Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Berita Tempo Plus

Deddy Wahjudi, Arsitek Pemenang Sayembara Revitalisasi Monas: Kalau Pemenang Tak Dilibatkan, Ngapain Bikin Kompetisi?

Terpilih sebagai pemenang dalam sayembara desain revitalisasi kawasan Taman Medan Merdeka dan tugu Monumen Nasional (Monas) rupanya tak membuat biro arsitek asal Bandung, LABO Indonesia, diikutsertakan dalam proyek itu.

8 Februari 2020 | 00.00 WIB

Pendiri Biro Arsitek LABO Arch Deddy Wahjudi di Jakarta, Selasa, 4 Februari 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat
Perbesar
Pendiri Biro Arsitek LABO Arch Deddy Wahjudi di Jakarta, Selasa, 4 Februari 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Terpilih sebagai pemenang dalam sayembara desain revitalisasi kawasan Taman Medan Merdeka dan tugu Monumen Nasional (Monas) rupanya tak membuat biro arsitek asal Bandung, LABO Indonesia, diikutsertakan dalam proyek itu. Bahkan tim LABO yang didirikan pasangan arsitek Deddy Wahjudi dan Nelly Daniel itu tak mengetahui awal mula pengerjaan plaza di area selatan Monas, yang belakangan menjadi kontroversi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

"Wajar publik juga terkejut. Kami saja sebagai pemenang sayembara tidak tahu konstruksinya sudah dimulai," kata Deddy Wahjudi saat ditemui Praga Utama dari Tempo, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa lalu. Padahal, Deddy menjelaskan, dalam konsep revitalisasi kawasan Monas berjudul "Labuan Nusantara" yang mereka ajukan dalam sayembara, tak ada rencana pembukaan lahan dan penebangan ratusan pohon yang selama ini menjadi peneduh area Taman Medan Merdeka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Justru, menurut Deddy, dalam rancangan timnya, luasan ruang terbuka hijau Monas ditambahkan, dari 45 persen menjadi lebih dari 60 persen. Selain itu, dalam konsep tersebut, kawasan Monas akan mudah diakses. Tidak tertutup pagar seperti saat ini sehingga pengunjung harus berjalan jauh dan memutar untuk masuk ke area Monas. Kepada Tempo, Deddy bercerita mengenai aneka hal soal revitalisasi Monas. Berikut ini petikannya.

Bagaimana awalnya LABO mengikuti sayembara revitalisasi Monas?

Sayembara ini dilakukan pada 2018. Bagi kami dan kalangan arsitek, sayembara ini paling prestisius, karena lokasinya kawasan cagar budaya dan kompleksitasnya tinggi. Pesertanya tak hanya arsitek lokal, beberapa arsitek luar negeri juga ikut. Bagi kami, sayembara ini salah satu bentuk mengontrol diri sendiri sebagai arsitek. Sebab, kan biasanya arsitek itu egonya muncul, ya, ingin selalu terlihat lewat karyanya. Ini kompetisi bagus, tantangan banget.

Apa yang menjadi keharusan revitalisasi itu?

Harus dicatat, revitalisasi sebuah kawasan itu wajar dilakukan, dan sangat biasa dalam sebuah kawasan besar ada redesain master plan setiap 10-20-30 tahun sekali. Terutama ketika ada kebutuhan baru. Dalam hal Monas, merespons pembangunan jalur dan stasiun mass rapid transit (MRT) tahap II. Jadi, jangan sampai nanti MRT sudah jadi, Monas baru bikin master plan. Ini semacam curi start sebelum MRT selesai.

Nanti kan pasti ada hubungannya dengan perpindahan orang dari stasiun MRT di Monas dengan Gambir atau Transjakarta. Pemprov DKI juga ingin tempat parkir IRTI (Ikatan Restoran Taman Indonesia) dihilangkan, sehingga akses menuju Monas mengutamakan transportasi publik. Sekarang juga Monas kan kurang tertata baik. Misalnya, pos keamanan untuk pengamanan Istana sekarang pakai tenda barak. Kawasan kuliner Lenggang Jakarta mulai kumuh. Maka, penting ada penataan ulang.

Bagaimana Anda dan tim LABO menyusun konsep "Labuan Nusantara"?

Sebetulnya team leader dalam sayembara ini istri saya, Nelly Daniel. Kami mengikuti setiap tahapan. Pertama, seleksi dokumen, ada sertifikat keahlian arsitek. Tahap dua penyerahan dokumen. Tahap tiga presentasi. Soal peraturan sayembara, visi, arahan, informasi existing, dan rapat penjelasan, peserta bertemu langsung dengan Pak Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta). Di pertemuan itu, Pak Anies ingin Monas jadi taman yang inklusif dan bisa diakses siapa pun. Lalu kami survei ke lapangan dan meriset dokumen sejarah Monas. Makanya kami tidak hanya berimajinasi tentang Monas. Ini kan kawasan cagar budaya, sudah ada master plan sebelumnya sejak 1976-an dan di-review pada 1990-an. Itu kami pelajari semua, baru kami rancang dan usulkan konsep Labuan Nusantara.

Apa keunggulan konsep desain yang diajukan tim Anda?

Hal paling mendasar, mungkin juri memilih konsep kami karena paling minim intervensi. Artinya, rancangan kami tak mengganggu dan mengubah geometri yang ada. Konsep existing dipertahankan, keberadaan vegetasi juga tak diganggu. Kami menambahkan elemen kebutuhan baru, seperti tempat upacara, pos keamanan, dan plaza aspirasi untuk mengungkapkan pendapat ke Istana di daerah perkerasan yang sudah ada. Jadi, tidak membabat pohon-pohon.

 

Perlu diketahui juga, bangunan-bangunan yang sekarang ada di kawasan Monas tidak memenuhi kaidah cagar budaya. Seharusnya ketinggian bangunan di sana 1,2-1,5 meter saja. Dalam master plan ini kami juga memasukkan Stasiun Gambir sebagai bagian dari kawasan Monas, tidak terpisah seperti sekarang. Sekarang kan Gambir terpisah dengan kawasan Monas dan terlihat kumuh. Areanya habis untuk lahan parkir, bangunannya tidak tertata dan sporadis. Master plan ini diharapkan bisa ikut mengontrol pembangunan di sana.

Jadi, dalam konsep Labuan Nusantara, Taman Medan Merdeka dan area Monas menjadi area tanpa pagar?

Kami usulkan seperti itu, karena untuk memperjuangkan inklusivitas itu tadi. Kami ingin mendekatkan Monas ke pengunjung. Sekarang itu kan orang mau masuk Monas susah. Turun dari Transjakarta harus berputar dulu ke jalur Silang yang ada di setiap sudut.

 

Nah, di konsep saya, nanti sisi utara, selatan, barat, dan timur dibuka. Ini sesuai dengan master plan cagar budaya yang dulu. Saya membayangkan nanti orang yang mau masuk Monas itu paling banyak dari arah selatan. Lalu, di sisi barat nanti ada stasiun MRT dan Transjakarta. Di sisi timur integrasi dengan Stasiun Gambir. Di utara aksesnya dibuka, tapi lebih terbatas, karena berhubungan dengan Istana Negara.

 

Selain pagarnya dibuka, kami mengusulkan agar elemen Monas dibawa ke area di luarnya. Kami merancang semacam sumbu utara-selatan, barat-timur. Jadi, di jalan raya sekarang yang diaspal itu akan ada perlambatan (traffic calming) dengan material berbeda. Nanti garis ini terlihat sebagai sumbunya Monas, dan gedung-gedung di sekitarnya seolah-olah menjadi bagian dari keseluruhan Taman Medan Merdeka alias kawasan Monas. Materialnya nanti bisa dipakai andesit.

Jadi, pembuatan plaza di sisi selatan dalam proyek yang sedang berjalan itu tidak sesuai dengan konsep Labuan Nusantara?

Sayembara yang kami ikuti itu kan hanya untuk tataran konseptual. Kalau kita bicara tentang proyek arsitektur itu, tahapan ada banyak, mulai dari pre-eliminary design, design-development, detail engineering design, hingga soft drawing oleh kontraktor, dan banyak lagi. Nah, sayembara ini ada di tahapan konsep. Ketika kompetisi dijalankan, DKI berharap menerima konsep besar. Sementara proyek yang sekarang berjalan itu sudah masuk ke pengembangan desain dan pelaksanaan. Kalau boleh bilang sih, ya, disayangkan kami tidak ikut terlibat di tahap ini.

Idealnya seperti apa proses konstruksi itu dilakukan?

Biasanya, sebelum melakukan pengembangan desain, semuanya harus dipetakan ulang, diukur dengan rinci. Pemetaan kontur, titik pohon, elemen-elemen vital, jalur instalasi, riol, dan patung-patung. Pengerjaannya harus bersama-sama dengan tim struktur, elektrikal, mekanikal, desain grafis, sampai lighting. Nah, waktu sayembara Monas, data pemetaan itu tidak ada. Pemetaan ini setahu saya baru akan dilakukan tahun ini.

 

Yang disayangkan, pembangunan yang sedang berjalan sekarang memaksakan penggunaan anggaran tahun lalu untuk plaza di area selatan. Detail engineering design (DED)-nya juga dilakukan secara parsial hanya di bagian itu. Seharusnya DED itu dilakukan menyeluruh. Desain master plan selesai dulu, baru pengerjaannya bisa dilakukan parsial, misalnya dibuat tahap 1, tahap 2, dan seterusnya.

Apakah wajar proses konstruksi tanpa melibatkan arsitek yang mempunyai rancangan besarnya?

Hal semacam ini sering terjadi di aneka sayembara arsitektur: pemenang kompetisi tidak terlibat dalam pengembangan desainnya. Patut dicatat, dan ini menjadi pekerjaan rumah untuk skala nasional, memperjuangkan pemenang kompetisi arsitektur terlibat langsung secara kontraktual dalam pengembangan desainnya. Itu yang belum terjadi di Indonesia. Kalau di luar negeri, jika menang sayembara arsitektur, dia langsung dikontrak sebagai arsitek in charge. Paling ada syarat ditandemkan dengan arsitek lokal setempat. Kalau arsitek yang menang sayembara tidak dilibatkan, ngapain bikin kompetisi?

Jadi, percuma ada sayembara arsitektur?

Sayembara itu skema yang baik, mencari desain terbaik untuk proyek-proyek strategis. Tapi bagaimana menempatkan atau memformalkan secara kontraktual pemenang sayembara ini dalam tahapan lanjutannya. Ini tugas Kementerian PUPR, apalagi sekarang ada UU Arsitek. Perlu ada aturan turunan dalam konteks kompetisi. Proyek itu bergantung pada pemenang tender dan kontraktor. Kalau pengembangan desainnya terbuka dan melibatkan pemenang sayembara, itu akan luar biasa. Tapi biasanya arsitek hanya jadi narasumber. Kalau sudah masuk ke tender, balik lagi ke ego masing-masing.

Sebelumnya Anda pernah memenangi sayembara di DKI?

Ini kompetisi kedua yang kami menangi di DKI, yang gubernurnya (Anies Baswedan) secara verbal bilang bahwa hasil sayembara ini harus digunakan dalam proses pembangunan. Meskipun ketika pelaksanaan ada beberapa perubahan untuk menyesuaikan kebutuhan. Saya berharap nanti ada komunikasi antara kontraktor dan kami.
Dulu, pertama kami menang sayembara RSUD Pasar Minggu pada zaman Pak Foke (Fauzi Bowo). DED ditenderkan, Pak Foke bilang ke pemenang tender, saya enggak mau desain berubah dari hasil sayembara. Kalau Pak Foke enggak bilang begitu, mungkin konsep kami enggak terpakai. Meskipun desain RSUD Pasar Minggu sekarang ada modifikasi juga dari kontraktornya, yang penting konsep utamanya, yakni mempermudah aksesibilitas pengunjung seperti yang kami buat, tetap dijalankan.

Sudah berkomunikasi lagi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta?

Saya sudah diundang untuk bertemu mereka. Kayaknya sekarang kami akan dilibatkan dalam proses konstruksi. Sedang mencari skema terbaik, karena kompleksitasnya tinggi secara politik. Ini adalah kawasan vital dan cagar budaya. Yang paling penting ini bukan hanya punya DKI, tapi se-Indonesia. Saya bilang ke pemerintah DKI, mereka harus punya komunikasi yang baik kepada publik. Bukan hanya kepada stakeholder.

Berangkat dari peristiwa ini, apa harapan Anda sebagai arsitek?

Mimpi saya, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), membuat perjanjian semacam MoU dengan pemerintah daerah. IAI kan ada di setiap provinsi. Perjanjiannya bisa dilakukan dengan pemerintah provinsi atau kabupaten/kota soal pelaksanaan sayembara desain arsitektur atau inisiasi proyek agar melibatkan pemenangnya dalam tahap lanjutannya.

Deddy Wahjudi, Arsitek Pemenang Sayembara Revitalisasi Monas: Kalau Pemenang Tak Dilibatkan, Ngapain Bikin Kompetisi?

 

 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus