Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Wawancara Asep Subhan: Kritik Sastra bagi Ekosistem Kesusastraan Indonesia

Asep Subhan meraih gelar juara satu sayembara kritik sastra Dewan Kesenian Jakarta 2024. Kritik sastra sungguh penting.

8 Desember 2024 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Asep Subhan (tengah) saat menerima penghargaan sebagai pemenang pertama Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2024 di di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 29 November 2024. Dok. DKJ

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Asep Subhan adalah pemenang sayembara kritik sastra Dewan Kesenian Jakarta 2024 yang mengusung tema satirisme A.A. Navis.

  • Asep aktif menulis dan telah menerbitkan sejumlah karya, di antaranya novel Serat Marionet (2011), Yang Tersisa Usai Bercinta (2020), dan Yang Maya Yang Bercinta (2021).

  • Jumlah kritikus sastra tidak sebanding dengan jumlah novelis, cerpenis, ataupun penyair yang terus memunculkan karya sastra.

BERSELANCAR di salah satu lokapasar dengan kata kunci Ali Akbar Navis atau A.A. Navis di kolom pencarian, mata Asep Subhan tertuju pada buku stensilan. Buku ini berwarna hijau, menampilkan potret empat tokoh berlatar gambar rumah gadang.

Buku versi ketikan ulang berukuran 10,5 x 17,5 sentimeter dengan tebal 114 halaman itu berjudul Di Lintasan Mendung. “Akhirnya, saya beli karena penasaran,” kata Asep, pemenang sayembara kritik sastra Dewan Kesenian Jakarta 2024 yang mengusung tema satirisme A.A. Navis. Panitia mengumumkan dan menganugerahkan hadiah kepada pemenang sayembara ini di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Jumat, 29 November 2024.

Asep, yang lebih dikenal dengan nama pena Cep Subhan KM, menyebutkan, pada halaman cover dalam buku stensilan itu, terdapat informasi mengenai pengetikan ulang teks novel Di Lintasan Mendung yang ia beli. Pengetikan ulang naskah Di Lintasan Mendung itu merujuk pada cerita bersambung dengan judul yang sama yang dipublikasikan pada 1983 dan dilakukan atas prakarsa Bachtiar Ibrahim di Malang, Jawa Timur, pada 2010.

Berbekal buku stensilan itu, Asep menulis esai berjudul Konstruksi Satire dan Transformasi Subjek Feminin Di Lintasan Mendung dalam Pusaran Generasi Femina. Dewan juri, yang terdiri atas Nukila Akmal, Arif Bagus Prasetyo, dan Sudarmoko, memilih naskah itu sebagai pemenang pertama. Juri menyatakan esai Cep membahas karya A.A. Navis yang belum pernah dibaca orang lain. “Di Lintasan Mendung belum diterbitkan sebagai buku,” tutur Asep.

Lahir di Ciamis, Jawa Barat, pada 6 Juni 1989, Asep aktif menulis dan telah menerbitkan sejumlah karya, di antaranya novel Serat Marionet (2011), Yang Tersisa Usai Bercinta (2020), dan Yang Maya Yang Bercinta (2021). Ia juga telah menerbitkan buku puisi Hari Tanpa Nama pada 2018. Selain itu, esai kritik sastranya yang berjudul Citra Subjek Feminin dalam Puisi Chairil Anwar: Sebuah Kosekuensi Lain Pembacaan Biografis menjadi pemenang kedua sayembara kritik sastra Dewan Kesenian Jakarta 2022. 

Menurut Asep, pertumbuhan kritik sastra menjadi hal penting bagi ekosistem kesusastraan Indonesia. Sebab, jumlah kritikus sastra tidak sebanding dengan jumlah novelis, cerpenis, ataupun penyair yang terus memunculkan karya sastra. “Akan sayang sekali jika karya bagus terabaikan karena tidak ada kritikus yang membahas,” katanya kepada wartawan Tempo, Sunudyantoro dan Yosea Arga Pramudita. 

Dalam wawancara melalui sambungan telekonferensi selama satu jam dari Ciamis, Jawa Barat, Kamis, 5 Desember 2024, Cep bercerita mengenai minatnya menulis kritik sastra serta lika-liku perjalanannya dalam menemukan teks Di Lintasan Mendung karya A.A. Navis. Berikut ini petikan wawancaranya.

Asep Subhan. Dok. DKJ

Esai kritik sastra Anda menjadi pemenang pertama sayembara sastra Dewan Kesenian Jakarta 2024. Bagaimana cerita di balik penulisan esai itu?

Naskah yang menang itu memang naskah favorit saya. Obyeknya Di Lintasan Mendung karya A.A. Navis. Saya punya kebiasaan, setiap menulis, saya kirim lebih dulu ke teman. Beberapa teman menjagokan naskah itu juga. Hanya, itu bukan tulisan pertama yang saya buat untuk sayembara. Tulisan pertama yang saya buat justru tidak masuk. Ha-ha-ha.

Mengapa Anda memilih Di Lintasan Mendung?

Ketika membaca Di Lintasan Mendung, saya terpikir naskah ini bisa menjadi ulasan menarik ketika ditarik ke dalam konteks subyek perempuan. Saya rasa itu bisa mewakili pandangan Navis karena karakter utamanya perempuan. Navis memang membuat beberapa karakter perempuan dalam karya-karyanya. Namun Di Lintasan Mendung itu menarik karena melewati beberapa fase. 

Apa saja fase itu dalam pembacaan Anda?

Pertama, ketika dia masih lajang berkaitan dengan perjodohan. Kemudian menjadi seorang istri yang diabaikan oleh suaminya. Lalu, ia menjadi istri sekaligus ibu yang ditinggal mati oleh suaminya. Ini berbeda dengan karakter perempuan di karya Navis lainnya, yang cenderung hanya satu fase.

Misalnya?

Seperti di novel Gerhana, itu hanya satu fase. Ketika perempuan berusia muda, saat ia kuliah. Di Lintasan Mendung itu lengkap, dari lajang hingga melalui beberapa fase, menjadi seorang ibu dan istri. Akhirnya, saya membahas subyek perempuan dalam karya Di Lintasan Mendung

Selain subyek perempuan, apa yang Anda tawarkan dalam tulisan itu?

Navis adalah sastrawan Angkatan 66 dalam kanonisasi sastra secara umum. Saya melihat tema yang disodorkan Di Lintasan Mendung tidak mirip dengan karya-karya sastra Angkatan 66. Saya menemukan hal yang mirip itu. Karya Navis mirip dengan karya-karya generasi Femina, yang sebenarnya bikinan saja.

Kemiripan dari sisi apa?

Penulis-penulis Femina sudah dilabeli sebagai para penulis pop. Mereka tidak masuk ke dalam historiografi sastra kita. Melalui tulisan itu, saya ingin menunjukkan bahwa karya Navis, Di Lintasan Mendung, justru memiliki kemiripan dengan karya-karya generasi Femina. Kita sudah telanjur menganggap Navis penting. Karya-karya Navis kerap disebut sebagai sastra tinggi. Ketika ada kesamaan dari segi tema, akan mengangkat juga nilai penting generasi Femina ini.

Ada upaya lain dengan mengangkat karya Navis yang jarang dibicarakan ini?

Kalau umum, kita membahas karya yang sudah dikritik. Selain kesulitan mencari celah, mana bagian lain yang belum dibahas, pasti tidak menutup kemungkinan orang lain akan membahas hal yang sama. Alasan itu paling mudah ditemukan.

Anda baru pertama kali membaca naskah Di Lintasan Mendung?

Saya baru pertama kali membaca. Ada sinopsis dalam buku karya Abrar Yusra tentang A.A. Navis. Abrar menyebutkan Navis mempunyai karya yang sampai sekarang belum dibukukan, masih dalam bentuk kliping. Salah satunya Di Lintasan Mendung dan belum ada yang membahasnya. Sebenarnya saya agak ragu bahwa ini bisa lolos dan diakui kesahihannya karena naskah itu hasil ketikan ulang orang dari cerita bersambung karya Navis di media massa.

Artinya, ada tugas lain untuk membandingkan dengan versi aslinya?

Ya, itu tanggung jawab filologis. Tapi, itu belum sempat saya lakukan. Saya membandingkan beberapa kutipan yang ada dalam buku Abrar Yusra dengan yang ada di tulisan tangan ini. Identik. Dari situ, saya berasumsi bahwa orang yang mengetik ulang ini tampaknya cukup hati-hati untuk tidak menghapus atau menambah apa yang ada di dalam teks. Hal itu saya jelaskan juga dalam esai. 

Menurut Anda, apa pengertian kritik sastra secara umum?

Saya ingin menyebutkan sangat sederhana bahwa kritik sastra itu dalam standar sarjana atau strata-1, kami menerapkan satu teori sastra untuk membaca, membahas, dan membedah karya sastra. Dari sudut pandang itu, ada teori sastra yang digunakan. 

Anda menulis dan ikut sayembara kritik sastra tak hanya sekali. Mengapa Anda memilih menulis kritik sastra?

Saya dulu kuliah di Sastra Inggris di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Meskipun saya tidak menjadi dosen, apa yang saya lakukan sekarang adalah perluasan dari apa yang saya dapatkan ketika kuliah. 

Menurut Anda, seberapa pentingkah kritik sastra bagi kesusastraan Indonesia?

Jelas penting. Sebab, jumlah kritikus tidak seimbang dengan jumlah novelis, cerpenis, atau penyair. Saya melihat jumlah sastrawan atau penulis makin banyak. Jika tidak diimbangi oleh jumlah kritikus yang cukup, itu akan membuat karya sastra muncul dan lewat begitu saja. Padahal kemungkinan besar ada hal yang bagus di antara karya-karya yang diterbitkan. Akan sayang sekali jika karya bagus terabaikan karena tidak ada kritikus yang membahas.

Pembaruan kritik sastra sungguh penting. Anda setuju?

Tentu, sama pentingnya dengan regenerasi sastrawan. Ketika banyak penulis baru bermunculan, kritik baru seharusnya bermunculan juga. Jadi akan ada kesamaan paradigma antara kritik dan sastrawan. Akan berbeda jika karya generasi muda dibaca oleh kritikus senior. Jadi memang kritik sastra penting untuk tidak membuat karya sastra lewat begitu saja, terutama karya yang bagus.

Sampul novel Yang Maya Yang Bercinta karya Asep Subhan. 

Dalam waktu dekat, buku Anda tentang kritik sastra Chairil Anwar akan terbit. Bagaimana perjalanannya?

Sebenarnya sudah lama, sejak awal 2023, penerbit Anagram berniat membukukan itu, tapi tidak mungkin hanya satu esai. Makanya, harus ada esai lain. Kalau hanya ingin menerbitkan kumpulan esai dengan beragam tema, itu mudah. Namun kami sepakat buku itu akan menjadi buku yang khusus membicarakan Chairil. Yang menjadi masalah, tulisan saya tentang Chairil, hanya dua. Pertama, naskah yang menjadi juara dua dalam Sayembara Kritik Sastra 2022 DKJ dan, kedua, yang membahas tribute-tribute puisi palsu Chairil Anwar.

Lalu, Anda menulis satu esai lagi mengenai Chairil?

Itu yang bikin agak pusing, ha-ha-ha. Sebab, mau menulis apa lagi soal Chairil? Sudah banyak orang yang menulis soal Chairil. Artinya, makin sedikit celah bagi saya untuk menulis tentang Chairil. Belakangan, muncul ide dan mulai menulis. 

Karena tiga esai, judul yang Anda pilih Tiga Menguak Chairil: Media, Perempuan, dan Puitika Kiri?

Betul. Memang benar keinginan itu. Judul awalnya tidak seperti itu. Ada ide dari Anagram, yang merasa judulnya begitu kaku. Akhirnya, saya langsung todong agar mereka membuatkan judul. Anagram menawarkan beberapa judul, akhirnya jadilah judul itu.

Menurut Anda, apa masalah dari kerja kritik sastra?

Hambatan paling utama adalah pengarsipan yang buruk. Itu hal yang paling kacau. Pengarsipan yang bagus itu berkaitan dengan data yang dibutuhkan, baik untuk referensi maupun karya yang dianalisis. Susah betul bagi kita mencari karya-karya penulis zaman dulu. Tidak ada yang menjual, di Perpustakaan Nasional tak ada, yang ada hanya beberapa judul dari kritik awal, seperti H.B. Jassin atau A. Teeuw.

Apa masalah lain yang Anda temukan?

Membaca teori sastra bukanlah hal yang mudah. Bagi pelajar, mungkin biasa mengadakan diskusi di ruang kelas. Tapi, kalau orang yang mempelajari kritik secara autodidak, harus memahaminya sendiri dan itu berat. Itu termasuk tantangan, yang membuat orang-orang percaya bahwa kritik sastra itu tidak perlu menggunakan teori. Mereka bilang teori itu membuat kritik sastra menjadi kaku seperti jurnal. 

Ada ruang untuk menulis kritik sastra, misalnya Tengara.id dan Kalam Sastra. Menurut Anda, apakah inisiatif semacam itu mampu menumbuhkan kritik sastra di Indonesia?

Tentu saja. Saya termasuk bersyukur ketika Kalam Sastra hidup lagi. Saya adalah pembaca Kalam Sastra sejak lama dan itu majalah favorit saya. Masalah lain bagi kritik sastra, tidak ada ruang untuk publikasi. Di koran tidak memungkinkan untuk menulis kritik sastra secara mendalam.

Salah satunya karena keterbatasan karakter?

Betul. Mungkin hanya ulasan atau esai ringkas dan hal itu tidak memadai untuk disebut sebagai kritik sastra yang bisa dimuat. Itu lebih ke versi ringannya saja. Sementara itu, publikasi kritik sastra mentok di jurnal. Jadi kita membutuhkan ruang yang memungkinkan kritik sastra ditulis dan disampaikan dengan gaya yang ramah masyarakat. Tentunya dengan konten atau tulisan yang menggunakan metodologi seketat artikel jurnal. 

Tengara.id ataupun Kalam Sastra tidak menjangkau pembaca secara umum. Anda setuju?

Pasarnya juga masih sempit. Tentu pasar yang sempit itu bisa dikemas dengan sayembara seperti yang dibuat Dewan Kesenian Jakarta. Sebab, yang ikut sayembara bukan hanya orang yang rutin menulis kritik sastra, melainkan juga umum.

Apalagi yang menjadi obyek sayembara adalah karya A.A. Navis. Bagaimana pendapat Anda?

Pembaca umum merasa juga sebagai pembaca Navis dan mencoba mengirim kritiknya. Saya membayangkan ada pembaca umum yang merasa memiliki kemampuan dan berhak menulis tentang A.A. Navis. Terlepas dari masalah itu, ini merupakan fenomena yang bagus karena ada ketertarikan masyarakat untuk menulis kritik sastra. Setelahnya, yang harus dilakukan, bagaimana cara membuat kritik sastra yang lebih tajam. 

Asep Subhan

Tempat dan tanggal lahir:
Ciamis, Jawa Barat, 6 Juni 1989

Pendidikan:
S-1 Sastra Inggris Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Karya:
Novel Serat Marionet (2011)
Kumpulan Puisi Hari Tanpa Nama (2018)
Novel Yang Tersisa Usai Bercinta (2020)
Novel Yang Maya Yang Bercinta (2021)
Novel Kosobali (2021)

Penghargaan:
Pemenang II Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2022
Juara II Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023
Pemenang I Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2024

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yosea Arga Pramudita

Yosea Arga Pramudita

Meminati isu-isu urban dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus