Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perusahaan raksasa minyak kelapa sawit Indonesia, PT Eagle High Plantation, melepas 30 persen sahamnya senilai US$ 632 juta dan tukar saham Eagle 7 persen dengan 2.6 persen saham PT Felda Global Ventures atau sekitar Rp 4,8 triliun, industri pelat merah Malaysia, bulan lalu. Kendati mendapat untung berupa alih teknologi produksi, kebijakan PT Eagle menuai perhatian karena penjualannya cukup murah dan dilakukan di tengah turunnya harga minyak sawit dunia.
Inilah aksi baru Peter Sondakh, Chief Executive Officer PT Rajawali Corporation, yang terkenal dengan "kenekatan"-nya dalam dunia bisnis. Sejak pertengahan 1990-an, Peter berada di balik jual-beli perusahaan-perusahaan raksasa. Ia, misalnya, menjual perusahaan rokok—Bentoel—kepada British American Tobacco pada medio 2009. Padahal perusahaan itu sudah disembuhkan Peter dari lilitan utang US$ 700 juta sejak 1992.
Aksi yang sama dilakukan pria yang kini berusia 61 tahun itu pada anak-anak usahanya yang lain. Sebut saja Excelcomindo (XL), Semen Gresik, dan Rajawali Citra Televisi (RCTI). Meski begitu, bisnis Peter bukannya menyusut. Ia tetap berkibar dengan berbagai usahanya: dari properti, taksi, sampai televisi. Tak aneh, ia dinyatakan sebagai orang paling tajir keenam di Indonesia, dengan kekayaan Rp 29,9 triliun, versi majalah Forbes tahun ini.
Mengenakan setelan safari gelap dan menenteng BlackBerry jadul, Peter menerima wartawan Tempo Tomi Aryanto, Retno Sulistyowati, Isma Savitri, Ali Hidayat, dan fotografer Aditia Noviansyah di ruang kerjanya di Menara Rajawali, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa sore dua pekan lalu.
Selama lebih dari satu jam, Peter Sondakh bertutur tentang penjualan perusahaan minyak kelapa sawit hingga perkembangan segudang bisnisnya. Kendati terlihat santai dan kerap mengurai tawa selama wawancara, bos stasiun televisi RTV ini mengaku deg-degan. "Terakhir saya diwawancarai itu 1991. Sudah 24 tahun lalu, lho...."
Kenapa Anda akhirnya melepas sebagian saham Eagle High Plantation ke Felda Global Ventures (FGV)?
Selama ini, produk unggulan kita mentah semua, tanpa ada nilai tambah. Coba lihat Thailand, yang mengekspor suku cadang mobil ke banyak negara, sementara Singapura menyuplai komponen elektronik, dan Malaysia memproduksi cip telepon seluler yang nilai ekspornya US$ 24 miliar. Kita apa?
Dari produksi minyak mentah kelapa sawit dunia sebesar 65 juta ton, 55 juta ton dikuasai Malaysia dan Indonesia. Indonesia menguasai 33-35 juta ton, sisanya Malaysia. Saya bekerja sama dengan FGV karena mereka kuat di downstream, seperti oleochemical dan fatty acid. Saya juga berbicara soal end user. FGV itu mau masuk Indonesia kalau di sini ada industri oleokimia (bahan baku dari minyak kelapa sawit).
Cita-cita saya adalah menjadikan Indonesia bagian dari global supply change untuk oleokimia. Saya ingin Indonesia jago biodiesel dan fatty acid, maka saya setuju melepas sebagian saham ke FGV. Tapi kami juga mendapat transfer teknologi ke sini. Sejumlah 4 juta dari 9 juta hektarlahan sawit di Indonesia itu dimiliki petani. Kalau diandaikan seorang petani punya 2 hektare lahan, berarti ada 2 juta keluarga yang hidup dari sawit. Sayangnya, mereka ini tidak punya pabrik kelapa sawit. Nah, nantinya, kami mau mendekat ke petani. Jadi ini ada idealismenya.
Berapa dan apa saja yang didapat Eagle dari FGV dari divestasi ini?
Dengan uang tunai dan sekitar 2,6 persen saham mereka, itu akan kami pakai untuk memperkuat modal perusahaan. Kalau bisnis oleochemical berkembang, kan, kami perlu modal lagi. Nantinya, kalau ada duit lagi, kami beli lagilah di pasar. Kan, cita-cita saya punya saham di sana lebih dari itu. Tapi itu bertahap. Yang penting kan mulai ada kakinya dulu, lalu perlahan bertambah.
Mengapa FGV yang akhirnya digandeng?
Karena FGV beroperasi di 13 negara, terbesar di Malaysia, dan kuat di bidang oleokimia. FGV sejak dulu mencari cara masuk ke Indonesia untuk memperluas perkebunannya. Di Malaysia, mereka sudah mentok, terakhir beli tanah cuma mendapat 8.000 hektare. Rata-rata usia perkebunan mereka di atas 20 tahun, sementara pada 25 tahun harus menanam ulang. Ongkos produksi mereka lebih tinggi daripada kita, jadi wajar kalau FGV masuk ke Indonesia.
Sedangkan saya punya cita-cita Indonesia menjadi global supply change untuk oleokimia. Kalau saya sendirian, kan, kemampuan terbatas? Dengan modal bersama, usaha ini akan lebih cepat besar. FGV sendiri punya sumber pendanaan yang besar.
Kapan pembicaraan dengan FGV mulai berlangsung?
Sejak lima bulan lalu, awal tahun ini.
Sejumlah media Malaysia menyebutkan transaksi ini mulus karena Anda dekat dengan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak...
Saya kenal dengan Perdana Menteri Malaysia itu benar. Berteman dengannya juga benar. Cuma, hal ini tidak ada hubungannya dengan beliau sama sekali. Beliau kan perdana menteri, masak ngurusi bisnis? Saya selama transaksi ini bertemu dengan beliau cuma sekali, dan sama sekali tidak terlibat pembicaraan harga atau apa pun.
Ini jeleknya media online. Mulusnya transaksi ini dianggap karena saya kenal dengan Perdana Menteri Malaysia. Salah satu penulis blog juga menyebutkan kami membeli properti di Malaysia. Padahal kami beli itu berdasarkan tender internasional. Juga soal proyek di Langkawi, yang minoritasnya kami, sedangkan mayoritasnya Kementerian Keuangan Malaysia. Pada waktu itu, kami diminta membangun karena dianggap berpengalaman, sementara mereka mengejar Asian Summit. Proyek itu selesai dalam 15 bulan.
Ada yang mengatakan nilai saham yang Anda lepas ke FGV terlalu murah...
Di Malaysia, ini dikatakan terlalu mahal, tapi kalau kata teman-teman sih ini harga murah. Sebab, mungkin, di Malaysia segi politiknya lain, ya. Bukan urusan saya itu, biarin sajalah. Kalau disebut terlalu mahal, pertanyaan saya, adakah yang jual? Kebun sawit itu sekarang barang langka.
Apakah Anda sengaja melepas kebun ini ketika harga minyak mentah kelapa sawit dunia sedang jatuh?
Saya melihatnya untuk jangka panjang. Kita punya lahan 425 ribu hektare, dengan yang tertanam sawit 152 ribu hektare. Itu kita masih perlu terus menanam dan bikin industri oleokimia. Sebab, kalau lahan sudah lebih dari 100 ribu hektare, produksinya sudah mencapai 0,5 juta ton CPO, itu perlu ke downstream. Tapi kita enggak punya teknologinya, sementara mereka punya.
Kenapa tidak dengan Wilmar Group?
Wilmar kan besar dalam trading. Dalam oleokimia, mereka enggak besar.
Mereka membangun pabrik baru yang besar di Gresik untuk biodiesel...
Saya enggak tahu.
Anda pernah berbisnis rokok, semen, juga operator telepon. Sebenarnya apa bisnis inti Anda?
Core kami menambah nilai. Kami kan punya sejarah menyehatkan perusahaan. Misalnya di Bentoel, yang pada 1992 utangnya mencapai US$ 700 juta, padahal asetnya hanya US$ 350 juta. Awal masuk Bentoel, ada 21 hal yang mesti saya teliti. Kan, saya enggak ngerti rokok. Tapi saya ingat pesan pemerintah waktu itu, "Apakah you harus jadi seorang dokter untuk bisa memiliki rumah sakit?" Saya jawab tidak. Ya sudah, saya kerjakan saja. Dengan ketekunan dan kesungguhan, pada 24 Maret 1997 atau sebelum terjadi krisis moneter, kami berhasil membayar lunas semua utang di bank asing. Di Bentoel juga tidak ada pemutusan hubungan kerja, maka itu dianggap sebagai contoh restrukturisasi yang memperhatikan aspek sosial-ekonomi bangsa Indonesia.
Kalau sekarang, core bisnis kami adalah properti, pertambangan, perkebunan, media, dan ada satu lagi yang sedang kami kembangkan. Policy kami, bisnis yang kecil-kecil akan dilepas, karena butuh waktu banyak mengurusnya, padahal mencari tenaga susah. Saya sendiri sudah tua, 61 tahun.
Kami juga menjalankan private equity, jual-beli perusahaan. Seperti saat kami membeli Semen Gresik. Banyak orang mempertanyakan, kok, kami berani banget jadi partner minoritas badan usaha milik negara. Saya bilang, mungkin swasta Indonesia yang pertama kali bekerja sama dengan BUMN dan berhasil itu kami. Mungkin lho, ya.
Sejak kepemimpinan Soeharto hingga sekarang, Anda tetap eksis, bahkan makin besar. Bagaimana Anda merasakan perubahan rezim dari waktu ke waktu?
Ada bedanya. Karena zaman dulu kepastian lebih jelas, ya, kita harus navigasi. Kalau Anda tanya bagaimana kiatnya, sejujurnya saya enggak tahu, karena saya hanya berdoa. Saya hanya mengharapkan hikmat dari Atas, karena untuk bermanuver dalam keadaan begini memang enggak ada ilmunya.
Seperti ketika kami membuat Semen Tonasa, Semen Padang, dan Semen Gresik kembali mesra. Saya lalu ditanya orang, bagaimana caranya dalam tiga bulan bisa membereskan persoalan di dalam. Ketika itu, saya mendatangi mereka satu per satu, tanya masalahnya, kemudian menyelesaikannya. Saya juga mengajak direksi dan komisarisnya makan bareng untuk membicarakan pembagian pemasarannya.
Banyak pebisnis kita yang memilih pergi dari Indonesia karena putus asa setelah Orde Baru "jatuh". Anda pernah terpikir mengambil keputusan serupa?
Sejujurnya pernah. Saya pernah tinggal di Amerika Serikat pada 1999, tapi cuma kuat 3 bulan 2 minggu. Ndak kuat. Mendengar lagu "Tanah airku Indonesia…", saya nangis. Enggak tahan saya. Saya mau mati di sini. Saya orang Indonesia dan saya akan berbakti untuk negara ini sampai saya mati (terdiam dan sedikit terisak).
Apa yang membuat Anda selalu ingin kembali ke Indonesia?
Saya lahir di sini, dan ini tanah air saya. Kalau saya tidak bisa mengembalikan sesuatu, enggak tahu diri namanya.
Anda melepas XL dan Semen Gresik ketika performa keduanya sedang bagus...
Untuk XL, ketika itu saya lihat pendapatan rata-rata dari pengguna turun terus dari US$ 60 menjadi US$ 12. Saya ketakutan. Saya sadar, bisnis telepon adalah bisnis komoditas. Selama di XL, saya enggak pernah menikmati gaji, apalagi dividen. Semua uang dikembalikan ke belanja modal, dan capex-nya telepon itu mahal sekali.
Coba sekarang, operator telepon mana yang sukses? Telkomsel itu milik pemerintah Indonesia dengan Singapura. Kedua, XL, milik pemerintah Malaysia dan Abu Dhabi. Sedangkan Indosat dimiliki Qatar. Enggak ada pemain swasta di sini, karena memang ini bukan bisnis untuk swasta.
Tapi yang ketika itu membuat XL berbeda adalah sistem bayar pulsa di muka. Saya ini kan orang yang enggak bersekolah. Ketika itu, saya tanya ke pegawai bidang pemasaran, bagaimana cara menagih pulsa telepon. Dia jawab, kirim saja tagihan ke alamat rumahnya. Padahal ketika itu—tahun 1993—urusan kartu tanda penduduk masih enggak keruan. Makanya kami bikin sistem bayar di muka. Itu yang pertama di dunia. Sampai akhirnya basis penggunaan XL itu sampai hari ini 90 persennya dari pembayaran di muka.
Bagaimana dengan Semen Gresik?
Semen Gresik itu bagus saat jadi satu dengan kami. Dalam tiga tahun, EBITDA margin-nya naik dari 18 menjadi 37 persen atau US$ 350 juta. Itu karena saya punya filosofi sederhana sekali. Selama kita mau bekerja sama dan ngewongke atau menghargai orang lain, bisa kok. Namun saham kami hanya 24,9 persen dan sudah maximum value. Kami menganggap sudah tidak diperlukan lagi di situ, jadi mendingan saya berinvestasi ke lainnya.
Anda juga berbisnis properti, bukankah menguntungkan sekaligus berbisnis semen? Karena pebisnis properti kerap menuduh ada kartel semen...
Betul. Tapi, kalau ada yang menuduh begitu, kenapa tidak memainkan dua bisnis itu berbarengan? Toh, enggak dilarang. Kalau dibilang ada kartel, saya enggak yakin, karena bisnis ini bersaingnya mati-matian, kok. Selama di situ, saya enggak melihat ada kartel. Memang, bagi yang sudah eksis, jadi jauh lebih mudah karena sudah punya jaringan distribusi.
Dulu Anda jual RCTI, lalu sekarang bangun RTV. Apa yang membuat Anda kembali melirik bisnis media?
Passion saya adalah membuat media yang bertanggung jawab mendidik bangsa dan mengajarkan nilai-nilai baik. Banyak media saat ini kan isinya sensasi. Kebanyakan orang cenderung senang bad news. Sedangkan saya sedih mendengar bad news. Media itu sangat powerful, bisa mengubah bangsa dan pola pikir. Karena itu, saya minta teman-teman di RTV mengutamakan kalimat bijak. Memutar lagu kebangsaan, seperti Indonesia Raya, itu dikembangkan terus, agar mengingatkan kita pada asal mula.
Kompetisi media kian ketat. Bagaimana Anda menyiasati ini?
Buat saya, yang terpenting adalah pendidikan bangsa. Apakah saya jadi suara sumbang di bisnis televisi, enggak apa-apa. Saya bercita-cita, kalau mati, ingin meninggalkan sesuatu yang berarti untuk bangsa ini. Itu sesuai dengan pendapat yang hendak saya kembangkan bahwa semua ini soal kita, bukan mengenai aku. Saat ini semua orang pinginnya "aku, aku, aku, komersial, komersial, komersial" terus.
Bagaimana perkembangan proyek sawit di Papua?
Malaysia sudah mengalami tiga cycle masa kelapa sawit yang 25 tahunan, dengan hasil per hektarenya 3,5-4 ton minyak sawit. Kalau di Sumatera dan Kalimantan, hasilnya kurang-lebih 5 ton, karena sudah dua tanam ulang. Sedangkan di Papua hasil per hektarenya 7-8 ton, makanya kami berfokus ke Papua. Papua itu harta terpendam yang harus digali bersama anak bangsa. Kami sendiri di Papua sudah lama. Selama lima tahun kami kerja sosial dulu untuk mendapat kepercayaan rakyat Papua, misalnya dengan bikin sekolah di sana. Kayak orang pacaranlah. Kalau sudah kenal, kan, disayang.
Total berapa hektare lahan yang digarap di sana?
Di Keerom, lahan yang ditanami sekitar 14 ribu hektare. Sedangkan di Teminabuan, Sorong Selatan, tanah kami sekitar 60 ribu hektare sedang dalam tahap awal penanaman. Lalu di Merauke ada lahan perkebunan tebu 47 ribu hektare, yang terus kami tambah. Kami sudah sempat menanam tebu tapi gagal karena benihnya dimakan hama Papua Nugini.
Banyak bisnis mundur dari Papua karena terhantam sejumlah masalah. Bagaimana bisa bertahan di sana?
Kalau gampang, pesaingnya memang banyak. Kalau susah, pesaingnya sedikit. Kami harus tahan banting, tekun, dan mendekati masyarakat dengan rendah hati. Masalah baru timbul kalau kita merugikan orang lain. Kami enggak ada masalah di sana, karena kami enggak membohongi mereka.
Soal infrastrukturnya enggak ada masalah?
Keerom kan hanya dua jam dari Jayapura. Sedangkan Sorong dekat akses jalan, dan yang di Merauke dekat sungai. Memang masalah infrastruktur belum selesai di Papua. Itu sudah kami bicarakan dengan pemerintah. Tapi sebenarnya jawaban agrikultur Indonesia ada di Papua. Tanah di sana itu luar biasa subur. Memang susah dan jauh dari Jakarta. Karakter masyarakat di sana juga susah percaya. Tapi ini sama kayak suami-istri. Sampai akhirnya timbul kepercayaan kan butuh waktu, toh?
Jadi masih memungkinkan mengembangkan Merauke Food Estate di sana?
Betul. Sekarang kita jangan buru-buru menghakimi. Saya yakin, kalau kita dan pemerintah secara tulus bekerja sama, pasti jadi. Bentuk kerja sama dan hitung-hitungannya bagaimana, mari kita bicarakan. Kalau swasta yang bangun infrastruktur, oke. Saya siap.
Beberapa kebijakan tentang hitung-hitungan itu berujung pada kasus hukum. Bagaimana Anda melihat itu?
Kalau semuanya resmi, ya, enggak ada masalah. Makanya saya bilang ke teman-teman di kabinet, mereka kan pemerintah, mereka yang membuat peraturan. Kalau mau mengubah peraturan, kan, gampang. Sekarang kenapa sih enggak dibikin Papua Food Estate? Pilihlah 5-10 pengusaha yang punya pengalaman untuk sama-sama menyukseskannya.
Misalnya ke depan nanti ada perubahan yang besar sekali, apakah Anda yakin orang-orang yang sekarang ada di luar negeri akan kembali ke Indonesia?
Saya yakin teman-teman pengusaha, meskipun sudah keluar, akan kembali. Darah itu bicara. Apa pun suku, agama, rasnya, dia akan kembali. Ini negara kita, kok. Mari kita perbaiki bersama-sama.
Sekarang ada sunset policy terbatas, dengan harapan uang yang ada di luar negeri bisa kembali. Seberapa besar peluang itu bisa terjadi?
Kalau zaman Presiden Soeharto berhasil, sekarang juga pasti bisa. Asalkan uangnya dikembalikan ke Indonesia dan didepositokan ke bank tanpa ditanyakan asal-usulnya. Kalau orang memindahkan uangnya ke luar negeri, jeleknya tuh menghilangkan uang dari sirkulasi. Padahal, kalau masuk sirkulasi, itu bisa jadi gerakan keuangan yang luar biasa.
Apakah insentif yang diberikan pemerintah kurang?
Kalau sekarang, menurut saya kurang. Aturan perpajakannya kan lagi dibahas sekarang, cuma saya enggak tahu bagaimana.
Saat ini, semua pengusaha sektor apa pun mengeluh. Anda sendiri tadi bilang soal adanya ketidakpastian...
Kadar ekonomi kita yang sekarang ini saya lihat dari dulu memang akan terjadi. Sebab, kita sifatnya konsumtif. Dan apa yang kita konsumsi itu bukan apa yang kita produksi.
Sektor bisnis apa saja yang masih dibutuhkan?
Sektor yang dibutuhkan oleh orang banyak, misalnya, oleokimia. Juga kebutuhan dasar manusia: sandang, pangan, papan.
Anda sejak dulu punya bisnis yang, ketika Anda tidur, orang mengkonsumsinya: operator seluler, tol, properti. Memang begitu keinginan Anda?
Iya, karena saya orang sederhana, jadi mikir-nya yang sederhana. Enggak usah angel-angel (susah-susah). Saya tuh berpikir, kita harus berbisnis kebutuhan dasar manusia. Coba, kapan kita berhenti ngomong? Apalagi ibu-ibu, ha-ha-ha….
Ada cita-cita yang belum Anda raih?
Saya ingin membuat Indonesia lebih maju. Itu saja. Saya pernah bilang ke teman saya di Malaysia, sebelum kami berdua mati, saya ingin Indonesia jadi bagian global supply change. Jadi produsen oleokimia terbesar di dunia. You make profit, rakyat saya maju. Kalau itu sudah terwujud, saya mati tenang.
Tapi bisnis kelapa sawit ini dimusuhi Eropa, lho...
Nah, Indonesia dan Malaysia mbok ya menunjuk seseorang untuk jadi juru bicara negara produsen sawit. Ini masalah public relations saja. Sebab, jika dibandingkan dengan minyak jagung, sawit itu dipakai sampai habis. Kalau belum punya ilmu soal downstream, ya mbok belajar. Kita harus tahu apa yang kita enggak tahu. Kalau enggak tahu, ya tanya-o. Kalau enggak bisa nanya, ya beli. Kalau enggak bisa beli, ya tunggu dulu. Tapi jangan berasumsi. Sebab, asumsi itu ibu dari segala kebingungan. Tapi kompetisi adalah ibu dari segala ilmu pasti.
Peter Sondakh Tempat dan tanggal lahir: Manado, 26 Februari 1952 Karier: CEO PT Rajawali Corporation |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo