Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia menghadapi berbagai tekanan masalah air: banjir dan kelangkaan air.
Pemerintah dianggap tak maksimal mengelola air sehingga terjadi krisis air yang ditandai ketidakmampuan mengelola banjir.
Daya dukung lingkungan menurun drastis sementara pertumbuhan penduduk meningkat dan pencemaran meningkat.
BAN Ki-Moon, diplomat Korea Selatan yang menjabat Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa 2007-2016, menyebutkan penyediaan air bersih sebagai kunci bagi manusia menghadapi krisis iklim. Menjadi pembicara kunci dalam Asia International Water Week Ke-2 yang diselenggarakan di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pada 14-16 Maret lalu, Ban Ki-Moon menyitir kajian PBB yang menyatakan, jika suhu bumi meningkat 1 persen, 7 persen populasi dunia akan mengalami krisis air.
Menurut Ban Ki-Moon, “Kebijakan harus dibuat secara holistik dan berkelanjutan untuk mengelola sumber daya air.” Konferensi tersebut melibatkan para menteri dari berbagai negara di Asia, pemimpin lembaga publik yang mengurusi air, perusahaan air, pakar, hingga para pembuat undang-undang. Forum ini menghasilkan Deklarasi Asia kepada Dunia yang berisi 12 komitmen untuk mengambil tindakan atas air.
Asia tempat tinggal bagi hampir 60 persen penduduk di bumi dan mengonsumsi air rata-rata sebesar 2.383 miliar meter kubik per tahun untuk sektor pertanian, industri, serta rumah tangga. Jumlah itu nyaris dua pertiga penggunaan air di seluruh dunia yang sebanyak 3.765 miliar meter kubik per tahun. Meski begitu, menurut “Asian Water Development Outlook 2020” (AWDO 2020) yang dirilis Bank Pembangunan Asia, 1,5 miliar penduduk rural dan 600 juta penduduk urban Asia mengalami krisis air.
Dalam AWDO 2020, Indonesia masuk kategori 3 alias belum efektif dalam mewujudkan ketahanan air. Indonesia mendapat nilai 61,0, berada di bawah Singapura, Malaysia, Brunei Darusalam, dan Filipina. Penilaian kunci dalam AWDO 2020 ini dimulai dari akses air minum, akses sanitasi, dampak kesehatan terkait dengan air, keterjangkauan air, hingga penilaian daya dukung ekosistem perairan secara nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalan ketahanan air di Indonesia juga disampaikan dalam laporan terbaru Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim yang dirilis pada Senin, 28 Februari lalu. Dalam laporan itu disebutkan perubahan fungsi lahan di Indonesia meningkat menjadi 55 persen. Menurut anggota staf khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan pendiri Indonesia Water Institute, Firdaus Ali, konversi lahan inilah yang menjadi salah satu penyebab kelangkaan air.
Menurut Firdaus, krisis air bukan hanya soal kekeringan. “Krisis air terjadi ketika kita tidak dapat mengelola kelebihan air saat hujan sehingga hanya menjadi banjir,” tuturnya. Menurut Firdaus, ketika curah hujan makin tinggi, terjadi perubahan daya dukung lingkungan di hulu karena konversi hutan. Akibatnya, ruang resapan air berkurang. Padahal air yang dapat dipergunakan manusia berasal dari air permukaan yang diserap pepohonan di hulu lalu dialirkan ke sungai.
Muhammad Reza Sahib, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, mengatakan kondisi krisis air di Indonesia lebih disebabkan buruknya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Selain meminggirkan masyarakat, kebijakan-kebijakan padat infrastruktur terkesan sarat kepentingan investasi ketimbang menyelesaikan akar persoalan, yakni buruknya kualitas daya dukung lingkungan.
Tidak mengherankan bila Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan Pulau Jawa akan mengalami krisis air absolut pada 2040. Dalam Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yang dikeluarkan Bappenas, kelangkaan air di Pulau Jawa terjadi pada 2000 hingga 2035. Luas wilayah krisis air juga meningkat dari sebesar 6 persen pada 2000 menjadi 9,6 persen pada 2045.
Dalam kajian itu disebutkan, pada 2040, proyeksi ketersediaan air di Pulau Jawa mencapai 476,62 meter kubik per kapita per tahun. Adapun ketersediaan air pada 2045 sebesar 445,82 meter per kapita per tahun. Kondisi kelangkaan absolut ini bisa diartikan jumlah sumber daya air tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Bappenas menyebutkan, agar kelangkaan air tak sampai menghambat pembangunan, wilayah aman air secara nasional perlu dipertahankan minimal seluas 175,5 juta hektare atau sekitar 93 persen dari luas wilayah daratan Indonesia. Ketersediaan air pada setiap pulau harus dipertahankan di atas 1.000 meter kubik per kapita per tahun.
Pulau Jawa menopang lebih dari 56 persen penduduk Indonesia. Dengan pertumbuhan penduduk 1 persen setiap tahun, tekanan terhadap air akan terjadi. Sebab, menurut Firdaus, setiap satu penduduk membutuhkan ruang seluas 5-7 meter persegi. Sementara itu, menurut Organisasi Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), hak dasar manusia atas air sepanjang hayat mencapai 60 liter per hari atau sekitar 0,06 meter kubik per hari.
Kondisi krisis air ini diperburuk oleh kualitas air yang terus menurun akibat kondisi daerah hulu sebagai area tangkapan air menjadi kritis dan tercemar. Menurut Bappenas, kandungan zat pencemar yang diukur melalui BOD (jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan bakteri untuk mengurai bahan organik) dan COD (jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik) naik1,1 kali lipat pada 2024 dan 1,2 kali pada 2030 dibanding kondisi pada 2020.
Di tengah persoalan krisis air, Indonesia harus menghadapi masalah buruknya kualitas sumber air minum rumah tangga yang tercemar tinja. Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) membuat kampanye #DihantuTai untuk merespons studi Kementerian Kesehatan yang menunjukkan lebih dari 80 persen sumber air minum rumah tangga tercemar tinja. “Indikator tercemar tinja adalah adanya bakteri E-coli di dalam air minum,” kata Urban Development Specialist UNICEF, Maraita Listyasari.
Pengujian pH (kadar keasaman air) saat pelatihan pemurnian air dengan alat "waterpurifier" di tepi Sungai Kanal Banjir Barat Semarang, Jawa Tengah, 8 Maret 2022/ANTARA/Aji Styawan
Maraita menjelaskan pencemaran tinja pada sumber air ini terjadi karena berbagai faktor. Di permukiman perkotaan, salah satunya adalah jarak septic tank dengan sumber air yang kurang dari 10 meter. Sementara itu, di permukiman perdesaan isu yang mengemuka adalah pengelolaan septic tank yang tidak maksimal sehingga mencemari sumber air rumah tangga.
Communication for Development Specialist UNICEF Rizky Ika Syafitri mengatakan hanya 0,08 persen dari produk domestik bruto Indonesia yang dialokasikan untuk menyediakan sanitasi. Karena itu, kata Rizky, UNICEF membuat kampanye #DihantuiTai. “Setelah kampanye ini menarik perhatian masyarakat, kami konversikan perhatian ini menjadi keterlibatan aktif masyarakat,” tuturnya. Salah satunya dengan mensosialisasi penyedotan septic tank setiap tiga tahun.
Kajian UNICEF bersama dengan Universitas Indonesia dan University of Technology Sydney, Australia, mengungkap bahwa krisis iklim membuat perilaku masyarakat Indonesia kembali ke kebiasaan buang air besar sembarangan. Maraita menjelaskan, ketika dalam kondisi kelebihan air (banjir) dan krisis air, laki-laki dewasa juga anak-anak merasa tak perlu mencari toilet yang layak. “Ini menyebabkan pencemaran air kembali terjadi,” ucapnya.
DINI PRAMITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo