militer, IKN adalah kerawanan ruang udara. Sebab, IKN mendekati gelar perbatasan dan gelar depan negara lain. Sementara itu, IKN tidak punya demarkasi fisik. Tidak ada gunung, lembah, topan, dan cuaca ekstrem di atas IKN. Kerawanan pertama adalah ruang udara, bukan kerawanan serangan darat atau operasi laut. Strategi ADIZ (air defense identification zone), air denial, dan access denial menjadi penting. Sebagai konsekuensinya, gelar pertahanan di IKN air centric dan akhirnya ada investasi teknologi. Saya lihat perencanaan selama ini kira-kira beratnya di ADIZ ibu kota. Itu sudah disampaikan waktu rapat pimpinan Angkatan Udara.
Adakah rekomendasi khusus untuk mengantisipasi kerawanan ruang udara ini?
Kalau dilihat di kebijakan dan strategi pertahanan, itu sudah masuk. ADIZ sudah masuk di Rencana Strategis 2020-2024. Ada tiga program strategis Kementerian Pertahanan. Pertama, satuan integrasi di Natuna Utara. Kedua, pertahanan siber. Ketiga, Kalimantan disiapkan dari berbagai matra: laut, udara, dan darat. Sekarang kita punya bandara dan pangkalan. Di Pontianak, misalnya. Kita punya tapi belum menjadi pangkalan tempur, yaitu di Sepinggan.
Gejolak di Papua menjadi salah satu pekerjaan rumah pemerintah. Bagaimana pandangan Anda tentang itu?
Mungkin tahapnya dari mengatasi gejala kekerasan sampai nanti mencari akar strukturalnya. Panglima TNI Jenderal Andika di awal masa jabatannya berusaha memutus lingkaran kekerasan itu, antara lain dengan membuat pola baru operasi militer, tapi terkait dengan operasi teritorial, tidak berkarakter operasi tempur. Tapi kemudian ternyata kekerasannya tetap saja terjadi. Gejala kekerasan ini harus dihilangkan lebih dulu. Antara lain dengan memastikan kelompok di Papua yang masih bisa mendapatkan akses senjata diatasi dengan operasi spesifik yang targetnya betul-betul kelompok yang melakukan kekerasan itu. Setelah itu, kita bisa masuk ke pembicaraan yang berinteraksi dengan tokoh masyarakat, adat, dan gereja untuk masuk lebih dalam guna mencari sebab-sebab strukturalnya. Sebab-sebab struktural bisa sosial, ekonomi, atau sejarah panjang kekerasan di masa lalu, termasuk akhirnya yang paling berat kalau mengutak-atik faktor identitas.
Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto (kiri) usai dilantik oleh Presiden Joko Widodo, di Istana Negara, Jakarta, 21 Januari 2022. Humas Setkab/Jay
Bagaimana supaya Papua ini tidak seperti Timor Timur?
Yang pasti Papua sebagai bagian integral dari negara kesatuan Republik Indonesia untuk kita sudah final dan sangat berbeda dengan dulu proses integrasi Timor-Leste ke Indonesia pada 1975. Kita melakukannya melalui satu proses yang memang sudah diakui legitimasinya di dunia internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa. Untuk aspirasi bentuk pemerintahan yang berbeda, hal ini berusaha diselesaikan antara lain dengan penerapan otonomi khusus.
Tentang kajian Lab 45 tentang amendemen dan perpanjangan masa jabatan presiden, seperti apa awalnya?
Ini soal Lab 45, ya, dan tidak dalam kapasitas saya sebagai Gubernur Lemhannas. Juni-Agustus 2021 di media muncul pembicaraan tentang amendemen konstitusi. Kami melihat ada tiga isu, yaitu Pokok-Pokok Haluan Negara, pasal 7 tentang masa jabatan presiden, dan penguatan dewan perwakilan daerah. Lalu kami membuat kajian. Kami membuat data sheet 199 negara yang pernah melakukan amendemen konstitusi. Data sheet-nya kira-kira menyatakan negara pada saat melakukan transisi demokrasi cenderung membutuhkan amendemen konstitusi.
Amendemen konstitusinya cenderung mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi. Contohnya kita. Temuan kedua baru tentang masa jabatan. Apakah masa jabatan berpengaruh terhadap kualitas demokrasi? Jawabannya ada tiga.
Pertama, secara umum tidak. Tidak ada korelasi antara pembatasan masa jabatan dan kualitas demokrasi. Contoh ekstremnya Angela Merkel di Jerman. Tidak ada pembatasan masa jabatan, baik saja. Thailand tidak punya pembatasan masa jabatan, jungkir balik demokrasinya. Atau Filipina dengan pembatasan masa jabatan sangat ketat cuma satu kali, kualitas demokrasinya naik-turun. Kedua, pembatasan masa jabatan itu memang instrumen khas sistem presidensial. Negara sistem parlementer dan monarki absolut cenderung tidak ada. Ketiga, negara-negara dengan sistem presidensial yang sedang melakukan transisi demokrasi cenderung membutuhkan pembatasan masa jabatan. Lalu kami membuat analisis big data. Kecenderungannya sentimen negatif untuk mengutak-atik masa jabatan. Ini sesuai dengan survei yang lain. Sentimennya positif untuk (amendemen) Pokok-Pokok Haluan Negara dan penguatan peran DPD.
Bagaimana soal rekomendasi Lab 45 yang kabarnya memberikan sejumlah rekomendasi perpanjangan masa jabatan presiden?
Saya tidak tahu itu rumor dari mana.
Apakah Anda pernah menyampaikan kepada Presiden tentang itu?
Kalau pembicaraan dengan Pak Jokowi, 100 persen tentang Pemilu 2024. Tidak pernah bahkan satu kalimat pun kami bicara dengan Pak Jokowi tentang masa jabatan ditambah, perpanjangan, atau penundaan (pemilu).
Dalam pertemuan dengan Presiden, apakah Presiden memberi indikasi bersedia atau setuju dengan perpanjangan masa jabatan?
Tidak ada. Kalau dengan kami, (yang dibicarakan) Pemilu 2024.
Dari kajian Lab 45, ide perpanjangan itu tidak layak dilanjutkan?
Itu berlawanan dengan keinginan melakukan konsolidasi demokrasi. Sebagian besar data kami menunjukkan lebih mendukung kelanjutan konsolidasi demokrasi.
Pandangan Anda sebagai Gubernur Lemhannas?
Konstitusi ngomong apa, itu sikap saya. Kami tidak bisa bergerak melakukan kajian yang keluar dari kerangka konstitusi. Kerangka konstitusi ada di pasal 7 tentang masa jabatan, yaitu lima tahun untuk satu periode, bisa ditambah maksimal satu periode.
Sejumlah peneliti dan aktivis melihat ada indikasi regresi demokrasi. Pendapat Anda?
Datanya, indeksnya memang menunjukkan adanya regresi itu, ya. Saya meyakini Indonesia dalam proses transisi demokrasi dan memang harus konsisten bertahap. Kalau kita memakai pendapat (Samuel) Huntington, kita akan punya empat tahap. Pertama, inisiasi demokrasi melalui Pemilu 1999. Lalu instalasi demokrasi dalam Pemilu 2004 dan 2009. Kemudian ada konsolidasi demokrasi. Kuncinya di Pemilu 2014, 2019, dan 2024. Yang terakhir baru kematangan demokrasi pada Pemilu 2029. Kira-kira kita butuh dua pemilu lagi untuk benar-benar memastikan demokrasi kita matang. Hal itu memang membutuhkan prasyarat, seperti pertumbuhan ekonomi. Kalau sekarang ada banyak kajian yang bertanya mengapa suatu negara menjelma menjadi negara gagal, masuk jebakan kelas menengah, dan lain-lain, jawaban yang sering diberikan adalah ada masalah pembangunan institusi. Jadi relatif tidak terlalu terkait dengan kepemimpinan dalam artian satu atau dua orang.
Untuk mewujudkan demokrasi yang matang, apa yang harus dilakukan negara dan masyarakat sipil?
Sistem yang diinginkan oleh rezim demokrasi itu kan check and balances. Memang harus ada kesadaran dan kematangan, baik dari pemerintah, korporasi, maupun masyarakat sipil, termasuk media, untuk memperkuat sistem check dan balances. Tadinya tesis besarnya satu negara yang sudah masuk ke kematangan demokrasi tidak mungkin lagi mundur demokrasinya. Negara seperti Indonesia yang masih dalam tahap transisi demokrasi. Kalau tiba-tiba ada yang menarik “rem tangan” demokrasinya, itu bisa-bisa balik nol lagi. Tapi pemilu Amerika Serikat antara Donald Trump dan Joe Biden membuat saya bertanya-tanya, jangan-jangan tesis demokrasi matang tidak bisa berbalik arah itu harus diuji ulang. Pekerjaan rumahnya memang berat. Kami di Lemhannas salah satu kajiannya dalam tiga tahun ke depan adalah konsolidasi demokrasi.
Andi Widjajanto
Tempat dan Tanggal Lahir:
Jakarta, 3 September 1971.
Karier:
Pengajar hubungan internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (1999-2014); Penasihat Senior di Lab 45 dengan konsentrasi kajian di bidang pertahanan, hubungan internasional, dan keamanan siber; Sekretaris Kabinet Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (2014-2015); Penasihat Senior Kepala Staf Kepresidenan (2016-2021).
Pendidikan:
Ilmu Hubungan Internasional dan Studi Pertahanan di Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI, School of Oriental and African Studies (SOAS), London School of Economics and Political Science (LSE), National Defense University di Washington, D.C., dan S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) di Singapura.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo