Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Berita Tempo Plus

Kepala BNN Marthinus Hukom: Narkotik Itu Ancaman Kemanusiaan

Kepala BNN Marthinus Hukom menjelaskan pemberantasan narkotik di kampung-kampung serta rehabilitasi pemadat.

23 Februari 2025 | 12.00 WIB

Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI) Marthinus Hukom di ruang kerjanya di Jakarta, 10 Februari 2025. Tempo/Ilham Balindra
Perbesar
Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI) Marthinus Hukom di ruang kerjanya di Jakarta, 10 Februari 2025. Tempo/Ilham Balindra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Dari 3,3 juta pengguna narkoba, 312 ribu pengguna adalah anak-anak dan remaja.

  • Ada ribuan titik masuk narkoba di sepanjang pantai utara dan timur Aceh sampai ke selatan di Sumatera Utara.

  • BNN menggunakan pendekatan humanis untuk mengatasi peredaran narkotik di kampung-kampung.

P

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

EREDARAN narkotik di masyarakat makin gawat. Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat 3,3 juta orang menyalahgunakan narkotik pada 2023. Dari jumlah itu, nyaris 10 persennya atau sekitar 312 ribu penyalahguna adalah anak-anak dan remaja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Kepala BNN Komisaris Jenderal Marthinus Hukom menyebutkan fenomena penyalahgunaan narkotik di kalangan anak muda dipicu rasa penasaran dan ajakan teman sebaya. "Ini sangat umum terjadi di lingkaran anak dan remaja," kata Marthinus kepada Mustafa Silalahi, Sunudyantoro, Riky Ferdianto, Mohammad Khory Alfarizi, dan Intan Setiawanty dari Tempo.

Pada awal Februari 2025, personel BNN menggulung jaringan narkotik jenis sabu dari Tawau, Malaysia. Penyidik menangkap empat pelaku dan seorang anak berusia 16 tahun di perairan Kalimantan. Remaja ini diajak seniornya menjemput paket sabu di tengah laut. Mereka menyembunyikan sabu di kemasan teh seberat lebih dari 25 kilogram.

Marthinus bercerita, lembaganya menjumpai kasus-kasus lain yang mengejutkan. Di Madura, misalnya, ada anak umur 10 tahun dipaksa mengkonsumsi narkotik. Remaja itu kemudian ditekan untuk menyebarkannya. Tak hanya itu, BNN juga menemukan kasus penyalahgunaan narkotik di kalangan perempuan hamil.

Pemerintahan Prabowo Subianto menjadikan pemberantasan narkotik sebagai salah satu agenda prioritas. Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan membentuk Desk Pemberantasan Narkoba pada akhir November 2024. Selain BNN dan kepolisian, tim ini antara lain beranggotakan Kementerian Kesehatan, Kementerian Komunikasi dan Digital, serta Kementerian Dalam Negeri.

Masalah narkotik yang dianggap kian meresahkan ini direspons pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dengan menjadikannya sebagai isu strategis dalam Asta Cita. Kemudian, pencegahan dan pemberantasan narkotik juga dijadikan program prioritas keenam dalam visi Indonesia Emas 2045.

Marthinus kini berfokus mengembangkan fungsi intelijen dalam pemberantasan narkotik. Menurut dia, fungsi intelijen bisa menjadi salah satu strategi mencegah munculnya kampung-kampung narkotik. BNN sedang berfokus mengawasi tiga wilayah di Jakarta: Kampung Ambon, Kampung Boncos, dan Kampung Bahari. "Setiap pekan, kami memetakan, memprofilkan, dan kemudian merontokkan jaringan itu," kata mantan Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri itu.

Marthinus menerima wawancara khusus di kantor BNN, Cawang, Jakarta Timur, pada Senin, 10 Februari 2025. Dia didampingi Deputi Pencegahan BNN Inspektur Jenderal Zainul Muttaqien serta Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol Brigadir Jenderal Sulistyo Pudjo Hartono.

Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI) Marthinus Hukom di ruang kerjanya di Jakarta, 10 Februari 2025. Tempo/Ilham Balindra

Apa kendala Badan Narkotika Nasional dalam membendung peredaran narkotik, terutama dari luar negeri?

Ada ribuan titik masuk narkotik di sepanjang pantai utara dan timur Aceh sampai ke selatan di Sumatera Utara. Kami kesulitan karena wilayah perbatasan sangat terbuka. Banyak masyarakat di wilayah perbatasan ini yang bekerja sebagai penambak atau nelayan direkrut untuk mengambil barang ke tengah laut. Imbalannya bisa mencapai Rp 40 juta per kilogram.

Apa jenis narkotiknya?

Segala macam, tapi paling banyak sabu. Kalau ekstasi, kami jarang mendapatkannya langsung dari kurir, biasanya di kota. Rata-rata sabu itu per kilogramnya Rp 30-40 juta. Kalau bawa 20 kilogram saja, berarti mereka dapat Rp 800 juta, hampir Rp 1 miliar, dibagi ke kru kapal. Artinya, dibanding pendapatan mereka di tambak atau menjadi nelayan sangat jauh.

Bagaimana BNN mencegahnya?

Kami sedang berhadapan dengan suatu pilihan moral yang sangat sulit. Makanya, saya bilang ke Deputi Pencegahan BNN bagaimana kami bekerja keras untuk menjaga ketahanan moral masyarakat di pesisir. Itu sulit sekali. Kami mulai mengajak paguyuban masyarakat adat pantai.

Apa kesulitannya?

Bagaimana kami bisa mengawasi masyarakat yang tinggal di pantai, dari Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, hingga Jambi. Kalau kami akan menyentuh jaringan ini, kadang-kadang mereka lebih cepat melompat ke Malaysia. Mereka mengendalikan jaringannya dari sana.

Mereka membangun sel peredaran narkotik?

Mereka punya uang banyak dan bisa membangun sel-sel terputus. Mereka tidak masuk bersamaan. Satu kiriman masuk dulu, lalu menyusul masuk lagi satu mobil. Mereka terpisah, tapi terkontrol oleh satu orang di atas. Baru saja kami menangkap jaringan dari Aceh, kejadiannya di jalan tol di sekitar Palembang, Sumatera Selatan. Mereka menggunakan aplikasi komunikasi yang tidak kami pakai.

Bagaimana operasi mereka di Jakarta?

Sampai di Jakarta, mereka langsung dijemput. Awalnya dari Sumatera, di satu tempat, mereka disambut orang lain. Terus begitu sampai, masuk ke gudangnya. Masih banyak modus operandi lain.

Bagaimana dengan keterlibatan polisi?

Ini kesulitan berikutnya. Kami ingin bertindak keras ke sesama anggota kepolisian. Kalau polisi terlibat, pasti ada jaringannya. Sudah banyak aparat yang masuk ke kampung-kampung narkotik di Jakarta. Kami sedang petakan. Kebetulan kami sekarang berfokus di tiga lokasi: Kampung Ambon, Kampung Boncos, dan Kampung Bahari. Setiap pekan, kami memetakan, memprofilkan, dan kemudian merontokkan jaringan itu.

Dengan berbagai kendala itu, apa yang BNN lakukan?

Saat ini kami betul-betul harus menguatkan fungsi intelijen. Jangan berpikir fungsi intelijen seperti Mossad di Israel atau Badan Intelijen Pusat (CIA) di Amerika Serikat. Namun lebih soal perspektifnya, mengumpulkan informasi untuk pro-justitia. Tapi memang ada masalah lain, yakni soal kesenjangan sosial yang menyuburkan banyaknya kampung narkotik

DPR pernah menegur BNN karena menggunakan istilah kampung narkotik...

Ya, karena malah menjadi stereotipe. Saya setuju. 

Bagaimana cara menghilangkan stereotipe ini?

Perlahan-lahan kami harus menggeser istilah itu supaya tidak memberikan stigma bahwa satu kampung terpapar narkotik semua. Mungkin kami akan menggunakan istilah sarang narkotik. Tapi, karena ada di kampung, kami tidak bisa melepaskannya. Kalau kita bicara Kampung Boncos, Kampung Bahari, dan Kampung Ambon, stereotipenya sudah kuat.

Bagaimana bisa komunitas masyarakat di suatu wilayah terpapar atau menjadi bagian dari jaringan narkotik?

Rata-rata karena ekonomi masyarakat di kampung itu sangat rendah. Mereka ditawari menjual narkotik. Ini menjadi solusi ekonomi mereka. Tak hanya menjual, mereka menjadi bagian jaringan dan melindungi bandar besar. Tak jarang kami berhadapan dengan mereka ketika menangkap bandar besar.

Bagaimana jaringan di kampung-kampung ini bekerja?

Dalam fenomena sosial, ada tiga aspek hubungan yang biasa terjadi. Pertama, simbiosis mutualisme. Kedua, hubungan patron and client. Ketiga adalah inti dan cangkang. Simbiosis mutualisme itu, kamu menjual dan kamu mendapatkan duit. Kedua, kamu bergantung kepada saya sehingga saya bisa memerintahkan kamu melakukan apa saja. Ketika simbiosis mutualisme terbentuk, patron terbentuk, muncul fenomena inti dan cangkang. Pada titik ini, masyarakat melindungi patronnya.

Bagaimana cara melemahkan jaringan di kampung-kampung tersebut?

Kami masuk, membuat patron-patron baru di dalam. Kami menguatkan posisi ustad, guru, dan orang tua. Di Jakarta, misalnya, kalau ada program tanggung jawab sosial dari perusahaan, kami tarik anak-anak dari kampung-kampung itu. Kami sekolahkan, mungkin menjadi ustad, menjadi pendeta. Saat dia kembali lagi, dia menjadi patron baru. Orang tuanya mungkin menjadi penjual narkotik, tapi anaknya bisa menjadi ustad.

Sudah ada contoh kasus yang berhasil?

Saya melakukan itu saat di Poso, Sulawesi Tengah, ketika berhadapan dengan para teroris. Jadi, saya tidak lagi hadir di situ karena saya punya agent of change di situ. Saya menyekolahkan hampir 60 orang dari Poso. Saya sudah suruh mereka kembali untuk menjadi agen perubahan di komunitas mereka.

Marthinus Hukom

Tempat dan tanggal lahir

  • Maluku Tengah, 30 Januari 1969

Pendidikan

  • Akademi Kepolisian (1988-1991)
  • Kajian Strategi Intelijen Pascasarjana Universitas Indonesia (2015-2018)
  • S-2 Kajian Ketahanan Nasional Universitas Indonesia (2015-2018)
  • Program Doktor Filsafat Terorisme Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta (2020-sekarang)

Jabatan

  • Wakil Kepala Densus 88 Antiteror Polri (2018)
  • Kepala Densus 88 Antiteror Polri (2020)

Kekayaan

  • Rp 16,81 miliar (2023)

Anda punya pengalaman menghadapi terorisme dan membubarkan Jamaah Islamiyah (JI). Metode yang sama Anda gunakan untuk narkotik? 

Saat saya menjadi Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror, kalau ada orang yang mau keluar dari anggota kelompok teroris, kami tarik. Kami minta dia mendeklarasikan keluar dari organisasi itu. Mereka tak semua sadar menjadi anggota JI. 

Apakah ada kaitan antara jaringan teroris dan narkotik?

Enggak, terpisah sama sekali. Tapi memang ada beberapa teroris yang lalu menjual narkotik. Kami pernah menemukan teroris di Medan, Sumatera Utara, yang ditangkap pada 2010, kemudian dia terlibat perampokan bank. Dia lari ke Malaysia dan menjual narkotik untuk membeli senjata.

Anda lebih mengutamakan pendekatan humanis?

Ya, pendekatan humanis. Setiap ceramah, saya membuat moral standing. Narkotik itu ancaman kemanusiaan. Sebanyak 3,3 juta manusia Indonesia terpapar, itu bukan jumlah yang sedikit. Ada 296 juta orang di seluruh dunia menyalahgunakan narkotik. Bandingkan dengan korban Covid-19. Orang yang menggunakan narkotik dalam jangka panjang pasti rusak.

Rusak bagaimana?

Paling tidak, fisiknya rusak. Mereka tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Hubungan sosial tidak terbangun dengan baik. Sisi kemanusiaan mereka yang sempurna terdisrupsi oleh narkotik. Saya bilang, narkotik adalah ancaman kemanusiaan. Manusia itu makhluk rasional, tiba-tiba tidak rasional karena narkotik. Maka, kita harus membangkitkan kesadaran masyarakat.

Kepala BNN Marthinus Hukom memasukan barang bukti narkotika jenis sabu ke dalam alat pembakar saat pemusnahan barang bukti narkotika di Kantor BNN, Jakarta, J7 Februari 2025. ANTARA/Asprilla Dwi Adha

Presiden Prabowo juga pernah menyatakan pengguna narkotik tidak dikriminalisasi...

Kami sudah lebih dulu melakukan itu. Namun kami belum melihat skema yang sama dalam rehabilitasi. Dalam Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa pengguna harus dihukum. Keputusan rehabilitasi diambil dalam persidangan. Putusan pengadilan harus merujuk pada tingkat kerusakan pengguna. Sebab, tak mungkin kami melakukan rehabilitasi kepada pengguna yang baru dua bulan dibanding pengguna yang sudah bertahun-tahun.

Putusannya berbeda?

Putusannya beda, waktu rehabilitasi juga harus beda. Ini yang sedang kami bangun, penyamaan persepsi. Penyidik, jaksa, dan hakim harus punya persepsi yang sama.

Mungkinkah menyamakan persepsi di kalangan aparat penegak hukum?

Kami sudah membuat diskusi kelompok terfokus. Penangkapan pengguna itu terjadi di tingkat kepolisian resor dan kepolisian sektor. Dari situ, mesti ada permintaan kepada Tim Asesmen Terpadu (TAT) BNN. Proses asesmen itu menentukan apakah dia pengguna atau pengedar.

Namun tak sedikit pemadat yang tertangkap kemudian dikriminalisasi.

Tidak semua kantor polisi didukung BNN dalam penanganan narkotik. Prinsipnya, kepolisian resor harus punya klinik pendamping untuk mengetahui aspek psikologi dan aspek kesehatan pengguna. Tim TAT kami bisa membantu secara online kalau berjauhan. Kami melihat datanya berdasarkan data-data intelijen. Data intelijen menjadi salah satu pendukung TAT.

Ini melalui diskresi penyidik?

Ini bukan diskresi, ini hukum, perintah undang-undang. Ini dimajukan sampai ke pengadilan. Dia diproses pengadilan, dari penyidikan, penuntutan, hingga diadili. Namun rujukan pengadilan adalah rekomendasi dari TAT. Misalnya, dia harus direhabilitasi.

Pemerintah baru saja memulangkan terpidana mati kasus narkotik, Mary Jane Veloso, ke Filipina. Apakah BNN ikut terlibat?

Itu kebijakan Presiden. Kami tidak dilibatkan dalam hal itu. Saya tidak tahu prosesnya, mungkin Kepolisian RI yang tahu. Tapi pada prinsipnya tukar-menukar tahanan itu sudah biasa. Kalau Presiden membebaskan atau menyerahkan tahanan kepada negara lain, pasti beliau menerapkan strategi tertentu yang harus kami hormati. 

Apakah momen pertukaran narapidana ini akan dimanfaatkan BNN untuk mengejar buron narkotik di negara lain?

Kami tetap harus kejar. Kami membuat Satuan Tugas Perburuan Daftar Pencarian Orang. Saya sudah meminta Deputi Hukum BNN melibatkan Kementerian Luar Negeri serta Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan.

Dalam urusan pemberantasan narkotik, mengapa BNN jarang mengincar langsung pabrik narkotik?

Untuk pabrik di luar negeri, kami sedang mendorong mekanisme freezing without delay. Ini instrumen hukum internasional untuk membekukan aset jaringan kejahatan. Kedua, ada domestic sanction list. Setiap negara boleh memasukkan jaringan kejahatan yang bisa dibekukan. Saya berharap ada kebijakan menempatkan organisasi kartel Amerika Latin sebagai foreign terrorist organization. Ini peluang untuk mendorong instrumen-instrumen tadi.

Bisnis narkotik juga berkelindan dengan judi online. Bagaimana mitigasi Anda?

Kalau sampai masuk ke satu negara atau organisasi besar, kami harus melibatkan Badan Intelijen Negara dan Badan Intelijen Strategis yang operasinya lebih luas.  

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Sunu Dyantoro

Sunu Dyantoro

Memulai karier di Tempo sebagai koresponden Surabaya. Alumnus hubungan internasional Universitas Gadjah Mada ini menjadi penanggung jawab rubrik Wawancara dan Investigasi. Ia pernah meraih Anugerah Adiwarta 2011 dan 2102.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus