Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Serena Mencari Cinta

Sebuah film yang menjanjikan karena pemainnya papan atas dan diangkat dari novel yang laku ternyata tak menjamin kualitas.

29 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Serena
Sutradara: Susanne Bier
Skenario: Christopher Kyle, Berdasarkan novel Serena karya Ron Rash
Pemain: Jennifer Lawrence, Bradley Cooper

Semula Serena menjanjikan sesuatu yang menarik. Hampir semua aspek dari film ini seolah-olah memenuhi persyaratan film yang baik. Pertama, pemain utamanya adalah pasangan "bangsawan" Hollywood yang tengah diperebutkan semua studio besar: Jennifer Lawrence dan Bradley Cooper. Mereka pernah tampil bersama dalam film Silver Linings Playbook dan American Hustle, yang sama-sama disutradarai David O. Russell, yang memperlihatkan bagaimana kedua aktor itu bisa bekerja sama dengan baik. Kedua, cerita yang diadaptasi dari novel karya Ron Rash dengan judul yang sama ini berkisah tentang pasangan Pemberton, pengusaha kayu Amerika, menghadapi era depresi ekonomi: kisah cinta, politik, bisnis, sekaligus thriller. Bukankah itu menjanjikan?

Paling tidak, menit-menit pertama film ini sudah memberikan pembukaan yang menarik.

Sutradara Susanne Bier menjanjikan sebuah romantisisme. George Pemberton adalah pengusaha kayu North Carolina yang bertahan menghadapi deraan era depresi ekonomi. Pertemuannya dengan Serena terjadi setelah kejar-mengejar di atas kuda. Adegan itu begitu romantis dan penuh berahi: "Sebaiknya kita kawin saja," demikian George pada pertemuan pertama itu. Sutradara Bier memberikan adegan awal yang penuh harapan.

Perkawinan keduanya berjalan begitu segera. Putri seorang raja kayu dari kawasan lain begitu saja masuk ke perkawinan dan kehidupan bisnis George. Kita tak tahu siapa diri Serena, kecuali dia seorang perempuan yang tampaknya tak ragu melontarkan pemikirannya. Dengan pedas Serena mengatakan betapa malasnya para pekerja Pemberton ("Seharusnya pekerjaan yang mengambil waktu sembilan bulan ini bisa dikerjakan dalam waktu enam bulan") dan dia juga dengan cekatan mencari solusi untuk mengatasi geliat rombongan ular yang mematuk para penebang kayu, yaitu dengan mengimpor burung elang. Dengan kata lain: Serena memberikan impresi kepada orang di sekelilingnya dan juga kepada penonton: dia seorang perempuan tangguh yang tak bakal menjadi istri yang "hanya berurusan dengan benang dan jarum belaka," kata Serena kepada Buchanan (David Dencik), rekan bisnis suaminya.

Problem muncul ketika Serena yang semula digambarkan sebagai perempuan yang tangguh dan tak cengeng itu tiba-tiba saja menjadi Lady Macbeth dari hutan belantara North Carolina. Belakangan Serena menjadi pendorong suaminya untuk melakukan apa pun hingga dia lebih mirip "Lady Psychotic". Semua orang yang dianggap menghalangi ambisi dan hasratnya harus dihabisi. Bukan hanya Buchanan yang harus disingkirkan, melainkan terlebih lagi putra hasil hubungan luar nikah antara George dan seorang pekerja perempuan. Ini pukulan terberat Serena, yang tak bisa mempunyai anak.

Paruh akhir film ini menjadi thriller, kejar-mengejar orang bayaran Serena dengan sang ibu dan bayinya. Serena akhirnya betul-betul berubah menjadi seperti seorang perempuan yang sekrup di dalam kepalanya sudah copot. Seluruh tingkah lakunya di luar kontrol.

Susanne Bier, sutradara asal Denmark, tampak tak berhasil membangun karakter Serena; karakter yang dengan segala kelemahan dan kelebihannya akan membuat penonton tetap membela dan menyayanginya. Karakter Serena bersama suaminya sama-sama menjadi tokoh datar yang bergerak berdasarkan impuls yang sama sekali tak meyakinkan kita. Bahkan kita tak pernah paham apa latar belakang psikologi Serena hingga dia menggenggam cinta pada suaminya hingga pada tahap obsesif.

George Pemberton, sebagai seorang suami yang semula terlihat akomodatif, begitu saja menjadi suami yang kemudian diberi aplaus oleh khalayak karena dia menjadi "pahlawan penyelamat".

Sebuah cerita dalam film atau karya fiksi memang membutuhkan perkembangan dan perubahan karakter, tapi perubahan ini tetap membutuhkan dukungan argumentasi mengapa tokoh-tokoh itu mengalami perubahan: menjadi monster, menjadi pembunuh, menjadi seseorang yang hilang akal. Proses itu harus tampil bukan sekadar sebagai syarat visualisasi. Penonton harus menjadi bagian dari perjalanan perubahan emosi itu.

Di luar sinematografi yang indah, film ini tak berhasil bercerita. Bahkan Jennifer Lawrence dan Bradley Cooper tak mampu menghidupkan cerita itu.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus