Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komnas Perempuan terlibat dalam pembahasan peraturan Menteri Pendidikan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Kasus kekerasan seksual di kampus ibarat puncak gunung es karena selama ini sering ditutupi.
Komnas Perempuan menyoroti kegagalan sistem dan masalah kompetensi petugas dalam kasus pencabulan tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
DI tengah mencuatnya kasus dugaan di Universitas Riau, terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 memberi angin segar bagi korban. Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani mengatakan aturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi itu menyuguhkan upaya penanganan kasus kekerasan seksual yang lebih sistemis. “Jadi bukan ad hoc per kasusnya yang harus menjadi perhatian, tapi bagaimana misalnya sistem pencegahan dan penanggulangannya,” kata Andy, 44 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis, 18 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komnas Perempuan terlibat menggodok peraturan itu dalam sejumlah diskusi dengan Kementerian Pendidikan selama lebih dari satu tahun. Komnas antara lain menjelaskan maraknya isu kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi yang tak banyak terungkap ke publik karena cenderung ditutupi. “Kampus memilih mendiamkan atau mengajak ‘damai’ supaya nama baik tetap terjaga,” ujar Andy, yang menyebutkan peraturan yang diteken Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim itu bukan aturan pertama yang berlaku di lingkungan kampus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andy menyesalkan polemik yang menyertai terbitnya peraturan itu. Salah satunya kontroversi pasal tentang consent atau persetujuan korban, yang disoroti oleh beberapa kelompok keagamaan. Andy mengkritik kalangan yang memilih mencampuradukkan pembahasan tentang kekerasan seksual, yang benar-benar terjadi di lingkungan kampus, dengan isu perzinaan. Ia khawatir debat kusir ini bakal mengulang diskusi tentang Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual pada 2019. Saat itu rancangan aturan tersebut tak bisa dibahas lebih lanjut di Dewan Perwakilan Rakyat karena partai-partai politik dan publik terbelah.
Dalam perbincangan dengan wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Abdul Manan, Andy menceritakan pentingnya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, kendala menangani kasus kekerasan seksual di kampus, hingga kegagalan sistem dalam kasus perundungan anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Wawancara berlangsung dalam dua kesempatan, yakni melalui sambungan telepon pada 18 November dan tatap muka di sela acara pertemuan pengurus daerah Komnas Perempuan di Hotel Sari Pacific, Jakarta Pusat, 21 Oktober lalu.
Apa saja masukan Komnas Perempuan dalam penyusunan Peraturan Menteri Pendidikan?
Terutama terkait dengan hak korban. Selain itu, bagaimana kampus betul-betul memberi kesempatan untuk upaya penanganan yang sifatnya lebih sistemik. Jadi bukan ad hoc per kasusnya yang harus menjadi perhatian, tapi bagaimana misalnya sistem pencegahan dan penanggulangannya. Sebelum Mas Nadiem mengeluarkan kebijakan ini, dari Kementerian Agama sudah ada Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi keislaman negeri.
(Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam ditetapkan pada 1 Oktober 2019.)
Apakah Komnas Perempuan juga dilibatkan ketika itu?
Sampai akhir Oktober lalu, Komnas Perempuan sudah bekerja dengan 17 kampus, seperti universitas Islam negeri, untuk mengembangkan sistem pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam SK Dirjen Pendidikan Islam. Belajar dari pengalaman itu, kami menyampaikan sejumlah masukan (kepada Kementerian Pendidikan), misalnya langkah yang sebaiknya dilakukan kampus ketika mengetahui kekerasan seksual dan untuk mencegahnya lebih lanjut. Termasuk bagaimana memastikan kampus mau terlibat. Karena itu, Permendikbud mengatur sanksi jika kampus tidak melakukannya.
Bagaimana keterlibatan Komnas Perempuan dalam pembahasan Peraturan Menteri Pendidikan?
Kami ikut dalam perbincangan-perbincangan. Kami juga tahu sebetulnya maksud Mas Nadiem tentang isu kekerasan seksual di lingkungan pendidikan sangat banyak. Tapi memang seperti puncak gunung es. Di banyak kampus, situasinya menjadi tidak mudah bagi korban karena kampus mempunyai kecenderungan mendiamkan atau mengajak “damai” supaya nama baik kampus tetap terjaga.
Apakah masukan dari Komnas Perempuan sudah terakomodasi dalam peraturan itu?
Secara muatan sudah terakomodasi. Kami juga menilai Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 sebagai satu terobosan yang penting untuk kawan-kawan difabel di lingkungan kampus. Kampus kita kan menuju inklusif.
Pasal 5 tentang persetujuan korban menuai kontroversi dari berbagai kalangan, termasuk kelompok keagamaan. Apakah itu sudah diantisipasi?
Konsep consent sangat penting. Kita tidak boleh beranggapan, kalau sesuatu itu tidak diatur, artinya dia diperbolehkan. Sebetulnya kasus-kasus yang bersifat asusila, tindakan asusila, sudah banyak diatur dalam kode etik di dalam kampus. Ada banyak peraturan rektor terkait dengan kesusilaan dan etika di lingkungan kampus. Yang belum ada justru aturan seputar kekerasan. Tentunya berbeda ya orang yang melakukan hubungan seksual suka sama suka dengan orang yang dipaksa. Ada banyak cara memaksa. Bisa dengan ancaman langsung atau ancaman yang halus sekali. Bahkan kadang-kadang di Indonesia tidak perlu menyampaikannya pun orang bisa tahu dia berada dalam hierarki yang lebih rendah.
Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani di Jakarta, Jumat, 17 Juli 2020/TEMPO/Muhammad Hidayat
Mahasiswa rentan menjadi korban karena posisinya lebih lemah?
Mahasiswa mengetahui nasibnya di ujung pena dosen. Lulus enggak lulus, nilainya berapa. Jadi dosen enggak perlu panjang-lebar memastikan dia berada dalam posisi lebih tinggi. Di luar negeri, karena murid dianggap tidak bisa memberikan persetujuan secara bebas, hal itu langsung dilarang. Bahkan ketika hubungan suka sama suka antara dosen dan mahasiswa pun langsung dipenalti. Dosen bisa kehilangan sertifikat menjadi pengajar. Padahal itu bukan termasuk perbuatan cabul. Kita suka membayangkan kalau suka sama suka berarti tidak ada kasus. Padahal kasusnya berat sekali ketika hubungannya antara pendidik dan yang dididik.
Apakah bentuk kekerasan seksual yang banyak dijumpai di kampus terjadi dengan cara halus?
Iya. Seperti kasus di Universitas Riau. Korban dipaksa dicium atau dipegang bahunya. Untuk korban, bisa bicara dan menyampaikan kasusnya juga berat. Dia harus mempertimbangkan apakah nanti ada dampak terhadap nilainya atau lainnya.
Berapa banyak kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus?
Sewaktu Dirjen Pendidikan Islam mau mengeluarkan surat keputusan, mereka membuat survei berupa angket kepada mahasiswa. Dalam waktu kurang dari satu minggu saja surveinya sudah mendapatkan 1.011 kasus. Kalau surveinya Kementerian Pendidikan, mereka menemukan 70 persen dari responden yang berasal dari universitas berbeda mengetahui ada kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikannya. Tapi 63 persennya tidak pernah melaporkan kasusnya.
Kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan berapa?
Kasus kekerasan seksual di kampus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan jumlahnya belasan. Jadi yang melapor ke Komnas itu berarti dia sedang dalam proses hukum. Kasus kekerasan seksual menjadi puncak gunung es bisa dilihat dari indikasi ketika disurvei. Jumlah pelapor biasanya lebih sedikit karena kalau survei sifatnya anonymous. Korban atau saksi biasanya lebih berani menyampaikan apa yang terjadi.
Sejumlah pihak mendesak Peraturan Menteri Pendidikan itu dicabut karena dianggap melegalkan praktik perzinaan di lingkungan kampus. Tanggapan Anda?
Semua agama sebetulnya melarang perzinaan. Enggak ada agama yang bilang zina itu boleh. Secara umum juga tidak mungkin kita membuat peraturan yang membolehkan perzinaan. Secara akal sehat saja, ya.
Apakah pasal tentang persetujuan korban itu sudah tepat?
Permendikbud mencantumkan pasal soal consent tidak jadi masalah asalkan tidak dipolitisasi atau disikapi dengan pemahaman yang banyak prasangka. Saya pikir terlalu banyak prasangka, ya, karena tidak mungkin di Indonesia ini kita membikin aturan yang pro-zina.
Apakah Anda menilai penolakan dari kelompok-kelompok yang mendesak peraturan itu dicabut tidak berdasar?
Memang ada perbedaan terkait dengan pandangan hukum tentang apa yang perlu dan tidak perlu diatur. Tapi ada masalah lebih sentral, yaitu tentang mencampuradukkan. Ini kembali seperti diskusi tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tahun 2019. Ini yang sangat kami sesalkan.
Mengapa?
Karena mereka tidak melihat fakta di lapangan bahwa kekerasannya betul-betul terjadi.
DPR menunda keputusan menjadikan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai inisiatif Dewan. Apakah ada kaitannya dengan polemik Peraturan Menteri Pendidikan?
Saya tahu kalau ada penundaan, tapi saya tidak tahu apakah berkaitan dengan urusan Permendikbud ini. Saya berharap tidak ada karena ini dua hal yang bertautan tapi bukan berarti harus kita campuradukkan. Kalau ditunda-tunda lagi akan lebih banyak korban yang rugi karena terus dipolitisasi.
•••
Bagaimana Komnas Perempuan menyikapi kasus pencabulan anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu?
Kasus Luwu Timur menggambarkan kegagalan sistem. Dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan sistem peradilan pidana anak, seharusnya ada sejumlah terobosan hukum untuk memastikan anak sebagai korban kekerasan mendapatkan ruang yang cukup untuk digali kesaksiannya dan memastikan si anak mendapatkan keadilan dan pemulihan. Sistem hukum untuk anak terinstal lebih baik dibanding pada perempuan dewasa.
Apa yang membedakan keduanya?
Misalnya kasus pemerkosaan pada perempuan dewasa, selalu ada keraguan tentang motif suka sama suka atau provokasi dari si perempuannya. Banyak sekali. Apalagi jika kekerasan dilakukan dalam situasi yang khas, misalnya pacaran. Akhirnya diragukan sebagai kasus pemerkosaan. Berbeda dengan anak. Terlebih jika anaknya di bawah 10 tahun. Perempuan remaja berusia 15-18 tahun relatif lebih gampang digoyang kesaksiannya karena diperlakukan sebagai perempuan menuju dewasa dan sexualized.
Mengapa Komnas Perempuan ikut terjun dalam menangani kasus Luwu Timur?
Ketika kami membaca berkas kasus ini menjadi menarik karena sebetulnya ketiga korbannya adalah anak. Seharusnya tidak dilaporkan ke Komnas Perempuan, tapi ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Tapi kemudian menjadi perhatian kami karena ibu korban merasa sebagai orang yang melaporkan sudah menghadapi tembok. Sebab, semua institusi yang dia ketuk mengatakan, “Ya sudah, enggak cukup bukti, kasus ditutup.”
Mengapa Anda menyebut kasus ini menggambarkan kegagalan sistem?
Di pihak kepolisian, ada beberapa bagian dari kesaksian korban yang tak dijadikan alat bukti. Dalam kasus Reynhard Sinaga (mahasiswa Indonesia di Manchester yang divonis bersalah dalam 159 kasus pemerkosaan dan serangan seksual terhadap 48 pria), polisi Inggris proaktif mencari kesaksian korban dengan membuka call center. Tapi, dalam kasus Luwu Timur, beberapa indikasi awal tidak ditelusuri polisi hanya karena visum menyatakan tidak ada bukti kekerasan fisik di lokasi tertentu, seperti vagina atau anus. Kita semua yang bekerja pada isu ini paham, apalagi polisi, bahwa visum juga sangat bergantung pada kapan dilakukan. Kalau sudah selisih dua minggu, misalnya, tanda-tanda kekerasan bisa jadi hilang. Derajat kerusakannya kan juga berbeda. Jadi kita enggak tahu seberapa jauh tindakan yang terjadi.
ANDY YENTRIYANI
• Tempat dan tanggal lahir: Pontianak, 24 Januari 1977 • Pendidikan: Sarjana Hubungan Internasional Universitas Indonesia (2000); Master bidang Media dan Komunikasi di Goldsmiths College, University of London, Inggris (2004) • Karier: Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (2010-2014); Dosen Gender dan Hubungan Internasional Universitas Indonesia (2012-2016); Koordinator Asia-Pacific Women’s Alliance for Peace and Security (sejak 2015); Ketua Pengurus Yayasan Suar Asa Khatulistiwa, Kalimantan Barat (2016-2019); Koordinator Perkumpulan Rukun Bestari (2018-2019): Dewan Etik Forum Pengada Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan (2018-2019); Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (2020-2024)
Apa yang bisa dilakukan dengan pendekatan sistem peradilan pidana anak?
Kalau kita pakai sistem peradilan pidana anak, kesaksian korban yang terkesan inkonsisten itu betul-betul harus diperiksa oleh psikolog anak yang benar-benar paham.
Ketika menerima laporan tahun lalu, apakah Komnas Perempuan menduga kasus ini bakal meledak seperti sekarang?
Sebenarnya kasus seperti di Luwu Timur banyak sekali. Kasus-kasus yang lantas dihentikan karena dianggap tidak cukup bukti. Hasil penelusuran kami terhadap kasus-kasus kekerasan, khususnya pemerkosaan, dari total kasus yang dilaporkan, hanya 30 persen yang masuk proses hukum.
Secara prosedur, bagaimana seharusnya proses yang dilakukan polisi dalam menangani kasus Luwu Timur?
Pertama, polisi seharusnya berkoordinasi dengan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak). Kegagalan sistemnya adalah polisinya sudah menghubungi P2TP2A, tapi proses penanganan di P2TP2A menurut saya agak menunjukkan memang ada masalah kapasitas di situ.
Apa indikasinya?
Misalnya keterangan bahwa ketiga anak tersebut menyebutkan mereka mengalami kekerasan seksual. Tapi mereka seperti tidak apa-apa. Mereka enggak menunjukkan rasa terintimidasi ketika bapaknya datang. Dua anak bahkan tidak ragu-ragu duduk di pangkuan bapaknya. Kami bilang, dalam kasus inses, kejadiannya banyak yang seperti itu. Bahkan bisa lebih parah.
Bagaimana semestinya korban inses diperlakukan?
Kasus inses butuh perhatian khusus. Di luar negeri, kasus inses banyak dilaporkan oleh non-korban. Tapi korbannya sendiri merasa yang dilakukannya bukan merupakan masalah. Dia tidak menyadari itu. Bahkan sering kali mempengaruhi seluruh praktik relasi sosial dia berikutnya.
Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Anak dan sistem peradilan pidana anak, mengapa kasus Luwu Timur tidak mendapatkan penanganan yang tepat?
Pada satu titik, secara budaya hukum kita masih mengandalkan bukti-bukti yang sifatnya fisik, formal prosedural. Sementara itu, ada kebutuhan terobosan hukum yang seharusnya bisa membantu keterangan anak dieksplorasi lebih jauh. Itu yang tidak terjadi. Menurut polisinya, hasil visum et repertum menyatakan tidak ada bekas luka. Visum et repertum psikiatrikum juga menyatakan tidak terjadi apa-apa. Didukung asesmen Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga) yang menyatakan anak-anak itu bertemu dengan bapaknya baik-baik saja. Runutannya begitu. Jadi konstruksi kasusnya sangat formal prosedural. Dilengkapi dengan kapasitas petugas yang mungkin memang sangat terbatas untuk mengenali isu kekerasan seksual, sehingga menimbulkan blind spot pada masalah hukumnya sendiri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo