Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Australia membakar tiga kapal nelayan Indonesia yang mencuri teripang di perairannya.
Pembakaran ini dilakukan sebagai sikap tegas Australia terhadap praktik illegal fishing.
Kementerian Kelautan dan Perikanan memprotes pembakaran kapal tersebut.
PASUKAN Perbatasan Australia (ABF) mendapat peringatan bahwa ada pencurian ikan di Rowley Shoals, taman laut milik Negara Bagian Australia Barat, pada Oktober lalu. The Sydney Morning Herald melaporkan sebuah kapal wisata yang sedang berlayar di kawasan itu berserobok dengan nelayan Indonesia. Rekaman video dari sebuah drone menunjukkan para nelayan sedang berjalan di koral dan mengambil biota laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang pengelola jasa wisata lokal juga menemukan hiu sekarat yang terapung di perairan tersebut. Siripnya hilang, diduga diambil untuk dijual. Seorang kapten kapal carteran juga menemukan sampah plastik dengan merek berbahasa Indonesia di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Operasi gabungan Komando Perbatasan Maritim Australia (MBC) dan patroli laut Negara Bagian Australia Barat kemudian meluncur ke Rowley Shoals dan menangkap 16 kapal nelayan Indonesia. Mereka menyita 630 kilogram teripang dan peralatan kapal. Tiga kapal lantas dibakar dan 13 kapal lain diusir ke luar perbatasan negara. Tak ada nelayan yang ditahan. Nelayan kapal yang dibakar dititipkan ke kapal lain.
"Pesan kami kepada nelayan asing ilegal di perairan Australia sederhana: kami akan memburu kalian dan menangkap kalian. Kalian akan kehilangan tangkapan, peralatan, dan bahkan mungkin kapal kalian," kata Komandan MBC Laksamana Muda Mark Hill dalam siaran pers ABF pada Senin, 8 November lalu.
Ini tindakan keras kedua Australia terhadap kapal nelayan Indonesia yang mencuri di perairannya. Pada Mei lalu, ABF membakar satu kapal nelayan yang mencuri teripang di Taman Laut Karang Ashmore, yang bersebelahan dengan Rowley Shoals. Pada 2019, Australia juga menghancurkan kapal penangkap ikan Indonesia yang mencuri sirip hiu.
Sejumlah kapal yang kedapatan melakukan ilegal fishing di lepas pantai Australia Barat, November 2021. Australian Border Force/Facebook
Data pemerintah Australia menunjukkan peningkatan jumlah kapal pencuri ikan yang ditangkap ABF di perairan Australia Barat. Selama 2018-2019 dan 2019-2020, berturut-turut hanya lima dan empat kapal yang ditemukan. Namun, pada 2020-2021, angkanya melonjak menjadi 85 dan pada 2021-2022 naik lagi menjadi 103. Itu pun baru data tiga bulan pertama tahun ini.
Pembakaran kapal ini memicu protes dari pemerintah Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan mereka "memberikan respons tegas" atas pembakaran kapal tersebut. Kementerian menangguhkan Jawline-Arafura, patroli bersama Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) dengan Pasukan Perbatasan Australia, pada Senin, 8 November lalu. “Seharusnya minggu ini dilaksanakan, tapi dengan perkembangan yang ada saat ini, kami menunggu penjelasan resmi dari pihak ABF,” ujar Direktur Jenderal PSDKP Laksamana Muda Tentara Nasional Indonesia Adin Nurawaluddin saat itu.
Sepekan kemudian, setelah ABF memberikan "klarifikasi", patroli bersama dilanjutkan. Menurut Kementerian Kelautan, ABF menjelaskan bahwa pembakaran tersebut adalah tindakan yang diatur dalam hukum Australia untuk menjamin keamanan dan keselamatan nelayan serta mencegah potensi penyebaran hama di wilayah konservasi.
Adin menyatakan Jawline-Arafura dilaksanakan sebagai bentuk komitmen kedua negara untuk terus bekerja sama dalam menangani masalah pencurian ikan di wilayah perbatasan. Kedua pihak, kata dia, memiliki keprihatinan yang sama mengenai peningkatan jumlah pelanggaran nelayan yang melintasi perbatasan. “Kami sudah memberangkatkan kapal pengawas perikanan Orca 04 dan pengawas udara untuk ambil bagian dalam operasi bersama Jawline-Arafura,” tutur Adin dalam pernyataannya yang diterima Tempo pada Selasa, 16 November lalu.
Tempo berusaha menghubungi Kedutaan Besar Australia di Indonesia untuk meminta konfirmasi atas hal ini. Namun Kedutaan menyatakan baik ambasador maupun perwakilan Kedutaan tak dapat memberikan keterangan.
Irwansyah, pengurus Kerukunan Keluarga Bajo, menyatakan beberapa nelayan di kapal yang ditangkap itu warga Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Kapal-kapal tersebut berisi nelayan dari berbagai daerah, termasuk dari Wakatobi dan Nusa Tenggara Timur. Setiap kapal berisi empat-lima orang. Hingga Sabtu sore, 20 November lalu, baru sebagian nelayan yang pulang. "Sebagian lagi mungkin masih di perjalanan atau berada di Nusa Tenggara Timur," ucap dosen Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo itu.
Saharuddin, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sulawesi Tenggara, membenarkan kabar bahwa beberapa nelayan itu adalah warga Bajo. "Ada tiga kapal ke sana bulan lalu. Ada kapal yang dibakar, ada yang dilepas," katanya.
Mohammad Abdi Suhufan, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia, menyebut pembakaran kapal itu sebagai sikap keras Australia terhadap praktik illegal fishing. "Pembakaran terjadi karena kekesalan dan keputusasaan Australia dalam menghadapi nelayan-nelayan pelintas batas dari Indonesia. Beberapa nelayan tersebut adalah 'residivis', pernah ditangkap dan dihukum di negeri itu," ujarnya.
Nelayan Indonesia merambah Rowley Shoals karena kawasan konservasi itu mengandung teripang, ikan, dan karang yang masih bagus dan berlimpah. Kawasan itu memang berdekatan dengan Laut Timor. Perairan ini menjadi rumah bagi berbagai biota laut, di antaranya sejumlah spesies langka. Seluruh kawasan itu masuk daftar warisan nasional Australia yang mendapat perlindungan khusus.
Menurut Saharuddin, nelayan memanen teripang di sana karena karang di kawasan laut Indonesia telah rusak dan jumlah biota laut seperti teripang sudah minim. "Nelayan tahu daerah itu masuk wilayah Australia, tapi melihat barang itu besar-besar, mereka ambil saja," ucapnya.
Pemerintah Indonesia dan Australia telah meneken nota kesepahaman mengenai operasi nelayan tradisional Indonesia di daerah zona perikanan eksklusif Australia pada 1974. Sejak dulu, nelayan Nusantara biasa mencari ikan hingga ke kawasan yang kini masuk wilayah Negeri Kanguru. Melalui perjanjian ini, Australia mengizinkan nelayan tradisional mencari teripang, ikan, dan beberapa biota laut lain di wilayahnya, tapi di luar Kepulauan Ashmore dan Cartier serta Karang Scott. Kepulauan dan karang ini berdempetan dengan kawasan perbatasan, sementara Rowley Shoals berada lebih jauh di wilayah Australia. Namun, karena para nelayan masih sering melanggar aturan, pada 1981 Australia memperbarui perjanjian itu dengan menetapkan Ashmore dan sekitarnya sebagai kawasan konservasi dan melarang penangkapan semua biota laut yang sebelumnya diizinkan.
Australia menyatakan para nelayan asing terutama mengincar teripang dan sirip hiu, dua komoditas mahal di pasar internasional. Tergantung ukuran dan jenisnya, harga teripang bisa sampai Rp 50 juta per kilogram dan harga sirip hiu Rp 1,8 juta per kilogram. Permintaan teripang dari perusahaan makanan dan obat-obatan, terutama asal Cina, tergolong tinggi. Pendapatan kotor nelayan dalam satu kali perjalanan mencari teripang selama sekitar empat bulan diperkirakan Rp 70-150 juta.
Pendapatan yang menggiurkan ini mendorong nelayan untuk berburu teripang meskipun harus mencurinya di perairan Australia. Menurut Abdi dan Saharuddin, nelayan tidak khawatir ditangkap polisi Australia karena mereka akan diperlakukan dengan baik, mendapat fasilitas memadai selama ditahan, dan saat pulang pun diberi uang. Hal-hal inilah yang tampaknya membuat nelayan tak jera memanen teripang di negeri tetangga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo