Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Masyarakat adat Moi di Sorong masih menggantungkan hidup dari hutan.
Trauma dengan kehadiran perusahaan kebun kepala sawit.
Merasa terancam oleh Undang-Undang Cipta Kerja.
KEDATANGAN dua pegawai Pemerintah Kabupaten Sorong di Papua Barat membetot perhatian Oktovina Malagilik, 37 tahun, dan Agustinus Malagilik alias Gusti, 7 tahun, Maret 2020. Kedua pria itu sedang menginspeksi keberadaan tanah ulayat marga Malagilik dari suku Moi di Distrik Klamono yang diklaim sebagai lahan perkebunan kelapa sawit PT Sorong Agro Sawitindo.
“Mama, kenapa dua kakak tadi ke sini?”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Mereka tanya tanah kita masuk peta sawit perusahaan atau tidak.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jangan sawit, Mama. Nanti Gusti tidak bisa dengar suara burung. Hutan juga tidak ada langsat dan cempedak kayak di tempat Tete (Nenek).”
Sang kakek, Salmon Malagilik, 58 tahun, datang dan menyela percakapan antara tante dan keponakan itu. Salmon menyampaikan kasak-kusuk di antara kerabat mengatakan tanah ulayat suku Moi marga Malagilik yang terbentang dari Distrik Klamono hingga Distrik Segun selama ini diklaim sebagai lahan konsesi kebun sawit. Jaraknya mencapai 20-an kilometer.
Kabar ini dipastikan lewat kehadiran dua petugas. Oktovina terkejut. “Orang perusahaan sama sekali tidak tatap muka ataupun membuat kesepakatan dengan kami,” katanya kepada Tempo, Selasa, 28 September lalu.
Sebulan setelah inspeksi kedua petugas, marga Malagilik akhirnya bernapas lega. Bupati Sorong Johny Kamuru mencabut izin usaha perkebunan (IUP) PT Sorong Agro Sawitindo dan enam perusahaan lain setelah menerima rekomendasi tim evaluasi Tata Kelola Perkebunan Kelapa Sawit Provinsi Papua Barat dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Bupati Johny Kamuru mengatakan langkah tersebut ia tempuh demi keadilan. Menurut dia, selama ini perusahaan tidak punya iktikad baik. “Dia mau mencari untung sebesar-besarnya seperti bumi dan langit. Sementara masyarakat serendah bumi,” ucap Johny.
Pengacara PT Sorong Agro Sawitindo, Juhari, mengatakan kliennya belum pernah dipanggil soal izin tersebut. “Kami juga sudah mengurus izin-izin, namun karena ada instruksi presiden soal moratorium sawit, prosesnya jadi terhenti,” ujarnya.
Pemerintah memberi izin lokasi dan usaha perkebunan kepada PT Sorong Agro Sawitindo pada 2013. Luasnya mencapai 40 ribu hektare. Selama itu pula lahan dibiarkan menganggur. Dokumen yang diperoleh Tempo menyebutkan PT Sorong Agro tak menunaikan kewajiban yang tertera dalam dokumen IUP, seperti mulai mengolah lahan paling lama dua tahun.
Pemerintah berencana mengembalikan pengelolaan lahan ke tangan adat. “Kami senang, Bapak Bupati mencabut izin usaha di ulayat kami. Ini satu pikiran dengan masyarakat adat. Mengembalikan hak adat ke setiap marga,” ujar Salmon Malagilik.
Setelah dihitung, 80 persen dari total lahan konsesi 40 ribu hektare PT Sorong Agro Sawitindo itu merupakan tanah ulayat Marga Malagilik. Salmon dan keluarganya juga tak nyaman karena punya pengalaman buruk dengan perusahaan sawit.
Istri Salmon bermarga Gisim, juga dari Sorong. Hutan ulayat marga Gisim habis dibabat untuk dijadikan kebun sawit. Keluarga istrinya menjadi petani plasma. Tapi semua kegiatan operasional kebun ditangani perusahaan. Mereka hanya menerima jatah Rp 700 ribu per bulan. “Di situ ada 12 marga yang kehilangan tanah ulayat,” ucap Salmon.
Salmon dan Oktovina berharap hutan adat akan terus ada. Mereka ingin Gusti tetap bisa mendengar suara kicau burung hutan dan memetik buah liar. “Jangan sampai hutan kami diambil perusahaan sawit,” kata Oktovina.
Guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, Salmon, Oktovina, dan warga kampung berburu ke hutan. Mereka berjalan berjam-jam menyusuri lebatnya pepohonan untuk menebang sagu dan memetik pisang. “Berangkat pagi, tiba di sana tengah hari atau sore,” tutur Salmon.
Hutan memberi mereka buah-buahan seperti langsat dan cempedak. Salmon biasanya mencari kayu merbau untuk dijual. Harganya mencapai Rp 700 ribu per meter kubik. Uang hasil penjualan digunakan untuk biaya sekolah anak dan cucunya.
Mereka setidaknya satu kali dalam sebulan berburu ke hutan. Hasil buruan terkadang dijual. Seekor rusa dijual dengan harga Rp 8 juta. Adapun babi hutan biasanya dihargai Rp 1-2 juta. “Kami pasang 10 jeratan, kadang dapat dua babi, kadang cuma satu. Kalau beruntung dapat rusa,” ujarnya.
Mereka juga mengambil rotan untuk mengikat rumah. Sebagai alas tidur dan penutup badan saat hujan, mereka menggunakan daun pandan. “Jangan sampai ini semua nanti tinggal cerita,” tutur Oktovina.
•••
KEPALA Dewan Adat Moi Kabupaten Sorong, Mathius Yempolo, turut khawatir atas kehadiran perusahaan perkebunan sawit. Ia mengaku mengalami trauma. Hutan adat milik keluarga istrinya juga habis ditanami sawit. “Katanya dijanjikan mau dikasih rumah dan mobil, tapi sampai sekarang tidak ada,” kata pria yang berasal dari marga Moi Fadan itu.
Padahal kehidupan keluarganya masih bergantung pada hutan. “Kami masih berburu, tanam pisang dan rica, ambil sagu, semua dari hutan,” ujarnya.
Ia juga mengambil batu kerikil dan pasir di sekitar tanah ulayat lalu dijual. “Saya bisa beli mobil dengan jual batu, bukan dari sawit yang cuma janji palsu,” ucap Mathius.
Sebenarnya, baik keluarga Mathius maupun keluarga Salmon Malagilik tak sepenuhnya menolak perusahaan sawit. “Kami juga ingin maju, tapi perusahaan harus ajak kami bicara,” tutur Salmon.
Mathius mengajukan syarat. Perusahaan yang nanti masuk ke Sorong harus memperhatikan hutan dan lingkungan supaya tidak dibabat habis untuk diwariskan kepada generasi masa depan. “Tanah adat tidak boleh dirusak, nanti alam marah,” tutur Mathius.
Bupati Sorong Johny Kamuru berharap perusahaan sawit yang ingin berinvestasi memperhatikan alam dan lingkungan. “Kami tidak anti-investasi. Tapi harus investasi yang tidak mengorbankan hak masyarakat atas ulayatnya. Perusahaan untung, masyarakat untung, jadinya seimbang,” ujar keturunan suku Moi marga Salkma ini.
Dia mewanti-wanti agar perusahaan sawit yang masuk nanti tak merusak rimba dan segala macam isinya. “Karena orang Papua, kan, semua kehidupannya masih betul-betul tergantung pada hutan,” katanya.
Ia pun memastikan investasi yang masuk harus sepengetahuan masyarakat adat. Dia mengutip pesan Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan bahwa kepala daerah harus mencari investasi yang ramah terhadap lingkungan dan masyarakat sesuai dengan visi sebagai provinsi konservasi.
Namun Johny masih harap-harap cemas. Ia mengatakan keinginan orang Papua Barat bertentangan dengan sikap pemerintah pusat yang mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020. Ekspansi perusahaan kebun sawit masih akan terus ada di Papua. “Undang-undang Cipta Kerja terkesan mendorong investasi, termasuk pengadaan lahan. Tapi, jangan lupa, tanah di Papua beda,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo