Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Joseph Stiglitz: Indonesia Perlu Agenda Baru

20 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Joseph Stiglitz adalah suara nyaring, dan berbeda, dari Barat. Sementara Konsensus Washington, 10 formula yang diracik oleh ekonom John Williamson pada 1987–1988, diadopsi oleh institusi-institusi keuangan terkemuka seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Departemen Keuangan Amerika Serikat sebagai resep untuk memulihkan kelumpuhan ekonomi sebuah negara, Stiglitz yang berada di kubu ekonom Neo-Keynesian menyatakan, negeri-negeri yang patuh mengikuti resep itu justru sulit bangkit dari keterpurukan ekonomi.

Pengalaman kerjanya di Bank Dunia mendudukkan dirinya sebagai ”pengkhianat” sekaligus kritikus Bank Dunia yang jeli menunjuk kesalahan-kesalahan lembaga itu.

Selasa pekan lalu, atas prakarsa majalah ini, penerima Hadiah Nobel untuk Ekonomi 2001 ini menjadi pembicara pada seminar bertajuk ”Indonesia Menghadapi Globalisasi” di Hotel Four Seasons, Jakarta. Menjelang tengah malam pada hari yang sama, Stiglitz menerima wartawan Tempo Akmal Nasery Basral, Budi Riza, Philipus Parera, Maria Hasugian, dan fotografer Yosep Arkian untuk sebuah wawancara khusus. Berikut petikannya.

Anda kelihatan sangat kritis menyoroti aturan investasi yang dibuat pemerintah Indonesia, mengapa?

Memang, ada beberapa masalah. Jangka waktu konsesi yang diberikan pemerintah Indonesia sangat panjang untuk eksploitasi sumber daya alam. Ini persoalan besar karena tidak memperhitungkan perubahan-perubahan buruk yang bisa terjadi dalam evolusi pasar. Misalnya konsesi pertambangan minyak ketika harga minyak US$ 15 per barel. Mereka akan kehilangan uang karena sekarang harganya US$ 75. Jadi, harus hati-hati dalam kontrak jangka panjang kecuali anda membuat kesepakatan-kesepakatan yang benar berkaitan dengan perubahan-perubahan tak terduga dalam kontrak—hal yang tidak dilakukan oleh banyak negara.

Berapa tahun idealnya sebuah konsesi diberikan?

Itu tergantung pada jenis mineralnya. Dalam beberapa kasus, ketika kesepakatan-kesepakatan tidak berjalan, lebih baik membatalkannya daripada sekadar memperbaikinya dan mengatakan, ”Oke, sekarang kami menghendaki sebuah tender yang kompetitif.” Masalah kedua, problem arbitrase internasional dalam menyelesaikan sengketa bisnis. Ini sangat problematik di Indonesia. Misalnya pada kasus Karaha Bodas. Ada investasi US$ 40 juta, tapi Anda hanya mendapatkan US$ 300. Itu sebuah bingkai hukum yang sangat buruk. Di Indonesia anda menggaungkan isu transparansi, tapi arbitrase berlangsung tertutup.

Tapi apakah renegosiasi tidak berdampak buruk dalam pandangan investor?

Perusahaan-perusahaan tambang akan pergi ke tempat kekayaan alam berada. Hanya sedikit negara penghasil minyak dan gas yang ideal dalam pandangan perusahaan-perusahaan minyak. Timur Tengah sangat tidak stabil, juga Nigeria, Amerika Latin. Bolivia melakukan renegosiasi dan mendapatkan 18 persen. Kini setelah renegosiasi lagi, mereka bisa mendapatkan 82 persen. Toh, perusahaan minyak tetap di sana karena mereka tahu di masa lalu mereka merampok negara-negara berkembang. Tapi ketika berhadapan dengan pemerintahan yang demokratis dan tak bisa lagi disogok, mereka tahu bahwa mereka harus lebih fair.

Tidak semua negara berani melakukan pembatasan lewat renegosiasi itu, termasuk Indonesia, karena bisa dijuluki tidak ramah terhadap investor.

Cina dan India membuat pembatasan capital flow. Mereka mengatakan, Anda tidak dapat membawa uang masuk ke negara kami untuk tujuan-tujuan jangka pendek. Dan, ya, mereka memiliki lebih banyak investasi langsung dari sebagian besar negara di dunia. Mereka membuatnya menjadi sangat jelas bahwa ”kami membutuhkan mereka yang menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat kami, investasi nyata”, dan bukan menghendaki spekulan. Sebab, para spekulan jangka pendek akan menggunakan semua argumentasi yang bisa mereka temukan untuk mempertahankan pasar agar tetap terbuka bagi spekulasi.

Bukankah Thailand mencoba hal itu tapi kelihatannya tak terlalu berhasil?

Benar. Ada dua pelajaran penting di sini. Pertama, hal itu membutuhkan kesepakatan beberapa negara untuk menerapkannya bersama-sama. Jika Thailand, Indonesia, Malaysia melakukannya bersamaan daripada melakukannya sendiri-sendiri, mungkin semacam ”Inisiatif Asia”, maka akan sangat sulit bagi spekulan untuk masuk. Berikutnya, cara Anda melakukan akan membuatnya berbeda. Beberapa negara menerapkannya melalui regulasi perbankan yang disebut sebagai prudential regulation. Anda membatasi pinjaman bank untuk investor yang jelek dan mengambil kembali pasokan uang bagi para spekulan. Itu akan menjadi regulasi yang prudent dan ramah. Bisa juga dilakukan dengan mengontrol pasar, dan hasilnya tidak jauh berbeda.

Di Indonesia, Freeport McMoran mendapat perpanjangan kontrak hingga 20 tahun. Pemerintah Indonesia mengatakan mereka tak bisa berbuat apa pun.

Saya beri contoh lain, Rusia. Mereka membatalkan izin kelayakan lingkungan hidup dari Shell karena melanggar peraturan lingkungan. Saya kira realitas terbaru adalah bahwa perusahaan-perusahaan itu tahu banyak hal sudah berubah, sumber daya alam semakin langka, dan banyak tuntutan baru bermunculan. Indonesia harus memanfaatkan ini sebaik-baiknya. Anda tidak perlu lagi bergantung kepada Exxon, karena Anda dapat melakukannya dan bahkan mendapatkan manfaat yang jauh lebih besar dari kekayaan alam sendiri daripada perjanjian bagi hasil dengan perusahaan-perusahaan multinasional. Pemerintah AS seharusnya juga tidak menjadi agen Exxon atau Enron. Itu korupsi. Ada contoh menarik. Salah seorang Duta Besar AS (di Indonesia) setelah era Soeharto pernah mendapat hadiah posisi pimpinan di salah satu perusahaan raksasa di AS karena mendesak pemerintah Indonesia agar menghormati kontrak. Bayangkan, sementara dia menguliahi Indonesia tentang korupsi, dia justru melakukannya.

Bank Dunia dan IMF selalu meminta negara berkembang untuk membuka pasar mereka, sebuah imbauan yang selalu Anda tentang keras.

Ada dua hal yang menjadi pertimbangan saya. Pertama, ada kesepakatan WTO yang harus Anda tinggalkan. Namun, pertanyaan kemudian adalah bagaimana caranya? Yang lainnya adalah Anda terlalu sering melakukan sesuatu lebih dari yang seharusnya. Globalisasi ternyata tidak menguntungkan negara dan orang-orang miskin karena tidak berjalan secara fair. Saya punya sebuah proposal untuk mengubah aturan kerahasiaan bank. Pemerintahan Bush paling banyak mengkritik korupsi, tapi sekaligus sangat suportif terhadap kebijakan-kebijakan yang berpotensi menciptakan lebih banyak lagi korupsi. Salah satunya adalah dukungan terhadap kerahasiaan rekening bank di seluruh dunia.

Para pengkritik Anda berpendapat bahwa Anda membuka peluang terlalu lebar bagi pemerintah untuk terlibat jauh dalam mempengaruhi pasar?

Perlu saya tegaskan bahwa information asymmetries (teori yang menyebabkan Stiglitz berbagi Hadiah Nobel Ekonomi 2001 dengan George A. Ackerlof dan A. Michael Spence—Red.) tidak pernah dikritik. Salah satu implikasi dari teori itu, yang kini telah diterima secara total adalah bahwa pasar sering tidak bisa menciptakan alokasi yang efisien. Tidak ada lagi yang percaya pada invisible hand-nya Adam Smith. Dan saya selalu katakan invisible hand itu invisible karena memang tidak ada (tertawa). Satu-satunya debat adalah apakah betul pemerintah yang harus mengoreksi kesalahan pasar, tapi itu sudah masuk teori tentang pemerintahan, bukan ekonomi.

Pemerintah seperti apa yang bisa melakukan koreksi itu?

Tergantung masing-masing negara. Dalam banyak kasus terbukti bahwa pemerintah berhasil memperbaiki banyak masalah, meski dalam banyak kasus lainnya lagi pemerintah justru menjadi sumber bencana. Jadi, pertanyaannya adalah apakah dalam situasi tertentu pemerintahan ini boleh menggunakan kebijakan ini? Bukan kebijakan yang barangkali telah dijalankan oleh pemerintahan 30 tahun lalu, tapi kebijakan yang cocok untuk saat sekarang. Kebijakan yang bisa membuat perbaikan meski tidak sempurna.

Apakah, menurut Anda, privatisasi yang dilakukan pemerintah Indonesia termasuk dalam ”kebijakan yang membuat perbaikan meski tidak sempurna” itu?

Itu tergantung jenis perusahaannya dan bagaimana privatisasi dilakukan. Yang jelas, privatisasi seharusnya dilakukan terbuka, ditawarkan untuk publik. Jika dijual kepada orang-orang tertentu, itu akan sangat rentan korupsi.

Krisis kredit perumahan (subprime mortgage) di Amerika Serikat kini semakin parah. Bagaimana dampaknya terhadap pasar global?

Ada tiga kemungkinan. Pertama dan yang terpenting adalah pukulan terhadap prime market akan membuat nilai dari pinjaman Indonesia menurun dan mempengaruhi pasar modal di sini. Kedua adalah global slow down, khususnya dari negara-negara yang secara ekonomi berhubungan dengan AS. Ketiga, hal yang mungkin kurang penting bagi Indonesia adalah agunan kredit perumahan di AS kini menjadi milik seluruh dunia. Dulu itu hanya menjadi milik bank-bank AS, sehingga dulu kalau bank-bank di Amerika membuat kesalahan, hanya mereka yang merasakan dampaknya. Kini kalau bank perkreditan AS membuat kesalahan, Australia dan Eropa akan menderita. (Dalam diskusi ”Indonesia Menghadapi Globalisasi” yang digelar Tempo pada pagi harinya di Hotel Four Seasons, Stiglitz menyebutkan sekitar 1,78 juta penduduk Amerika Serikat akan kehilangan rumah karena tak bisa membayar cicilan. ”Mungkin ini lebih tepat disebut sebagai bencana sosial ketimbang bencana finansial,” ujarnya—Red.)

Seandainya Anda menjadi penasihat ekonomi pemerintah Indonesia, apa yang akan Anda sarankan untuk dilakukan dalam enam bulan pertama?

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pascakrisis tidak jelek. Enam persen dalam sejarah Indonesia, juga negara-negara lain, merupakan angka yang sangat bagus. India selama 25 tahun berada pada level 6 persen sebelum tumbuh dengan 8 persen. Namun, pada saat yang sama Indonesia perlu agenda baru seperti land reform dan investasi yang lebih berkaitan dengan pendidikan. Hasilnya mungkin tidak terlihat dalam lima tahun, namun dalam jangka panjang, misalnya 25 tahun, akan memberikan hasil yang baik.

Joseph E. Stiglitz

Lahir: Indiana, 9 Februari 1943

Pendidikan: PhD dari MIT (1967)

Karier:

  • Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Kepresidenan pada pemerintahan Clinton (1995–1997)
  • Wakil Presiden Senior Bank Dunia dan Kepala Ekonom (1997–2000)
  • Pendiri Initiative for Policy Dialogue (IPD), lembaga think-tank di Universitas Columbia yang didirikan dengan dukungan dari Yayasan Ford, Rockefeller, MacArthur, dan Yayasan Mott, serta pemerintah Kanada dan Swedia.

Beberapa buku terpentingnya:

  • Wither Socialism (1996)
  • The Rebel Within (2001)
  • Globalization and Its Discontents (2002)
  • The Roaring Nineties (2003)
  • Making Globalization Work (2006)

Penghargaan:

  • John Bates Clark Medal (1979)
  • Hadiah Nobel untuk Ekonomi (2001)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus