Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia menaikkan target pengurangan emisi menjadi dengan kemampuan sendiri sebesar 31,89 persen, meningkat dari sebelumnya 29 persen, atau sebesar 43,20 persen dengan dukungan internasional, meningkat dari sebelumnya 41 persen.
Strategi-strategi menekankan kebijakan nasional seputar transisi energi dan kebijakan di sektor kehutanan.
Dianggap tak ampuh menurunkan emisi, bahkan justru menambah emisi.
ENAM pekan menjelang Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-27 (COP27) di Sharm el-Sheikh, Mesir, Indonesia memperkuat komitmen iklimnya melalui dokumen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional yang Ditingkatkan (Enhanced NDC).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perbedaan dengan Updated NDC yang dikirimkan ke sekretariat Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) pada 22 Juli 2021 adalah meningkatnya ambisi penurunan emisi karbon, yakni dengan kemampuan sendiri sebesar 31,89 persen dari sebelumnya 29 persen dan dengan dukungan internasional 43,20 persen dari sebelumnya 41 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi tidak menjawab surat permohonan penjelasan yang Tempo kirimkan. Namun dalam situs Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim disebutkan Enhanced NDC yang disampaikan ke sekretariat UNFCCC pada 23 September 2022 itu bertujuan memenuhi Keputusan 1/CMA.3 yang disepakati dalam COP Ke-26 di Glasgow, Skotlandia, tahun lalu. Keputusan itu mengamanatkan setiap negara pihak meningkatkan target NDC agar selaras dengan skenario mencegah kenaikan suhu global 1,5 derajat Celsius.
Peningkatan target tersebut diklaim KLHK sejalan dengan Strategi Jangka Panjang untuk Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (LTS-LCCR) 2050 menuju emisi nol bersih pada 2060 atau lebih cepat. Dalam siaran pers pada Ahad, 2 Oktober lalu, KLHK menegaskan peningkatan target tersebut didasarkan pada pelbagai kebijakan mutakhir mengenai mitigasi perubahan iklim, antara lain percepatan penggunaan kendaraan listrik, penggunaan biodiesel 40 persen (B40), pemanfaatan lumpur (sludge) nikel, serta strategi penyerapan bersih sektor kehutanan dan penggunaan lahan pada 2030 (FOLU Net Sink 2030).
KLHK menyebutkan, selain perkembangan di setiap sektor, perkembangan kebijakan skala nasional mendasari penghitungan peningkatan target penurunan emisi hingga 2030. Kebijakan yang dimaksud adalah Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Aturan itu mengatur pasar karbon dengan mekanisme cap and trade, pengimbangan emisi melalui skema carbon offset, pembayaran berbasis kinerja, pungutan pajak karbon, dan kombinasi skema yang ada.
Mobil listrik saat persiapan pameran Pameran Periklindo Electric Vehicle Show (PEVS) 2022 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Juli 2022. Tempo/Tony Hartawan
Perdagangan karbon di subsektor pembangkit listrik tenaga uap digadang-gadang sebagai program percontohan melalui mekanisme cap and trade dan carbon offset, dan diperketat dengan pajak karbon bagi PLTU yang jumlah emisinya tetap berlebih. Pada awal 2022, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rida Mulyana mengatakan penerapan perdagangan karbon di sektor pembangkitan tersebut termaktub dalam peta jalan transisi energi Indonesia menuju emisi nol bersih pada 2060. Rencananya saat itu skema ini diberlakukan pada 1 April 2022.
Pelaksanaan mekanisme perdagangan karbon di sektor pembangkit listrik tenaga batu bara tersebut ditunda berkali-kali. Terakhir, hanya berselang dua pekan setelah KLHK mengumumkan perubahan target penurunan emisi gas rumah kaca itu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan penundaan pemberlakuan pungutan pajak karbon. "Untuk merealisasi komitmen menurunkan gas rumah kaca, dan yang diterapkan lebih awal adalah perdagangan karbon ataupun pajak karbon, ditargetkan berfungsi pada 2025," kata Airlangga, Kamis, 13 Oktober lalu, saat membuka Capital Market Summit & Expo.
Direktur Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan penambahan target penurunan emisi sebesar 40 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) itu berasal dari penggunaan B40 dan kendaraan listrik. "Hal itu sesuai dengan rencana pemerintah di sektor energi. Pemerintah sudah menetapkan pada 2025 akan ada pencampuran penggunaan bahan bakar nabati sebesar 40 persen," ucapnya. Ia juga menyinggung rencana penggunaan kendaraan listrik sebagai kendaraan operasional pemerintah yang disusun sampai 2025. "Kalau targetnya diikuti dan tercapai, penurunan emisi gas rumah kaca mungkin tercapai," tuturnya.
Menurut Fabby, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Dalam dokumen Enhanced NDC secara gamblang disebutkan bauran energi menggunakan B40 yang berasal dari sawit. "Perlu dihitung emisinya berasal dari mana, juga stoknya perlu diperhatikan," katanya. Ia menambahkan, sawit yang akan digunakan untuk biofuel harus berasal dari lahan yang sudah ada sehingga tidak perlu membuka lahan baru. Selain menggunakan sawit, Fabby melanjutkan, pemerintah harus melihat peluang lain dari tebu melalui peremajaan lahan-lahan lama dengan tanaman tebu. "Atau menggunakan minyak jelantah yang bisa diolah untuk bahan bakar nabati," ucapnya.
Direktur Program Trend Asia Ashov Birry mencermati hal yang sama. Menurut dia, transisi energi melalui skema co-firing, seperti yang dilakukan di PLTU Indramayu, Jawa Barat, dengan pelet kayu tidak akan efektif menurunkan emisi. Selain hanya terkesan menambah panjang usia PLTU tua yang seharusnya bisa dipensiunkan, penggunaan pelet kayu hanya menggantikan 5-10 persen pasokan batu bara. "Pada akhirnya tetap akan mengkonsumsi batu bara dalam jumlah besar dan menambah jumlah emisi dari pembukaan hutan untuk memenuhi bahan baku energi," ujarnya.
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) akan menerapkan co-firing pada 52 lokasi PLTU di seluruh Indonesia untuk memenuhi target bauran energi dari energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen pada 2025. Untuk dapat mencapai target tersebut, PLN membutuhkan bahan baku biomassa hingga 14 juta ton per tahun. Guna memenuhi kebutuhan bahan baku, strateginya adalah bekerja sama dengan badan usaha milik negara kehutanan, pertanian, dan perkebunan serta menggandeng swasta membangun hutan tanaman industri (HTI) yang dikhususkan untuk energi (hutan tanaman energi).
Kebijakan lain, seperti penggunaan kompor listrik bagi rumah tangga menengah ke bawah, menurut Ashov, diambil sebagai upaya pemerintah untuk menyerap kelebihan pasokan listrik. "Di Jawa ada kelebihan pasokan listrik sebesar 52 persen dan masih akan ada tambahan lain seiring dengan penambahan kapasitas PLTU hingga 2030. Di Sumatera pun terjadi cerita yang sama," tuturnya. Menurut Ashov, kelebihan pasokan tersebut lalu diatasi melalui kebijakan penggunaan kompor listrik dan kendaraan listrik. "Sementara ini pemerintah belum siap memensiunkan PLTU," ujarnya.
Menggenjot penggunaan mobil listrik juga mendatangkan kutukan lain, yaitu penambangan mineral besar-besaran untuk memenuhi bahan baku mobil listrik seperti nikel dan aluminium. Selain kebijakan itu tidak menyentuh kebutuhan mendasar masyarakat, Indonesia berisiko hanya menjadi penonton yang cuma kebagian kotornya. "Yang harus diberi ruang besar adalah transportasi publik yang nyaman, yang jadi hak mendasar masyarakat dan mampu mengurangi penggunaan kendaraan pribadi," kata Ashov.
Ihwal kebijakan penggantian kompor elpiji menjadi kompor listrik, Ashov berpendapat rencana itu terkesan dipaksakan untuk masyarakat menengah ke bawah yang terbiasa menggunakan tabung gas 3 kilogram. "Masyarakat yang harus menanggung karena daya listrik harus dinaikkan dan kelak membayar lebih mahal," ujarnya. Menurut Fabby Tumiwa, kebijakan penggunaan kompor listrik menunjukkan pemerintah tidak memberi ruang untuk pelibatan masyarakat. "Bahkan tidak ada survei sambungan listriknya memadai atau tidak," ucapnya.
Menanggapi peningkatan target penurunan emisi dengan mengandalkan B40 dan biomassa dari pelet kayu, Kepala Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup Badan Riset dan Inovasi Nasional Nugroho Adi Sasongko mengatakan pemerintah harus berhati-hati. Menurut dia, penggunaan pelet kayu ataupun limbah sawit yang memerlukan pengolahan sebelum dapat digunakan menjadi bahan bakar tidak dapat dihitung sebagai proses nol emisi atau netral karbon. “Sebab, pemrosesannya memerlukan energi yang harus dihitung jumlah emisinya,” katanya.
Ihwal penggunaan campuran sawit untuk biodiesel B40, ia mengatakan pemerintah juga harus berhati-hati menghitung potensi emisi yang terlepas dari lahan muasal minyak sawit. "Carbon payback capture (periode penangkapan kembali karbon) untuk perkebunan sawit adalah 50-60 tahun," ucapnya. Senada dengan Nugroho, Ashov menuturkan, apabila sawit itu berasal dari pembukaan hutan primer dengan tutupan hutan yang masih sangat rapat, besar kemungkinan Indonesia akan memiliki utang karbon dari emisi-emisi hutan tersebut.
Nugroho juga menyoroti pemodelan perubahan iklim dari NDC yang bersifat makro dengan data hitungan CO2 dari setiap kementerian. Dengan kondisi basis data yang masih belum kokoh, ia khawatir akan klaim hitungan 32 persen dan 43 persen yang bakal sulit diverifikasi. Padahal basis data menjadi hal penting ketika KLHK menyatakan akan menguatkan Sistem Registri Nasional sebagai pencatatan karbon dan platform Satu Data GRK. Ia menilai kesiapan Indonesia belum cukup matang untuk membuat Sistem Registri Nasional.
Padahal di negara-negara tetangga, tutur Nugroho, telah terbangun sistem registri yang bahkan sudah terintegrasi produk per produk yang telah dihitung jejak karbonnya beserta kode klasifikasi barang ekspor-impor (HS code) untuk perdagangannya. "Thailand pada 2002 sudah membangun sekitar 4.000 basis data," ujarnya. Dalam skenario perdagangan global, menurut dia, basis data ini penting karena Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Uni Eropa sudah berancang-ancang memberlakukan batasan (cap) karbon untuk setiap produk.
Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan Yosi Amelia menyoroti pertambahan angka deforestasi dari sebelumnya hanya 325 ribu hektare menjadi 359 hektare. Juga aksi-aksi pengurangan emisi yang masih menitikberatkan lahan konsesi HTI. Padahal, kata dia, ada sekitar 9,7 juta hektare hutan primer dengan kondisi tutupan hutan masih sangat baik yang tidak masuk peta moratorium izin dan peta pencadangan untuk perhutanan sosial sehingga rawan beralih fungsi. "Ketika terjadi pembukaan hutan, tidak ada penegakan hukum yang dapat diambil karena alasnya tidak ada," ucapnya.
Yosi juga mempersoalkan strategi-strategi pencapaian target NDC di sektor FOLU dengan pelbagai macam kebijakan yang kerap berubah dan kurangnya transparansi kementerian. Menurut dia, KLHK kerap mempublikasikan angka-angka capaian yang fantastis tapi tidak dapat ditelusuri atau diverifikasi di lapangan. Hal ini membuat capaian pengurangan emisi gas rumah kaca terasa stagnan. "Penyusunan baseline projected sampai 2030 pun sulit dilacak historinya," tuturnya.
YAZIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo