Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rusia merekrut tentara cadangan dengan segala cara.
Keluarga pemuda yang ikut wajib militer diiming-imingi bahan makanan.
Analis memperkirakan Rusia hanya sedikit memiliki anggota pasukan cadangan yang siap tempur.
RUSIA berusaha mempercepat mobilisasi militer, yang mengerahkan penduduk untuk ikut wajib militer, buat memperkuat pasukannya dalam perang Rusia-Ukraina. Pada Jumat, 14 Oktober lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan angkatan bersenjata telah menerima 33 ribu peserta wajib militer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya katakan 222 ribu (orang yang dimobilisasi) sekarang menjadi bagian dari unit pembentuk pasukan. Jadi 33 ribu orang yang dimobilisasi ditempatkan di unit dan 16 ribu ditempatkan di unit yang ditugasi dalam misi tempur,” ujar Putin, seperti dikutip kantor berita Rusia, TASS. Putin mengatakan upaya mobilisasi ini akan diselesaikan dalam waktu sekitar dua pekan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putin mengumumkan mobilisasi militer untuk memperkuat komponen cadangan pada Rabu, 21 September lalu. Menteri Pertahanan Rusia Sergey Shoigu mengatakan 300 ribu orang harus ikut wajib militer, terutama mereka yang memiliki pengalaman tempur dan keahlian militer yang dibutuhkan Tentara Merah.
Selain menawarkan uang, pemerintah mengiming-imingi penduduk agar menjadi prajurit dengan bahan pangan bagi keluarga yang ditinggalkan. Tawaran paling dermawan datang dari Tuva, republik di kawasan Siberia. Setiap keluarga prajurit akan mendapat seekor domba hidup, 50 kilogram tepung, dua kantong kentang, dan kol sesuai dengan kebutuhan. Tuva adalah tempat kelahiran Sergey Shoigu dan salah satu daerah termiskin di Rusia.
Pemerintah di wilayah Sakhalin, pulau di Pasifik, menjanjikan 5 kilogram ikan beku. Di Kota Kurgan, Ural, mereka menjanjikan 1 kilogram salo (lemak babi asin) bagi orang yang mendaftar wajib militer di pasar daging lokal. Kota Obninsk, dekat Moskow, menjanjikan makan siang gratis di sekolah kepada anak-anak yang anggota keluarganya ikut wajib militer.
Namun banyak orang menolak kebijakan ini. Puluhan ribu warga Rusia berusaha menghindari wajib militer dan berbondong-bondong menyeberang ke negara tetangga, seperti Georgia, Mongolia, Finlandia, dan Kazakstan. Pejabat Kazakstan menyatakan sekitar 40 ribu warga Rusia telah masuk ke negaranya dan kemudian melanjutkan perjalanan ke negara lain, terutama Uzbekistan dan Kirgistan.
Tempo berusaha menghubungi sejumlah warga Rusia di dalam dan luar negeri mengenai situasi ini. Namun mereka enggan memberikan keterangan karena khawatir hal itu akan berdampak buruk pada mereka atau mengancam keselamatan keluarga mereka.
Pemerintah Rusia kini mencoba meningkatkan upaya mobilisasi itu. The Moscow Times melaporkan bahwa perekrut kini menggunakan metode baru yang justru ditentang oleh para politikus. Tentara dan polisi mulai memeriksa dokumen identitas orang-orang yang lewat di sekitar pintu masuk stasiun kereta api bawah tanah di Moskow dan Saint Petersburg pada Jumat, 14 Oktober lalu. Mereka juga membagikan pengumuman wajib militer kepada para lelaki yang dianggap memenuhi syarat di lorong gedung apartemen.
Petugas perekrutan bahkan memaksa orang-orang untuk ikut wajib militer. RBC Daily, surat kabar di Moskow, melaporkan bahwa petugas perekrut telah menangkap orang-orang di Distrik Kalininsky, Saint Petersburg, agar mengikuti wajib militer. Pejabat pemerintah Saint Petersburg membenarkan hal tersebut. “Di sejumlah alamat di Distrik Kalininsky, orang-orang yang secara pribadi menerima panggilan wajib militer ternyata tidak muncul di komisariat militer dan tidak memberikan kredensial tentang diri mereka sendiri, sehingga panggilan diberikan kepada mereka lagi,” kata pejabat tersebut.
Kirill Kabanov, anggota Dewan Hak Asasi Manusia Kepresidenan Rusia, mengkritik “serangan” militer terhadap penduduk semacam ini. Dia meminta Ketua Dewan Hak Asasi Manusia menggugat hal ini ke Kejaksaan Rusia. “Kamerad, apakah Anda mengerti bahwa Anda melakukan pelanggaran hukum dan menciptakan sikap bermusuhan di masyarakat terhadap segala sesuatu yang terjadi? Ada lebih banyak kerugian dari tindakan seperti ini daripada dari propaganda Ukraina,” tulisnya di Telegram. “Sulit untuk menilai kerugian moral dan sosial-politik serta konsekuensi dari tindakan tersebut.”
Andrey Klishas, anggota Dewan Federasi Rusia, senat negeri itu, juga memprotes cara mobilisasi paksa seperti itu. “Setiap pesan tersebut harus diverifikasi dan, jika dikonfirmasi, tindakan pejabat yang memberi wewenang 'penggerebekan' tersebut harus dinilai secara hukum,” tulisnya di Telegram.
Petugas perekrut bahkan memobilisasi para tunawisma. Food Not Bombs, para aktivis penentang perang yang biasa membagikan makanan vegan gratis, melaporkan bahwa perekrutan terjadi di Hanggar Keselamatan, organisasi Gereja Ortodoks yang membantu para tunawisma di Moskow. Menurut mereka, sejumlah orang dibawa ke bus dengan sedikit paksaan menuju tempat perekrutan. Beberapa kemudian dibebaskan karena tidak memenuhi syarat, seperti syarat usia dan kesehatan.
“Yah, ada 20-25 orang di bus, dan bus tiba di sana kosong. Ada dua polisi distrik dan dua 'penerima', yah, karyawan stasiun perekrutan, yang kini telah dibuka di halaman Museum Moskow,” tutur seorang pria tunawisma kepada Food Not Bombs. “Untuk alasan kesehatan, satu orang tidak cocok. Saya tidak tahu persis berapa lama. Kami dilepaskan satu per satu.”
Perekrutan ini terjadi di tengah kemunduran Rusia dalam invasi ke Ukraina. September lalu, Menteri Sergey Shoigu menyatakan mereka telah kehilangan 5.937 tentara dalam perang, angka resmi pertama yang pernah diumumkan, sedangkan Kementerian Pertahanan mengklaim hanya 1.351 tentara yang tewas.
Rusia diperkirakan telah menerjunkan 150 ribu anggota pasukan sejak akhir Februari lalu. Bila perekrutan 300 ribu prajurit melalui wajib militer tercapai, kekuatan Rusia akan berlipat ganda. Meskipun demikian, bukan berarti angkatan bersenjata Rusia lebih digdaya.
Institute for the Study of War, lembaga riset Amerika Serikat yang memantau perang di Ukraina, menyatakan militer Rusia adalah gabungan sistem wajib militer dan komponen cadangan tradisional dengan sistem kontrak profesional. Angkatan Darat Rusia telah berupaya untuk memprofesionalkan jajarannya, khususnya dalam 15 tahun terakhir, tapi mereka tetap bergantung pada wajib militer, baik untuk pasukan aktif maupun pasukan cadangan jika terjadi mobilisasi. Prajurit kontrak terkonsentrasi di unit kader dan elite, sedangkan sebagian besar unit tempur harus diisi oleh pasukan cadangan yang dimobilisasi agar mampu berperang.
Pasukan cadangan Rusia beranggotakan lebih dari 2 juta tentara bekas wajib militer dan prajurit kontrak, tapi hanya sedikit yang secara aktif dilatih atau dipersiapkan untuk perang. “Secara historis, hanya 10 persen dari komponen cadangan yang menerima pelatihan penyegaran setelah menyelesaikan masa tugas mereka,” tulis Institute for the Study of War dalam laporannya.
Selain itu, Rusia tidak memiliki kapasitas administratif dan keuangan untuk melatih pasukan cadangan secara berkelanjutan. Menurut analisis RAND pada 2019, Rusia hanya memiliki 4.000-5.000 orang sebagai cadangan aktif, yakni yang mengikuti pelatihan rutin bulanan dan tahunan. Sisanya memerlukan latihan selama sedikitnya enam bulan sebelum dapat bertugas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo