Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tampar Dulu, Jadi Seni Kemudian

Kelompok tari asal Jepang, Contact Gonzo, berpentas di Jakarta dalam rangkaian pameran multimedia OK.Video. Perkelahian dipandang sebagai tari kontemporer.

29 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ini berkelahi atau menari? Tarian berjudul Study in Weight and Movement yang dipentaskan kelompok tari asal Jepang, Contact Gonzo, di Ruang Serbaguna Galeri Nasional, lebih mirip gulat bebas. Penuh adegan agresif: dorong-dorongan, pukul-pukulan, tampar balas tampar, dan tendang balas tendang. Jangan harap ada gerakan indah. Seluruh gerakan cenderung membuat ngilu penonton.

Ada empat penari yang terlibat dalam pentas Gonzo di Jakarta, yakni Yuya Tsukahara, Takuya Matsumi, Keigo Mikajiri, dan Masabaze Kobayashi. Semuanya tak berlatar pendidikan koreografi. Pentas dibagi dalam dua babak, digelar di area seluas 10 x 10 meter. Di lantai bertebaran tom-tom drum, televisi, kamera perekam, dan botol-botol air mineral.

Tak ada pengumuman bahwa tari akan segera dimulai. Keempat penari, yang sejak awal lalu-lalang di depan, tiba-tiba saja saling kontak fisik. Kemudian bak… bik… buk…. Semakin lama aksi penari semakin gahar. Saling tampar terjadi. Semula hanya melibatkan dua penari, lama-lama empat penari. Plak! Pipi para penari Jepang yang putih bersih itu lama-kelamaan berubah jadi merah. Keringat bercucuran.

Seorang di antara mereka "menari-nari" sambil membawa kamera analog. Kamera itu digunakan untuk menangkap ekspresi rekannya saat dihantam. Gulat semakin liar dan beberapa kali mendekat ke penonton. Seperti terkena ombak, penonton refleks menghindar ke belakang. Setelah setengah jam "menari", salah seorang dari mereka berkata kepada penonton: "Terima kasih." Ini tandanya babak kesatu sudah habis. Dan sebelum babak kedua dimulai, ia kembali berujar, "Please turn off all the lights." Lampu pun dimatikan.

Babak kedua rupanya lebih menggeretakkan gigi. Seorang penari tidur telentang dan wajahnya disorot kamera. Gambar close-up dirinya ditampilkan di televisi yang menghadap ke penonton. Kemudian datang penari lain berdiri di atasnya. Penari itu membawa ransel gunung yang berisi tali-temali dan belasan buku tebal. Buku-buku itu diletakkan di wajah rekannya. Lalu penari ketiga datang. Ia berdiri di atas jari-jemari kaki rekannya yang pertama. Beberapa kali penari yang telentang itu mendengus menahan sakit. Erangannya terdengar keras karena penari kedua menodongkan mik ke mulutnya. Di sela-sela adegan itu, ia melempar sekrup ke tom-tom drum hingga berbunyi.

Contact Gonzo dibentuk Yuya Tsukahara dan Masaru Kakio, penari kontemporer kawakan di Jepang. Pada suatu hari di tahun 2006, ketika Masaru sedang nongkrong, melintas ide liar di benaknya untuk membuat tari "gerakan menangkap daun jatuh". Ia lari ke sana-kemari mengejar daun-daun. Yuya merekam seluruh kegiatan itu. Masaru lalu suatu hari mengajak Yuya gila-gilaan di taman. Keduanya tak tahu persis apa yang akan mereka lakukan. Modalnya hanya ide melakukan contact improvisation. Yang penting bertemu dulu di taman, kemudian gila-gilaan. "Jangan bayangkan kami datang dengan niat menciptakan koreografi kontemporer," kata Yuya. "Kami hanya dua orang yang doyan minum bir, suka gila-gilaan, dan senang melakukan hal-hal bodoh."

Kegiatan gila-gilaan mereka naik level setahun kemudian. Pada 2007, Yuya mendaftarkan Gonzo ke ajang kontes tari kontemporer Performing Arts Messe 2007 in Osaka. "Saya mendaftar semata-mata karena tergiur uang hadiah juaranya," ujar Yuya. Mereka pentaskan koreografi hantam-hantaman khas Gonzo. Tak disangka, mereka menyingkirkan semua kontestan dalam kontes tari bergengsi itu. Mendadak kegiatan gila-gilaan Gonzo naik kelas: dianggap sebagai sebuah karya seni. Gonzo, kata Yuya, jadi begitu dibenci karena menang. "Kontestan lain berlatih mati-matian untuk dunia tari kontemporer, sementara kami hanya gila-gilaan tapi menang. Saya maklum kalau mereka marah," ujarnya.

Sejak itu, Gonzo jadi kelompok yang diperhitungkan dalam dunia tari kontemporer. Di Jakarta, mereka sudah tiga kali datang. Kunjungan pertama dan kedua atas undangan perhelatan Indonesian Dance Festival. Yang ketiga atas undangan OK.Video 2015. Gonzo laku, baik di ajang festival tari maupun seni rupa kontemporer. Yuya paham ada konsekuensi ketika orang mulai menganggap apa yang mereka lakukan sebagai karya terobosan baru di dunia tari kontemporer. Mereka malah ingin meningkatkan "eksperimen" ini.

"Caranya? Dengan menjadi lebih kasar dan lebih berani melakukan hal-hal bodoh," kata Yuya.

Ananda Badudu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus