Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Orang-orang Menganggap Saya Gila

Dipimpin Profesor Fedik Abdul Rantam, tim peneliti vaksin Merah Putih Universitas Airlangga melaju paling cepat dalam pengembangan vaksin Covid-19 dalam negeri. Uji klinis pekan keempat Oktober.

2 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Tim Peneliti Vaksin Merah Putih Universitas Airlangga Fedik Abdul Rantam di Laboratorium Research For Vaccine Technology Developement, Institute of Tropical Desease Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, 22 September 2021. TEMPO/Aris Novia Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Fedik Abdul Rantam memimpin tim peneliti Universitas Airlangga dalam mengembangkan vaksin Covid-19.

  • Vaksin Merah Putih bikinan Universitas Airlangga dan PT Biotis Pharmaceutical Indonesia hampir rampung menjalani uji praklinis tahap kedua.

  • Uji klinis pada manusia dilakukan pada pekan keempat Oktober nanti.

KETIKA jumlah kasus Covid-19 di Indonesia melonjak pada Juni-Agustus lalu, ketua tim peneliti vaksin Merah Putih Universitas Airlangga (Unair), Fedik Abdul Rantam, justru hilir-mudik dari Kota Surabaya ke kantor PT Biotis Pharmaceutical Indonesia di Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Saat itu Biotis, yang bermitra dengan Universitas Airlangga dalam pengembangan vaksin Merah Putih, telah memiliki laboratorium biosafety level 3 (BSL-3) untuk menjalankan uji praklinis fase pertama. “Saya pernah membawa lima liter virus (SARS-CoV-2) dari Surabaya,” kata Fedik, 61 tahun, dalam wawancara khusus melalui konferensi video dengan Tempo, Jumat, 17 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak pandemi merebak tahun lalu, pemerintah telah menggagas pembuatan vaksin Covid-19 dalam negeri bernama vaksin Merah Putih. Penelitian vaksin Merah Putih melibatkan dua lembaga riset dan empat perguruan tinggi, yaitu Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, dan Institut Teknologi Bandung. Setiap institusi menggunakan metode berbeda. Tim peneliti Unair, misalnya, semula memilih platform non-replicating adenovirus. Tapi, karena bibit vaksin yang dihasilkan kurang optimal, Fedik menggantinya dengan metode inaktivasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perkembangan riset vaksin Unair tercatat yang paling pesat saat ini. Tim peneliti Unair hampir merampungkan uji praklinis fase kedua pada monyet makaka, termasuk melakukan uji tantang dengan virus Covid-19 varian delta. Agar vaksin mendapatkan izin penggunaan darurat dan diproduksi massal pada April 2022, Fedik menargetkan uji klinis fase pertama terhadap manusia bisa dilakukan mulai pekan keempat Oktober nanti. “Saya bilang kepada tim, kalau tidak bisa cepat, akan saya gunakan model kerja gaya Jerman dan Rusia, he-he-he... Artinya, kami harus on schedule betul,” ucap guru besar virologi dan imunologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga itu.

Kepada wartawan Tempo, Sapto Yunus, Mahardika Satria Hadi, dan Abdul Manan, Fedik menceritakan penelitian vaksin yang ia pimpin, kendala yang dihadapi, dan kualitas vaksin yang bakal dihasilkan. Setiap hari Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga itu berkutat dengan virus di laboratorium. Fedik makin optimistis pengembangan vaksin buatan timnya akan berjalan lancar setelah PT Biotis mendapatkan sertifikat cara pembuatan obat yang baik dari Badan Pengawas Obat dan Makanan pada Agustus lalu.

Bagaimana hasil uji praklinis vaksin Merah Putih yang dikembangkan Unair dan PT Biotis?

Kami sedang menjalankan uji praklinis kedua dengan makaka. Kami buat beberapa kelompok, dari anak, remaja, hamil, dewasa, sampai makaka tua juga ada. Dalam uji praklinis kedua ini, kami melakukan uji tantang. Hewan-hewan itu diimunisasi dengan vaksin kami, lalu diinfeksi dengan varian-varian yang kami miliki. Hasilnya cukup menggembirakan. Ada yang protektif. Ada juga satu ekor yang hemoragis di trakeanya karena kami inokulasi virusnya masuk trakea dengan harapan virusnya langsung ke paru-paru. Tapi masih perlu pembuktian. Kami belum melihatnya secara mikroskopis apakah disebabkan oleh virus yang ada di situ. Itu harus diperiksa untuk melihat keamanan vaksin.

Apa saja varian virus Covid-19 yang digunakan untuk uji praklinis tahap kedua?

Pertama, varian B1 dari Indonesia. Lalu dua macam varian delta. Sebenarnya di Indonesia juga sudah ada varian lain, terutama kalau kita lihat di GISAID (Global Initiative on Sharing Avian Influenza Data). Di Tangerang, misalnya, ada varian alpha, epsilon, dan macam-macam. Daerah Tangerang dan sekitarnya paling tinggi. Varian mu, C.1.2, dan lambda memang belum kami temukan.

Dari mana tim peneliti Unair memperoleh isolat varian delta?

Saat awal pandemi, kami sulit mencari bahan untuk isolat. Kami mempunyai banyak isolat virus mulai Mei lalu. Saat itu terjadi gelombang kedua di Indonesia. Itu yang kami gunakan untuk uji tantang, termasuk varian delta. Varian delta sebenarnya ditemukan sejak Maret lalu, tapi tidak berkembang. Ada dua hal yang aneh tentang varian delta di Indonesia. Ada yang virusnya sudah terbagi menjadi beberapa substitusi dari nukleotida. Itu 20 persennya ada varian dari India, 20 persen dari varian Inggris, 20 persen varian Afrika Selatan. Artinya, virusnya sudah menginfeksi banyak orang. Semua sudah terbukti melalui sequencing.

Jika ditantang dengan varian delta cukup berhasil, bagaimana responsnya terhadap virus varian baru yang belum diketahui?

Belum tentu. Makanya membuat vaksin selalu tergantung virus yang ditemukan di lapangan. Kalau di lapangan berubah dan virus yang digunakan untuk membuat vaksin tidak mampu menginduksi antibodi, ya harus diredesain. Makanya vaksin ada yang didesain ulang dalam satu tahun, dua tahun, atau lima tahun kalau stabil.

Apakah uji tantang hanya dilakukan ketika uji praklinis?

Iya, uji praklinis I dan II. Uji tantang penting sekali untuk membuktikan vaksin yang digunakan itu mampu menetralisasi (virus) atau tidak.

Apakah pengembangan vaksin oleh tim Unair masih sesuai dengan jadwal?

Timeline-nya mundur sekitar dua minggu. Awalnya penyediaan makaka juga sulit karena kami harus menyeleksi yang bebas penyakit. Ternyata makaka banyak penyakitnya. Kami pernah mendapatkan 12 makaka, semuanya positif TB (tuberkulosis) dan hepatitis. Tidak bisa digunakan karena vaksin diberikan kepada individu yang sehat supaya respons imunnya betul-betul terukur, bisa membentuk antibodi. Kalau yang tidak sehat ada kelompok sendiri. Ada beberapa makaka yang sakit TB dan hepatitis kami imunisasi untuk model komorbid. Itu juga kami sedang jalankan.

Kapan vaksin ditargetkan bisa menjalani uji klinis pada manusia?

Harapannya uji praklinis selesai 28 September sampai 5 Oktober. Kemudian kami evaluasi satu minggu. Harus kerja keras betul. Lalu kami produksi skala pilot. Kira-kira minggu keempat Oktober harus sudah mulai uji klinis fase pertama. Pertengahan November fase kedua. Dua bulan kemudian kami bisa uji klinis fase ketiga, kira-kira akhir Desember mendatang. Sekitar Maret atau April tahun depan sudah bisa mendapatkan emergency use authorization dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Tenggat yang dipatok pemerintah kapan?

Sebenarnya permintaannya sesuai dengan jadwal awal, Maret atau April 2022, sudah diproduksi massal sehingga ini menjadi tekanan bagi kami. Tadi Direktur Utama PT Biotis (F.X. Sudirman) datang ke Surabaya. Saya tetap pegang bahwa Oktober akhir kami harus sudah uji klinis fase pertama. Kalau mundur lagi bisa meleset.

Kementerian Kesehatan menargetkan 70 persen populasi divaksin penuh pada Maret 2022. Bagaimana skenario pemanfaatan vaksin buatan Unair?

Vaksin ini kami kembangkan bukan hanya untuk first vaccine. Bisa juga digunakan sebagai booster. Atau juga bisa diekspor karena kita menjajaki di Afrika kan tidak semuanya mendapatkan vaksin. Indonesia anggota Covax, di situ nanti kita berpartisipasi.

Bagaimana kesiapan produksinya?

Produksinya di Biotis bisa 240-700 juta dosis per tahun. Desainnya seperti itu. Skalanya besar. Tinggal menambah fill and finishing sudah bisa sangat besar di Biotis. Itu yang dilihat bersama-sama dengan BPOM dan sebagainya.

Apa pertimbangan Unair memilih metode inactivated untuk pembuatan vaksin?

Unair awalnya memilih platform non-replicating adenovirus karena sebenarnya pengerjaannya cepat. Kami bisa mengeksplorasi gen mana saja yang diambil, kami pesan sintetisnya, kemudian dimasukkan ke plasmid. Dalam perjalanannya saya senang karena cepat. Dalam tiga minggu sudah luar biasa hasilnya. Ekspresi proteinnya juga terlihat bagus. Tapi, ketika kami lihat melalui sequencing, ternyata protein terbentuk bukan dari hasil semua gen yang dimasukkan itu. Karena gennya tidak masuk, sehingga bolong-bolong. Artinya, protein yang terbentuk tidak penuh dari protein spike (protein yang membentuk mahkota virus SARS-CoV-2 dan digunakan untuk menempel ke sel manusia). Maka nanti kalau menimbulkan antibodi pasti ndak baik, tidak mampu menetralisasi. Selama empat bulan kami kerjakan optimasinya. Lalu kami ujicobakan ke hewan ndak ada respons. Waktu itu masih eksplorasi, belum uji praklinis. Akhirnya kami beralih ke inactivated karena dituntut cepat diproduksi.

Bagaimana hasilnya?

Saat mereaksikan dengan metode western blotting (teknik untuk mengidentifikasi antibodi spesifik), itu yang adenovirus tidak bereaksi, tapi yang inactivated hasilnya bagus. Kedua, yield-nya tinggi sekali sehingga kami bisa mendesain vaksin dengan harga sangat murah.

Berapa perolehan bibit vaksin yang dihasilkan dari metode inaktivasi?

Sepuluh pangkat 13. Vaksin itu minimal 10 pangkat 5, misalnya.

Dengan yield setinggi itu, berapa harga vaksin jika diproduksi massal?

Sebenarnya kalau saya hitung riil hanya Rp 252. Dengan membangun GMP (good manufacturing practices) dan sebagainya, kami hitung minimal US$ 4 per dosis.

Apakah platform inactivated tidak masuk perencanaan Unair?

Sudah. Kami selalu ada plan A, plan B. Plan B kami kerjakan sendiri. Makanya (dana) tidak naik karena dana dari LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) sudah masuk ke riset adenovirus. Waktu itu dapatnya Rp 1,92 miliar.

Bagaimana Unair membiayai riset vaksin dengan metode inactivated ini?

Kami berdiskusi dengan Pak Rektor Unair (Mohammad Nasih), kata beliau, ya sudah kita biayai sendiri. Pernyataan Pak Rektor seperti itu melegakan sekali sehingga kami bisa berjuang terus dan bisa memimpin lebih cepat. Kami juga ada dukungan dari industri, Biotis.

Seperti apa komitmen Kementerian Kesehatan untuk mendukung uji klinis?

Kurang-lebih Rp 121 miliar atau Rp 111 miliar. Kalau saya hitung untuk 3.000 orang atau 5.000 orang dikalikan Rp 23 juta per orang. Itu kebutuhan kami untuk uji klinis.

Apa kendala yang bakal dihadapi dalam pelaksanaan uji klinis?

Yang jadi masalah memang perekrutan volunter. Kalau volunternya, misalnya, sudah divaksin semua, apakah vaksin kami bisa jadi vaksin booster?

Bagaimana mendapatkan responden untuk uji klinis mengingat cakupan vaksinasi Covid-19 makin luas?

Ya ndak apa-apa. Misalnya seseorang sudah diimunisasi sekian bulan dengan Sinovac, bisa di-booster. Tren antibodinya kan mesti turun. Waktu mau turun itulah kami booster. Jadi tergantung titer antibodinya.

Apakah ada opsi mencari sampel dari negara lain, misalnya di Afrika yang vaksinasinya masih sedikit?

Betul, memungkinkan. Kalau itu menurut saya untuk uji klinis fase ketiga. Sama seperti Sinovac, Sinopharm, AstraZeneca sebenarnya masih uji klinis fase ketiga. Kita tidak tahu saja, he-he-he.... Kita mau diimunisasi begitu saja.

Platform inactivated virus terbukti efektif dalam pembuatan vaksin Covid-19 tapi efikasinya paling rendah ketimbang metode lain. Bagaimana tanggapan Anda?

Efikasi vaksin bergantung pada, pertama, teknologinya. Kedua, dosisnya. Berapa konsentrasi virus yang diberikan. Kalau dosisnya rendah, ya titer antibodinya rendah. Kalau dosisnya tinggi, titernya juga tinggi. Jadi dosis sangat berpengaruh. Kalau dosisnya terlalu tinggi, terjadi hipersensitivitas. Itulah kenapa harus melalui beberapa uji praklinis.

Ketua tim peneliti Vaksin Merah Putih Universitas Airlangga, Fedik Abdul Rantam, menunjukkan virus Covid-19 yang diletakkan di dalam microplate di laboratorium Research for Vaccine Technology Development, Institute of Tropical Disease Universitas Airlangga, Surabaya, 22 September 2021. TEMPO/STR/Aris Novia Hidayat

Apakah Anda bisa menjamin vaksin inactivated bikinan Unair tetap efektif melawan Covid-19?

Teknologi baru belum ada lisensinya sama sekali. Kalau inaktivasi memang sudah banyak lisensi dan sudah established. Istilahnya well-known. Beberapa model vaksin dengan teknologi yang baru banyak didesain sebelumnya untuk vaksin kanker. Sekarang banting setir ke virus. Kami memilih inactivated karena, pertama, sudah berpengalaman. Kedua, kami berpegang pada empat imunogenik protein yang dimiliki oleh whole virus. Maka tidak ada efek negatif yang muncul di situ. Artinya, dalam tingkat netralisasi lebih kuat. Namun, sekali lagi, tergantung dosis.

Mengapa dosis sangat berpengaruh?

Kembali lagi soal ekonomi. Secara produksi sekian, saya jadikan dosis sekian, saya untung berapa. Kan, bisa dibuat seperti itu.

Dengan mempertimbangkan faktor keekonomian, berapa efikasi yang dirancang untuk vaksin Covid-19 buatan Unair?

Bukan hitungan ekonomi. Tapi efikasi harapan kami ya 70 persen ke atas. Karena ada varian (virus), mungkin efikasinya turun. Tapi pernyataan saya ini belum established karena kami belum melakukan uji klinis.

Vaksin yang dikembangkan Unair dan Biotis kini menjadi harapan pemerintah untuk produksi vaksin dalam negeri. Bagaimana Anda mengkompromikan antara tekanan pemerintah yang ingin vaksin cepat diproduksi dan prosedur pembuatan yang ketat?

Kami selalu mengikut standar BPOM dan WHO (Badan Kesehatan Dunia). Misalnya penggunaan hewan coba itu kami menggunakan dalam jumlah yang sesuai dengan aturan WHO. BPOM memberi panduan dan kami ikuti dengan jadwal yang sangat ketat. Para peneliti di Biotis sampai meler-meler. Pulang dari laboratorium jam 01.00, 02.00, atau 04.00. Saya push karena metode ini harus diikuti prosesnya, tapi minta waktu singkat.

Apa motivasi personal Anda untuk mengembangkan vaksin Merah Putih?

Saya selalu mengaplikasikan imajinasi, logika, dan komitmen. Saya menggambarkan penyakit ini, kalau kita tidak mencoba mengembangkan teknologi itu, maka tidak ada orang yang mencoba dan kita tidak pernah bisa. Kita bisa melakukan itu dengan menghitung secara logika, matematika, bisa atau tidak. Kebetulan saya terbiasa mengisolasi virus. Memang bidang saya di virologi dan ilmu kekebalan atau imunologi. Dan kami mencoba berkomitmen dengan time schedule itu. Awalnya banyak orang yang mempertanyakan. “Untuk apa? Itu bahaya. Gendheng (gila) Fedik itu, kok masih ke laboratorium sendiri.” Saya baru mulai kerja (di laboratorium) jam empat sore. Paginya kan saya di dekanat, jadi tak banyak waktu. Sampai jam sembilan malam saya baru pulang dari laboratorium.

Siapa yang menganggap Anda gila karena berkutat dengan virus corona di laboratorium?

Orang-orang yang mungkin tidak tahu virus. Wong menyebabkan orang mati kok saya malah kerja utak-atik dengan virus, he-he-he.... Banyak orang, ya termasuk dosen-dosen itu. “Ini gila orang ini.” He-he-he....

Bagaimana respons keluarga?

Istri saya juga demikian. Adik saya bilang, jangan tidur dengan Pak Fedik. Disuruh pisah ranjang gara-gara virus ini, katanya nanti bisa terkontaminasi, he-he-he.... Tapi semangat kami di situ adalah kami punya teknologinya.


FEDIK ABDUL RANTAM | Tempat dan tanggal lahir: Lamongan, Jawa Timur, 3 Oktober 1960 | Pendidikan: Sarjana Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya (1984); Dokter Hewan dari Universitas Airlangga (1985); S-2 Virologi dan Imunologi di Freie Universitaet Berlin, Jerman (1994); S-3 Virologi dan Imunologi Molekuler dan Seluler di Freie Universitaet Berlin (1997); Postdoktoral bidang Rekayasa Genetika pada Penyakit Menular di Robert-Koch Institut, Berlin (2000); Postdoktoral bidang Virologi dan Imunologi Molekuler di South East Poultry Research Laboratory, Georgia University, Amerika Serikat (2008); Guru Besar Virologi dan Imunologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga | Karier: Dewan Penasihat Penelitian dan Pengembangan Sel Punca Universitas Airlangga, Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo; Ketua Riset dan Teknologi Pusat Kedokteran Regeneratif dan Stem Cell Surabaya; Dosen Program Sarjana dan Pascasarjana Universitas Airlangga; Wakil Presiden Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia; Ketua Pusat Penelitian dan Pencegahan Penyakit Airlangga dan Koordinator One Health Collaborating Center Universitas Airlangga; Anggota Konsorsium Pengembangan Vaksin Dengue Nasional (sejak 2012); Pakar Sel Punca di Rumah Sakit Penyakit Tropik dan Infeksi Universitas Airlangga (sejak 2012); Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga (sejak 2017); Sekretaris Lembaga Penyakit Tropis Universitas Airlangga

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus