Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Tim Ini Harus Orang Luar

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim menjawab ihwal tim bayangan, dugaan konflik kepentingan, pilihan digitalisasi, dan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

16 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri Nadiem Makarim menjernihkan soal “shadow organization” yang dia sebut di New York.

  • Bagaimana Nadiem menjalankan mandat transformasi sistem pendidikan nasional.

  • Dia membantah soal konflik kepentingan dalam kemenangan Telkom sebagai vendor Kementerian Pendidikan.

ISTILAH “shadow organization” yang diucapkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim dalam Konferensi Tingkat Tinggi Transformasi Pendidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa di markas besar PBB di New York, Amerika Serikat, pertengahan September lalu, memicu keributan. Pernyataan itu menimbulkan persepsi tentang 400 orang yang menjadi tim bayangan di kementeriannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nadiem mengakui ada kesalahan pemakaian istilah dalam pidato tersebut. Ia menjelaskan perubahan besar seperti apa yang ingin dilakukannya dalam dunia pendidikan. “Saya dipilih menjadi Menteri Pendidikan untuk mencapai transformasi total sistem pendidikan agar siap dengan masa depan. Salah satunya dengan digitalisasi,” katanya kepada tim Tempo, Budi Setyarso, Abdul Manan, Raymundus Rikang, Egi Adyatama, Devy Ernis, Tara Reysa, dan Salsyabilla, di kantornya di Jakarta, Jumat, 14 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Didampingi Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Muhammad Hasan Chabibie, Nadiem menjelaskan timnya, cara kerja timnya, dan dugaan konflik kepentingan di dalamnya. Ia juga menerangkan hal-hal yang telah dilakukan untuk meningkatkan kompetensi guru, nasib Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang mandek, dan obral gelar perguruan tinggi negeri kepada pejabat dan politikus.

Soal istilah “shadow organization” itu apa maksudnya?

Jujur saja, saya selip lidah. Yang saya maksudkan itu kata “shadowing”. Jadi seharusnya “shadowing organisation”. Maksud saya dengan “shadowing” adalah setiap direktorat jenderal kami punya kapasitas teknologi dari talenta kelas dunia. Itu yang mendapat tepuk tangan semua orang di dunia. Menurut saya, seharusnya ini juga dibanggakan di Indonesia.

Seperti apa cara kerja tim ini?

Misalnya Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP). Pada saat kami mau mengubah ke asesmen nasional, itu kan disebarluaskan secara online. Untuk melatih 300 ribu kepala sekolah, guna mengerti isinya, mustahil tanpa teknologi. Jadi kami membuat platform Rapor Pendidikan. BSKAP sudah punya desain konsep dan masalah, lalu mereka bilang kepada bagian teknologi untuk membuat program. Tim ini mendesain tampilan antarmuka ramah pengguna untuk semua data itu melalui kerja sama dengan Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian.

Apa beda tim tersebut dengan tim aparatur sipil negara (ASN) di Kementerian?

Mereka vendor. Kami melakukan proses lelang. Yang terpilih adalah Telkom untuk membuat tim teknologi dengan spesifikasi dari kami. Jadi merekalah yang bisa memilih dan merekrut orang-orang yang kami butuhkan. Ini orang bekas perusahaan teknologi multinasional, bekas unicorn. Ini spesies baru yang tumbuh 10 tahun yang lalu, seperti data scientist. Mereka orang-orang yang membuat aplikasi seperti Traveloka dan Grab serta bekerja di end lab computing Amazon.

Jumlahnya 400 orang itu?

Betul. Sekitar itu, lah. Statusnya pegawai Telkom. Bukan pegawai sini.

Apakah tidak mungkin menaikkan kemampuan ASN untuk mengerjakan tugas tersebut?

Ya, enggak mungkin, lah. Orang-orang ini sudah 10 tahun mengerjakan pengembangan Android. Mereka kebanyakan di perusahaan teknologi. Saya saja enggak bisa belajar soal itu. Saya tidak akan mungkin bisa menguasai skill set itu. Saya bukan engineer. Jadi mustahil. Memang harus dari luar.

Pidato itu seperti mengafirmasi keresahan di lingkungan internal Kementerian tentang tim baru itu.

Apa tugas saya sebagai menteri? Regulator sebenarnya cuma sebagian. Dari awal saya dipilih menjadi Menteri Pendidikan untuk mencapai transformasi total sistem pendidikan agar siap dengan masa depan. Salah satunya dengan digitalisasi. Bayangkan organisasi Kementerian Pendidikan. Tadinya cuma kurikulum yang sama dimonitor, seperti halnya regulator. Sekarang kami harus ganti dengan kurikulum baru. Jadi mendesain yang baru. Kami harus mengubah sistem asesmen kami, mengubah program pelatihan guru dan kepemimpinan guru melalui Guru Penggerak dari nol. Kami harus buat ulang sistem itu. Semua ini adalah tambahan pekerjaan yang luar bisa bebannya untuk Kementerian. Makanya banyak orang di Kementerian yang jarang tidur. Itu salah saya. Tapi waktu saya cuma lima tahun.

Ada pandangan miring soal kemampuan birokrasi kita. Anda melihatnya bagaimana?

Birokrasi sama seperti organisasi apa pun. Ada yang baik, ada yang tidak. Impresi pertama saya dengan birokrasi di Kementerian adalah waswas. Ternyata saya salah. Saya berprasangka. Ternyata ada orang-orang yang sangat berbakat di berbagai level. Jadi dalam birokrasi di Indonesia itu banyak orang-orang hebat, idealis, dengan integritas, tapi enggak semuanya diberi kewenangan. Jadi yang pertama saya lakukan adalah mengambil pulau-pulau talenta di dalam birokrasi ASN kami dan memastikan mereka dalam posisi untuk menjalankan program prioritas kami. Namun ada dua faktor yang membuat orang orang-orang hebat ini butuh bantuan. Pertama, ada keahlian yang sama sekali tidak akan pernah ada pada ASN. Kedua, beban pekerjaan yang saya taruh kepada organisasi ini benar-benar dahsyat. Jadi perlu tambahan bantuan. Jangan lupa, ASN itu, seperti Pak Hasan, enggak boleh ninggalin tugas regulernya.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR RI dengan agenda penyerahan laporan panitia kerja peta jalan pendidikan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 10 Maret 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Bagaimana kelanjutan sistem yang Anda bangun setelah Anda tak jadi menteri?

Saya harus berusaha sebaik mungkin untuk melakukan hal-hal yang sebisa mungkin sangat sulit diputar balik. Sebelum memulai program di setiap kebijakan, kami selalu berkumpul dengan pimpinan dan kami melakukan challenge session. Satu pertanyaan yang terpenting adalah ini gampang diputar balik apa tidak? Seberapa sulit? Kami lihat satu per satu. Kalau kakak kelas mahasiswa sudah mendapat kesempatan satu semester 20 SKS di Kampus Merdeka, kemudian tiba-tiba pemerintah menutup kesempatan untuk adik-adik kelasnya, apa yang akan terjadi? Protes.

Kedua, platform Merdeka Mengajar, yang kini 4,8 rating-nya di Play Store. Sudah 1,6 juta pengguna guru di sini. Siapa yang akan menarik platform itu balik? Sedangkan semua guru sudah menggunakannya untuk mempelajari 55 ribu modul pelatihan, mempelajari transisi upskilling (peningkatan kemampuan) pada Kurikulum Merdeka. Siapa yang berani menarik itu kembali? Saya enggak bisa jamin. Tapi, walaupun saya (nanti) bukan menteri, jangan lupa eselon I dan eselon II saya akan tetap di sini. Saya akan meninggalkan tempat ini dengan mengetahui bahwa bukannya tidak mungkin diputar balik, tapi akan sangat sulit. Itu strategi kami.

Lantaran yang menang Telkom, muncul isu soal dugaan konflik kepentingan karena Telkom berinvestasi di Gojek, perusahaan Anda...

Ini hal paling menyedihkan karena saya harus menjelaskan ini. Pertama, saya tidak ada hubungan apa pun lagi sama Gojek. Saat saya menjadi menteri, saya keluar dari semua posisi manajerial. Saya keluar dari posisi board. Saham yang saya miliki, yang biasanya memiliki voting share, saya lepaskan. Itu artinya saya tidak punya segelintir pun kekuasaan, kewenangan, atau apa pun di Gojek, yang sekarang jadi GoTo. Saya enggak bisa ke sana, saya enggak bisa ngatur, bahkan saya enggak bertemu dengan orang-orang di situ sama sekali karena terlalu sibuk di sini.

Kedua, benefit-nya apa buat saya? Kalau ada konflik kepentingan kan biasanya ada benefit. Tolong cerahkan saya, dari mana saya bisa mendapat benefit dari ini? Enggak masuk akal.

Ketiga, kami mengikuti proses pengadaan dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. By the book, kami melakukan prosesnya, dikawal dari awal. Dan memang yang menang, ya, Telkom. Jadi, jujur saja, saya enggak mengerti mengapa integritas saya masih dipertanyakan. Saya ngapain jadi menteri? Buat apa? Saya enggak perlu apa pun lagi. Saya sudah nyaman di swasta, ngapain saya masukin diri ke medan perang ini kalau bukan saya mau bantu negara ini? Jadi saya terima kritik, tapi terhadap integritas saya, enggak bisa saya terima.

Kalau Gojek yang mendapat proyek lain lagi ceritanya, ya?

Nah, itu konflik kepentingan. Jelas.

Anda sering turun setelah ramai soal isu tim bayangan itu?

Ya. Namanya pemimpin, kalau kami melihat ada keresahan, pemimpin yang baik harus langsung turun. Jadi kami melakukan AMA (ask me anything).

Keresahan ihwal itu memang muncul?

Ada. Tapi setelah dijelaskan dan mereka tahu, ya, enggak sebesar yang ada. Ada kelompok kecil yang sangat resah, makanya sampai bocor-bocorin keluar. Tapi itu kelompok juga enggak akan mungkin hilang dalam Kementerian. Itu kelompok yang merasa termarginalkan. Dalam setiap transformasi pasti ada grup seperti itu. Enggak semua orang bisa saya tenangkan.

Ada yang menilai tim ini, karena banyak lulusan luar negeri, bersikap seperti bos sehingga menimbulkan gesekan. Benar?

Benturan budaya itu sangat normal. Tensi-tensi ini adalah hal yang baik. Mengeluarkan kita dari zona nyaman, berinteraksi dengan mengetahui seperti apa dunia di luar. Kami mengakui saat ini kami belum kelas dunia. Tapi impian saya bisa menjadi organisasi kelas dunia. Untuk itu, kami perlu berbaur dengan berbagai macam budaya profesi. Salah satu tes bahwa kami melakukan perubahan adalah ada resistansi, baik di luar maupun di dalam. Kalau enggak ada, artinya kami enggak melakukan sesuatu. Itu adalah validasinya.

Bisa diidentifikasi siapa saja yang resistan itu?

Banyak. Macam-macam alasannya. Ada beberapa kelompok yang mungkin merasa tidak dilibatkan karena kami bergerak cepat. Sudah kami coba beberapa kali (mengajak mereka), tapi banyak yang enggak mau. Karena itu, respons dan reaksi mereka adalah mengambil sikap oposisi atas apa pun yang kami lakukan. Silakan. Ada kelompok yang menunggangi karena politik saja. Kesempatan ada menteri yang profilnya lumayan besar, ya sudah, serang saja. Ada juga yang valid, mengkritik kebijakan dan metodenya. Ini saya senang karena substantif.


Nadiem Anwar Makarim

Tempat dan tanggal lahir: Singapura, 4 Juli 1984

Pendidikan
S-1 Hubungan Internasional Brown University, Amerika Serikat
S-2 Master of Business Administration Harvard Business School, Amerika Serikat

Karier
Konsultan McKinsey & Co (2006-2009)
Co-Founder dan Chief Executive Officer Gojek (2010-2019)
Co-Founder dan Managing Director Zalora Indonesia (2011-2012)
Chief Innovation Officer Kartuku (2013-2014)
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2019-sekarang)


Kritik juga datang dari organisasi profesi guru?

Contohnya sewaktu pembahasan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional itu, yang mungkin punya dampak terbesar pada kesejahteraan guru, tapi ditolak. Akhirnya enggak jadi. Karena beda kebijakan dengan narasi. Saya ambil contoh. Kenapa 1,6 juta guru ini sekarang harus antre 20 tahun sampai mereka pensiun untuk terima tunjangan? Karena di Undang-Undang Guru dan Dosen disebutkan tunjangan profesi khusus untuk guru harus didapatkan lewat Pendidikan Profesi Guru selama satu tahun. Kelihatannya bagus. Tapi dengan undang-undang itu tidak ada guru yang bisa mendapatkan tunjangan sampai mereka lulus PPG. Padahal kapasitas PPG kita terbatas per tahun. Dari 2005 sampai sekarang cuma 1,3 juta guru (yang lulus) dan banyak dari mereka yang sudah langsung pensiun.

Kenapa ASN lain enggak komplain? Karena mereka menerima tunjangan seperti ASN lain. Jadi kalau kita buang istilah “tunjangan profesi”, kita bisa langsung mengacu pada Undang-Undang Aparatur Sipil Negara dan langsung memberikan mereka tunjangan yang lebih baik. Yang diangkat di publik (adalah) tunjangan profesi dicabut. Akhirnya (rancangan) ditolak. Saya mencoba menjelaskan kepada organisasi profesi guru beberapa kali. Di Dewan Perwakilan Rakyat kami jelaskan. Ditolak. Kemungkinan ini untuk jalan lagi akan sangat kecil karena (tahun depan) menuju tahun politik.

Bagaimana hasil komunikasi dengan Presiden?

Saya sudah laporkan ke Pak Presiden. Tapi mungkin saya sedikit naif. Saya mengira, karena begitu banyak bobot positifnya untuk para guru, wajib belajar 13 tahun juga ada di situ, akan didukung secara politik. Tapi kenyataannya enggak semua orang punya agenda yang sama.

Apakah pembahasannya sudah melibatkan banyak organisasi pendidikan?

Puluhan organisasi kami temui untuk membahas ini.

Merdeka Belajar dikritik karena sekolah seperti ingin lebih mencetak praktisi….

Pendidikan ini untuk memastikan bahwa semua orang punya kesempatan berkarya, berekspresi, dan punya kesempatan ekonomi. Pertanyaan itu, kalau boleh saya klarifikasi, “Kalau bukan mau jadi praktisi, mau jadi apa?”

Di perguruan tinggi, Kementerian dinilai lebih berfokus pada pengembangan keahlian yang teknis dan kurang dalam soal sains.

Pertama, Kedaireka adalah program riset dan inovasi. Ini program matching fund dengan industri dan semua inovasi itu ada pada peneliti kampus. Cuma, risetnya dengan mitra dari luar, yaitu industri. Itu adalah pengembangan inovasi dan ilmu yang didukung serta dibayar 50 persen juga dari pihak swasta. Kami matching fund melalui Kedaireka. Pas mereka klop, swasta berkomitmen uang segini, kami match. Udah triliunan rupiah sekarang jumlah yang masuk di situ. Nah, kalau fokus kami kepada riset, itu jawaban saya.

Kedua, adanya program Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Sekarang dosen tidak perlu lagi memilih mengajar atau melakukan riset sehingga dosen-dosen yang memiliki passion pada riset bisa melakukan itu dan mendapatkan kredit. Kira-kira berapa persen lulusan kita yang akan menjadi ilmuwan dan scientist? Maksimal mungkin 5 persen. Jadi yang 95 persen ngapain? Ya, kerja atau menjadi wirausaha. Krisis pendidikan tinggi kita sekarang adalah tidak adanya kecocokan antara skill set pada saat mereka lulus dan tuntutan (pasar)? Itu sebenarnya yang menjadi area fokus. Saya senang kalau dituduh berfokus agar anak-anak kita perutnya enggak kosong pada saat lulus.

Bagaimana dengan peningkatan kualitas guru?

Bayangkan kalau kami harus mengeluarkan triliunan rupiah untuk melatih guru di tiap daerah. Sekarang 60 ribu modul pelatihan di-deliver di platform Merdeka Mengajar. Sebanyak 55 ribu modul pelatihan sudah diunduh sekitar 1,6 juta guru yang aktif di situ. Kedua, upskilling. Jangan lupa, Kurikulum Merdeka adalah pelatihan guru. Jadi dampak Kurikulum Merdeka ada tiga: lebih ringkas, materi lebih mendalam, dan guru diberi fleksibilitas. Project based-learning menjadi komponen besar.

Perguruan tinggi juga menjadi sorotan karena dianggap kerap mengobral gelar.

Terus terang ini belum menjadi fokus saya. Masih ada banyak sekali masalah lain yang menurut saya lebih penting. Tapi dasarnya adalah kami memberikan kemerdekaan kepada tiap kampus untuk melakukan apa yang menurut mereka terbaik dari sistem ini. Kalau itu melanggar etika atau apa, kami sangat mengharapkan segera dilaporkan. Kalau ada hal-hal yang melanggar etika, baru kami proses, seperti kasus-kasus penerimaan uang yang terjadi baru-baru ini. Tapi di luar itu saya belum ada komentar.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus