Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nilainya memang bisa bikin ngiler, sekitar Rp 44 miliar. Aset sebesar itulah yang kini diperebutkan manajemen harian Pikiran Rakyat dan ahli waris Amir Zainum, bekas komisaris utama surat kabar itu. Pekan-pekan ini perebutan aset itu bakal digelar di Pengadilan Negeri Bandung.
Adalah Amri Zainum, anak sulung Amir Zainum, yang menggugat harta PT Pikiran Rakyat ini. Menurut Amri, harta bernilai puluhan miliar yang terdiri atas 53 sertifikat tanah dan bangunan dengan total seluas 62.831 meter persegi itu semua atas nama ayahnya. Jadi, dirinya ahli waris sah harta benda tersebut.
Kasus saling gugat kepemilikan ini berawal ketika manajemen PT Pikiran Rakyat membenahi harta perusahaan sepanjang 1989-2002, sepeninggal Amir Zainum pada 2002. Sekretaris perusahaan, Kartono Sarkim, suatu ketika memanggil Amri untuk membicarakan aset surat kabar itu yang masih atas nama ayahnya.
Pertemuan dilangsungkan di ruang kerja Kartono. Namun, belum sampai lima menit pertemuan, suasana langsung panas. Kartono meminta Amri menandatangani surat pernyataan pengakuan bahwa 53 sertifikat atas nama ayahnya adalah harta PT Pikiran Rakyat. Amri naik pitam. ”Saya tidak mau teken,” kata Amri. Surat itu disorongkannya kembali ke Kartono. Pembicaraan masalah aset ini pun buntu.
Buntut penolakan ini, kata Amri, berimbas pada dirinya dan juga dua adiknya, Arevine Amir Zainum dan Bismarck Amir Zainum, yang juga bekerja di surat kabar terbesar di Jawa Barat ini. Di koran itu, Amri menjabat redaktur foto, sedang Arevine dan Bismarck masing-masing sebagai sekretaris redaksi dan staf satuan pengawas intern perusahaan. Ketiga kakak-beradik ini di-nonjob-kan, ”dibebaskan” dari jabatannya.
Amri lantas melakukan perlawanan terhadap PT Pikiran Rakyat. Pada 2 Juli 2007, ia melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Bandung. Ia meminta semua sertifikat tanah atas nama ayahnya yang diklaim PT Pikiran Rakyat sebagai milik perusahaan itu segera diserahkan. ”Di pengadilan nanti kita buktikan, apakah benar aset itu milik PR,” kata Iwan Ridwan, pengacara Amri.
Pada awal Agustus lalu, pengadilan sudah mempertemukan Amri dengan manajemen PT Pikiran Rakyat untuk mengakhiri kasus ini dengan perdamaian. Tapi gagal. Amri tetap ngotot, aset itu milik mereka. Maka, hakim Imam Syafi’i, yang memimpin mediasi itu mengetukkan palu: kasus gugat-menggugat harta ini dilanjutkan.
PT Pikiran Rakyat sebenarnya sudah berupaya mematahkan gugatan Amri. Beberapa hari sebelum Amri mendaftarkan gugatannya ke pengadilan, Direktur Utama Pikiran Rakyat Syafik Umar menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa. Agendanya, melakukan klarifikasi status sertifikat aset perusahaan.
Rapat itu dihadiri 24 pemegang saham pendiri, termasuk tujuh pemegang saham dari ahli waris yang dipinjam namanya untuk memiliki aset perusahaan. Hadir pula dalam rapat penting itu, sembilan pemegang saham generasi kedua dan pemegang saham koperasi karyawan.
Hasil rapat, menurut kuasa hukum PT Pikiran Rakyat, Dindin S. Maolani, semua pemegang saham mengaku, aset yang diatasnamakan pribadi adalah milik perusahaan. ”Waktu itu, selain ahli waris Amir Zainum, tidak ada yang menolak,” kata Dindin. Sebagai ucapan terima kasih, ujar Dindin, para ahli waris tersebut diberi ”hadiah” masing-masing Rp 50 juta. Menurut Dindin, aset perusahaan yang diatasnamakan pribadi para pemegang saham adalah gagasan almarhum Atang Ruswita dan almarhum Amir Zainum. Kedua orang ini adalah pendiri harian Pikiran Rakyat.
Alasan membuat sertifikat atas nama pribadi, kata Dindin, sekadar memudahkan mengurus sertifikat hak milik. Jadi, ujarnya, sama sekali bukan untuk menghindari kewajiban membayar pajak, apalagi menyembunyikan kekayaan perusahaan di mata karyawan. ”Pajak selalu dibayar oleh perusahaan,” ujar Dindin.
Aset PT Pikiran Rakyat yang diatasnamakan pribadi, kata Dindin, tidak hanya kepada Amir Zainum, tapi juga kepada enam pemegang saham lain: Atang Ruswita, Sakti Alamsyah, Soeharmono, Bram M.D., Syafik Umar, dan Kartono. Total aset yang diatasnamakan kepada para pemegang saham tersebut sekitar Rp 150 miliar. Wujudnya tanah dan properti. Dalam laporan keuangan, aset perusahaan tercatat sekitar Rp 100 miliar.
Syafik Umar menolak memberikan penjelasan atas gugatan ini. ”Semua diserahkan ke pengacara,” kata Nina Hilman dari Bagian Umum PT Pikiran Rakyat, menyampaikan jawaban Syafik Umar tatkala majalah ini meminta konfirmasi.
Kasus ini tampaknya bakal seru. Soalnya, kendati PT Pikiran Rakyat mengklaim aset itu milik perusahaan, menurut ahli hukum perdata Universitas Parahyangan, Bandung, Wila Chandrawila Supriadi, pengatasnamaan aset perusahaan kepada pribadi menyalahi aturan. ”Aset perusahaan harus diatasnamakan lembaga, meski sumber kekayaan itu dari pembayaran utang pihak ketiga,” ujar Wila.
Cara yang ditempuh PT Pikiran Rakyat, kata Wila, juga bakal menyulitkan perusahaan ini di pengadilan. ”Pembuktian kasus perdata harus legal formal, bukan material,” ujarnya. Praktek semacam ini, kata Wila, juga berimbas pada penerimaan negara.
Dari segi pembayaran pajak, menurut juru bicara kantor pajak wilayah Jawa Barat, Agus Setiawan, transaksi sebuah badan usaha dikenai pajak penghasilan (PPh) 15 persen. Sedangkan transaksi perorangan cuma 5 persen.
Menurut Agus, jika ada perusahaan bertransaksi jual-beli tanah dan kemudian diatasnamakan pribadi, hal itu melanggar aturan. ”Jika melakukan ini, perusahaan bisa dituduh menghilangkan kewajiban membayar pajak 10 persen,” katanya. Khusus untuk PT Pikiran Rakyat, Agus tak bersedia mengungkap berapa nilai pajak yang disetorkan. ”Tanpa ada permintaan resmi dari pihak perusahaan, kami keberatan menyebutkan besar pajak yang dibayar,” katanya.
Ketua dewan karyawan surat kabar Pikiran Rakyat, Yudi Fitriadi, mengaku tak mengetahui secara detail harta perusahaannya. Dewan karyawan, kata Yudi, belum lama dibentuk. Yang jelas, katanya, hingga kini para karyawan belum mendapat saham yang besarnya sekitar 20 persen. ”Memang ada saham yang diberikan untuk koperasi karyawan. Tapi berapa besarnya kami tidak tahu,” kata Yudi.
PT Pikiran Rakyat kini memang menghadapi badai. Selain digugat Amri, dua tahun belakangan keuangan perusahaan yang berdiri sejak 1966 ini juga bermasalah. Padahal, sekitar tujuh tahun lalu, sesaat setelah era reformasi, banyak yang terkejut atas perkembangan koran ini. Atang Ruswita, yang memimpin koran itu dari 1966 hingga 2003, melejitkan oplah Pikiran Rakyat hingga 150 ribu eksemplar per hari. Atang juga melahirkan enam koran lokal lainnya, membangun satu percetakan lagi, dan mendirikan radio swasta.
Kini kejayaan itu mulai meredup. Tak semua anak perusahaan tumbuh sehat. Sebaliknya, perusahaan yang memiliki sekitar 750 karyawan ini mulai berupaya ”memangkasi” karyawannya, melakukan rasionalisasi dengan menawarkan pensiun dini, sesuatu yang sebenarnya tak diharapkan karyawan.
Riny Srihartini (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo