Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pencabutan izin bermula dari evaluasi 24 perusahaan kelapa sawit di Papua Barat.
Meski sudah mengantongi izin selama belasan tahun, hampir semuanya tak kunjung menanam sawit.
Perusahaan melawan meski pencabutan sesuai norma undang-undang.
PENGADILAN Tata Usaha Negara Jayapura kembali menggelar sidang gugatan PT Sorong Agro Sawitindo dan PT Papua Lestari Abadi pada Selasa, 28 September lalu, secara daring. Hari itu, majelis hakim menerima jawaban dua perusahaan atas pernyataan Bupati Sorong Johny Kamuru soal pencabutan izin perkebunan kelapa sawit yang dibacakan pada sidang pekan sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perwakilan dua perusahaan itu menganggap alasan Bupati mencabut konsesi kebun kelapa sawit tersebut sumir. Pada 21 April lalu, Bupati Johny Kamuru mencabut izin lokasi, izin lingkungan, dan izin usaha perkebunan (IUP) tujuh perusahaan kelapa sawit di Sorong, Papua Barat. Di antaranya izin PT Sorong Agro yang berada di Distrik Segun dan izin PT Papua Lestari di Distrik Segun, Klawak, dan Klamono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuasa hukum Bupati Johny Kamuru, Pieter Ell, mengatakan timnya mendatangi kawasan yang semula “dikuasai” PT Sorong Agro dan PT Papua Lestari sebelum merespons keberatan dua perusahaan itu kepada hakim. “Kami terjun ke lapangan selama tiga hari ini untuk menyiapkan jawaban untuk para penggugat,” katanya pada Jumat, 1 Oktober lalu.
Bersama empat anggota kuasa hukum lain, Pieter menelisik keberadaan kedua perusahaan tersebut. Mereka juga mengumpulkan keterangan dari tim evaluasi serta masyarakat. Sebab, dalam dalil gugatan, PT Sawit Agro dan PT Papua Lestari mengklaim belum menerima peringatan dari pemerintah daerah sebelum pencabutan izin.
Pencabutan izin tujuh perusahaan itu bukan ujug-ujug terjadi. Pemerintah Provinsi Papua Barat dan beberapa kabupaten, bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, membentuk tim evaluasi perbaikan tata kelola perkebunan sawit yang berada di kawasan kepala burung Cenderawasih itu sejak dua tahun lalu.
Baru pada Februari lalu tim menyampaikan hasil evaluasi. Tim menemukan belasan izin perusahaan sawit bermasalah. Tujuh di antaranya berada di Sorong. Lahannya telantar dan tak ada tanda-tanda perusahaan akan menanam sawit di hutan primer itu. Menindaklanjuti temuan ini, Bupati Johny Kamuru membentuk tim evaluasi kebun sawit. “Isinya para kepala dinas dan ahli,” tutur Johny kepada Tempo.
Luas konsesi kebun sawit di Kabupaten Sorong mencapai 213.500 hektare. Namun hanya 37.500 hektare milik tiga perusahaan yang sudah berstatus hak guna usaha. Tapi mereka tak menanami sawit di seluruh lahannya. Malah sekitar 98.900 hektare, atau sebagian besar lahan konsesi, belum tersentuh konversi hutan. Tim bahkan menemukan sebagian wilayah konsesi berada di tanah ulayat suku Moi, salah satu suku terbesar di Sorong.
Jalan Gunung Tidar Koata Sorong yang disebut sebagai alamat kantor PT Sorong Agro Sawitindo dan PT Papua Lestari Abadi. Namun masyarakat sekitar tidak mengetahui lokasi perusahaan itu. TEMPO/Linda Trianita
Saat mengevaluasi semua izin perkebunan kelapa sawit itu, tim bentukan Johny memanggil perwakilan semua perusahaan. Mereka diminta mengklarifikasi dan menyerahkan data terbaru. Tapi pemanggilan PT Sorong Agro Sawitindo dan PT Papua Lestari Abadi terhambat karena tidak memiliki kantor perwakilan di Sorong. Tim juga tak menemukan alamat kantor dua perusahaan ini di Kota Sorong, seperti yang tertera di kop surat perusahaan.
Bermodalkan tahap evaluasi ini, Bupati Johny meyakini pencabutan izin empat perusahaan sudah memenuhi prosedur. “Momentum membela masyarakat hanya di sini,” ujarnya. “Maka lahirlah pencabutan izin empat perusahaan.”
Tim evaluasi juga menemukan perusahaan-perusahaan itu sama sekali belum beraktivitas, meski sudah mengantongi IUP puluhan hingga belasan tahun lalu. PT Papua Lestari, misalnya, tak kunjung memiliki izin pemanfaatan kayu sebagai syarat pembukaan lahan sejak mengantongi IUP pada 2013.
Mereka juga belum memiliki hak guna usaha. Padahal salah satu poin dalam IUP mensyaratkan PT Papua Lestari sudah beroperasi setelah dua tahun menerima izin. Salah satu dampak penelantaran lahan itu, perusahaan tidak memberdayakan masyarakat dengan merekrut pekerja lokal dan membangun kebun plasma.
Kondisi yang sama juga terjadi di PT Sorong Agro Sawitindo. Perusahaan tak menunjukkan tanda-tanda akan berkebun meski sudah mengantongi IUP sejak 2013. Menurut Johny Kamuru, timnya menemukan data bahwa direktur utama kedua perusahaan dijabat orang yang sama.
Alamat kantornya juga sama. Dua perusahaan ini disinyalir berada di bawah satu grup perusahaan. Mereka diduga melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli.
Perusahaan lain yang dicabut izinnya adalah PT Inti Kebun Lestari. Perusahaan ini sudah memiliki izin lokasi pada 2006 dan sempat memperpanjang izinnya pada 2016. Mereka memiliki tiga IUP yang terbit pada 2008, 2010, dan 2014.
PT Inti Kebun juga mengantongi Surat Keputusan Pelepasan Kawasan Hutan pada 2012. Bahkan perusahaan ini punya izin pemanfaatan kayu pada 2017 dan 2018.
Meski mengantongi banyak izin, seperti temuan tim evaluasi, bukti-bukti lapangan menunjukkan perusahaan tak mematuhi kewajiban mereka, seperti tertuang dalam IUP. PT Inti Karya Lestari tak mematuhi kewajiban seperti yang tertera dalam IUP. Perusahaan juga tidak melaporkan perubahan kepemilikan saham dan kepengurusan.
Tim evaluasi Kabupaten Sorong juga menemukan beberapa kejanggalan dalam penerbitan izin lokasi. Bupati Sorong menerbitkan izin pada 2016 untuk 34.400 hektare. Sementara itu, izin lama hanya 14.377 hektare. Temuan tim evaluasi lain adalah perusahaan sawit menebang kayu tanpa melewati prosedur.
Perpanjangan izin lokasi pada 2020 pun masa berlakunya 3 tahun, bukan 1 tahun seperti dalam aturan. “Perpanjangan izin lokasi tanpa disertai perolehan lahan 50 persen terlebih,” ujar Johny.
PT Inti Karya Lestari turut menggugat Bupati Sorong itu. Kuasa hukum perusahaan, Hotman Sitorus, tak merespons pertanyaan Tempo hingga Sabtu, 2 Oktober lalu. Salah seorang anggota tim Hotman, Maruahal Efendi, mengatakan sudah menyampaikan permintaan konfirmasi kepada koleganya itu. “Sudah saya forward ke Pak Hotman,” ujar Maruahal.
Tempo juga mengirimkan surat permintaan wawancara ke kantor PT Inti Karya Lestari di Gedung Sahid Sudirman Center lantai 22, Jakarta Pusat. Namun surat itu tak kunjung berbalas hingga akhir pekan lalu.
Kuasa hukum PT Sorong Agro Sawitindo dan PT Papua Lestari Abadi, Juhari, mengatakan kliennya mempersoalkan pencabutan izin karena tak mendapat peringatan dari Pemerintah Kabupaten Sorong. Apalagi, ujar dia, Undang-Undang Cipta Kerja yang berlaku pada 2020 menyatakan perusahaan yang melanggar diberi kesempatan memperbaiki kinerja mereka selama dua tahun sebelum pemerintah mencabut izinnya.
Kampung Tarsa Distrik Konhir yang tanah ulayat warganya masuk areal konsesi perusahaan sawit yang kini dicabut oleh Bupati Sorong, 29 September 2021. TEMPO/ Linda Trianita
Ihwal kantor kliennya yang tak ditemukan, Juhari menyebutkan kedua perusahaan beralamat di Jalan Semeru, Kota Sorong. “Kami sama sekali belum pernah dipanggil. Kami juga sudah mengurus izin-izin, namun karena ada instruksi presiden soal moratorium sawit, prosesnya jadi terhenti,” kata Juhari.
Bupati Sorong Johny Kamuru mengatakan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja seharusnya tidak berlaku surut. Menurut dia, pemerintah pusat harus melindungi masyarakat adat dan hutan Papua lewat peraturan pemerintah yang kini sedang digodok sebagai turunan Undang-Undang Otonomi Khusus hasil revisi terbaru.
Ia ingin masyarakat Papua hidup lebih baik. Rencananya, lahan yang izinnya dicabut tersebut akan diserahkan kepada masyarakat adat. “Bagaimana mengelola investasi dan segala macamnya, masyarakat adat harus tetap diajak bicara,” ujar Johny.
•••
SEMUA bupati dan wali kota Papua Barat mendatangi kantor gubernur di Manokwari pada 25 Februari lalu. Tim Evaluasi Tata Kelola Perkebunan Kelapa Sawit Provinsi Papua Barat, didampingi perwakilan Komisi Pemberantasan Korupsi, hendak menyampaikan laporan kerja sejak dibentuk pertama kali pada Juli 2018.
Di pengujung acara, Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan dan semua kepala daerah menyampaikan komitmen menindaklanjuti hasil laporan evaluasi. “Setelah pertemuan Manokwari, hasil evaluasi diserahkan kepada masing-masing bupati dan wali kota,” tutur Kepala Bidang Perkebunan Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Papua Barat Benidiktus Hery Wijayanto, Sabtu, 18 September lalu.
Aturan yang mendasari tim evaluasi adalah Deklarasi Manokwari yang dicetuskan pada 2018, Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan Sawit (Inpres Moratorium Sawit), dan kajian Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) yang berisi para ahli kehutanan dan lembaga swadaya masyarakat bentukan KPK.
Mereka mengevaluasi 24 perusahaan sawit yang menguasai 576 ribu hektare lahan. Secara umum, hasil evaluasi memasukkan semua perusahaan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama berisi 13 perusahaan yang belum melengkapi perizinan perkebunan dan belum menanam kelapa sawit. Kelompok kedua dihuni 11 perusahaan yang sudah memiliki hak guna usaha dan/atau telah menanam sawit.
Dari hasil verifikasi ke perusahaan, tiga korporasi yang memiliki 68.400 hektare lahan menyatakan tidak akan meneruskan izin perkebunan. Tim pun merekomendasikan agar Bupati Sorong mencabut izin 13 perusahaan. Total luas lahan sawit 13 perusahaan ini 243.200 hektare. Sebanyak 70 persen lahan perusahaan-perusahaan ini masih berupa hutan.
Hampir semua perusahaan sawit di Sorong belum menanam komoditas unggulan Indonesia ini. Mereka juga belum mengurus hak guna usaha. Dokumen ini penting sebagai alas kegiatan operasional perkebunan sawit. Beberapa perusahaan malah menggunakan izin usaha perkebunannya sebagai jaminan mendapatkan kredit dari bank.
Meski tiga perusahaan menggugat Bupati Sorong, pegawai Kedeputian Pencegahan KPK, Dian Patria, mengatakan pencabutan izin terhadap perusahaan sawit di Papua Barat relatif lancar. “Kami terus memantau,” ucap Dian. “Ini pelanggarannya sudah jelas. Bupati punya kewenangan, sebagai pemberi izin, jadi bisa mencabutnya,” tutur Dian.
Dian mengatakan tugas tim evaluasi belum selesai. Area lahan yang izinnya sudah dicabut akan dikembalikan kepada masyarakat adat sebagai tanah ulayat. Ia meyakini, secara de facto dan de jure, tiap sentimeter tanah di Papua ada pemiliknya. “Kami berharap ada skema yang dikerjakan pemerintah pusat ataupun provinsi bahwa area-area ini pemanfaatannya sepenuhnya untuk masyarakat adat,” ucapnya.
Untuk memetakan wilayah adat, tim evaluasi turut disokong Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa). Pemetaan baru selesai di Kabupaten Sorong. Chief Executive Officer EcoNusa Bustar Maitar mengatakan ada 600-an marga adat di Kabupaten Sorong. Semuanya mengklaim memiliki tanah ulayat.
Dari informasi di lapangan, kata Bustar, masyarakat adat Papua Barat tak terlalu menginginkan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Mereka hanya berharap ada pembangunan infrastruktur, seperti jalan dan penerangan, di kampung masing-masing. “Mereka menerima perusahaan sawit, karena perusahaan menjanjikan membangun jalan,” tuturnya.
Dengan bukti perusahaan-perusahaan itu belum beraktivitas di area konsesi sawit mereka, masyarakat adat pun berbalik mendukung keputusan Bupati Sorong Johny Kamuru mencabut konsesi-konsesi perkebunan kelapa sawit yang telantar ini. Menurut mereka, sudah saatnya masyarakat adat membangun wilayah ulayat mereka sendiri tanpa campur tangan perusahaan kelapa sawit.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo