Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Purbaya Yudhi Sadewa
MEMASUKI triwulan kedua 2007, perekonomian Indonesia tumbuh lebih cepat. Inflasi yang semakin terkendali merupakan faktor utama pemicu terjadinya percepatan pertumbuhan. Sayangnya, masyarakat golongan menengah ke bawah masih kurang merasakan dampak perbaikan ekonomi.
Perekonomian Indonesia mengalami perbaikan sejak Maret lalu. Hal ini terlihat dari kenaikan Coincident Economic Index (CEI) sejak bulan itu. CEI adalah indeks yang menggambarkan keadaan aktivitas perekonomian pada suatu saat. Kenaikan CEI menggambarkan keadaan ekonomi yang membaik. CEI mengalami kenaikan terus hingga Juni 2007 (gambar 1). Ini berarti ekonomi kita membaik pada triwulan kedua tahun ini.
Terjadinya pertumbuhan yang lebih cepat terutama didukung oleh semakin terkendalinya laju inflasi. Maret lalu, harga beras mulai terkendali seiring dengan mulai terjadinya panen di beberapa daerah. Panen yang semakin luas pada April bahkan menekan harga beras cukup signifikan. Akibatnya, harga bahan makanan turun, yang mengakibatkan terjadinya deflasi alias penurunan harga barang dan jasa 0,16 persen di bulan tersebut.
Inflasi tahunan pun turun dari 6,5 persen pada Maret, menjadi 6,3 persen di bulan berikutnya. Tekanan inflasi semakin menurun pada Mei dan Juni, seperti terlihat dari laju inflasi tahunan yang terus turun 6,01 persen pada Mei dan 5,77 persen pada Juni.
Laju inflasi yang semakin terkendali memberi dampak positif terhadap perekonomian. Sebab, erosi terhadap daya beli masyarakat terhenti. Hal ini berdampak cukup signifikan terhadap perekonomian kita, mengingat belanja rumah tangga memberi kontribusi sekitar dua pertiga dari nilai perekonomian.
Di samping itu, laju inflasi yang semakin terkendali memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga ke level yang lebih rendah. BI Rate turun dari 9 persen pada Maret menjadi 8,5 persen pada Juni. Perlu dikemukakan di sini bahwa di awal tahun BI Rate masih berada pada level 9,5 persen. Turunnya BI Rate diikuti oleh penurunan suku bunga yang lain, termasuk suku bunga deposito dan suku bunga pinjaman.
Suku bunga yang rendah memberikan dampak positif terhadap perekonomian. Orang (atau perusahaan) yang sebelumnya memiliki simpanan di bank tidak sayang lagi untuk membelanjakan uangnya atau berinvestasi.
Sementara itu, orang yang sebelumnya kekurangan dana menjadi tidak enggan lagi untuk meminjam dari bank—untuk belanja atau untuk berinvestasi—karena biaya bunganya lebih murah dari sebelumnya. Akibatnya, belanja rumah tangga dan kegiatan investasi meningkat. Dengan kata lain, aktivitas perekonomian semakin meningkat.
Dengan latar belakang itu, perekonomian Indonesia pada triwulan kedua tahun ini tumbuh dengan laju tahunan sekitar 6,3 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan tahunan pada triwulan pertama 6,0 persen. Pertumbuhan pada triwulan kedua didukung oleh peningkatan investasi sebesar 6,9 persen. Belanja rumah tangga pun meningkat 4,7 persen. Sedangkan ekspor tumbuh 9,8 persen.
Dengan laju inflasi yang tampaknya akan tetap terkendali—sehingga daya beli tidak tergerus lagi dan suku bunga dapat bertahan pada level yang relatif rendah— prospek perekonomian kita tampaknya akan tetap cerah.
Meski begitu, sejumlah kalangan masih meragukan perbaikan yang sedang terjadi. Apalagi media cetak dan elektronik pun kerap mewartakan pandangan beberapa pakar yang menyebutkan bahwa sektor riil masih belum tumbuh.
Pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar. Sektor riil sebenarnya sudah tumbuh. Hampir semua sektor dalam perekonomian mengalami pertumbuhan positif pada paruh pertama tahun ini. Yang jadi soal, perbaikan ekonomi belum dirasakan secara signifikan oleh masyarakat kita. Itu sebabnya, Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) tidak mengalami kenaikan berarti pada triwulan kedua tahun ini.
Walaupun CEI menunjukkan ekonomi kita sudah mulai membaik sejak Maret, IKK tidak ikut naik di bulan tersebut. IKK bahkan bertahan pada level yang relatif rendah di bulan-bulan berikutnya (gambar 1). Pada Juni, IKK bertahan pada level yang relatif cukup rendah 81,6. Artinya, keadaan ekonomi masyarakat kita belum mengalami perbaikan signifikan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ada kesan perbaikan ekonomi belum terlalu dirasakan oleh masyarakat? Lalu, siapa yang menyebabkan pertumbuhan konsumsi tinggi di triwulan kedua? Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut. Namun, analisis lebih mendalam terhadap data survei kepercayaan konsumen dapat memberi gambaran yang lebih jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Bila dilihat berdasarkan tingkat pendapatan, survei IKK menunjukkan bahwa memang telah terjadi perbaikan pada perekonomian kita. Hanya saja, baru kalangan rumah tangga berpenghasilan relatif tinggi yang lebih dapat merasakan dampak positif dari membaiknya perekonomian.
Hal ini terlihat dari meningkatnya IKK untuk rumah tangga dengan penghasilan di atas Rp 1,5 juta per bulan pada Mei dan Juni (IKK Juni 91,9 semakin mendekati level optimis). Sedangkan IKK untuk penduduk berpenghasilan di bawah Rp 1,5 juta per bulan masih tertekan (Hingga Juni, IKK untuk rumah tangga golongan ini masih berkisar di level 80).
Satu hal lagi yang dapat dilihat dari survei kepercayaan konsumen adalah perbedaan signifikan antara IKK rumah tangga berpenghasilan relatif tinggi (> 1,5 juta rupiah per bulan) dan yang berpenghasilan rendah. IKK rumah tangga berpenghasilan rendah secara konsisten berada di bawah yang berpenghasilan tinggi (gambar 2). Perbedaan ini semakin terlihat dengan jelas sejak pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pada Oktober 2005.
Kenaikan harga beras pada Desember lalu juga menekan IKK rumah tangga berpenghasilan rendah ke level yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang terjadi pada IKK rumah tangga berpenghasilan tinggi. Jadi, tampaknya rumah tangga berpenghasilan rendah, lebih rentan dan sulit menyesuaikan diri terhadap gejolak harga yang terjadi
Walaupun demikian, dalam jangka pendek ketidakmerataan dampak pertumbuhan ekonomi belum akan mengancam pemulihan perekonomian. Ini terutama disebabkan oleh belanja rumah tangga konsumen berpenghasilan relatif tinggi yang mendominasi belanja rumah tangga di perekonomian kita.
Dalam jangka yang lebih panjang, kesenjangan ini dapat merangsang tumbuhnya kecemburuan sosial yang kurang sehat, yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Di samping itu, keadaan ini membuat popularitas pemerintah di mata masyarakat berada pada level yang rendah. Kegagalan mengatasi masalah ketidakmerataan ini akan membuat popularitas pemerintah semakin terpuruk.
Jadi, bila dilihat dari sisi pertumbuhan saja, perekonomian Indonesia tampaknya berada pada arah yang benar. Perekonomian kita saat ini masih mengalami ekspansi dengan laju pertumbuhan yang semakin cepat. Namun, laju inflasi harus tetap dijaga agar momentum perbaikan ekonomi yang sedang terjadi tidak terganggu.
Selain itu, masalah ketidakmerataan dampak pembangunan perlu diatasi segera. Tampaknya pemerintah harus bekerja lebih keras untuk melaksanakan kebijakan pembangunan pro-poor alias berpihak pada kaum miskin. Di antaranya dengan merevitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan, dan ekonomi pedesaan untuk mengurangi kemiskinan, seperti yang pernah dijanjikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo