Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PPATK mendeteksi sejumlah transaksi mencurigakan di perbankan yang dilaporkan ke Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN), yang melibatkan pengusaha asal Indonesia.
PPATK mendeteksi banyak kejahatan keuangan saat pandemi Covid-19.
PPATK sedang mendorong Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana.
PUSAT Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah mendeteksi aliran transaksi mencurigakan dari sejumlah perusahaan luar negeri ke Indonesia yang melibatkan beberapa bank dalam negeri. Transaksi mencurigakan yang dilaporkan Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN) tersebut terjadi pada 2011-2015. Hasil investigasi Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional (ICIJ), termasuk Tempo, menemukan beberapa dari ribuan transaksi yang disebutkan dalam dokumen yang dikenal sebagai FinCEN Files itu melibatkan pengusaha asal Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala PPATK Dian Ediana Rae mengatakan lembaganya sudah bekerja sama dengan lembaga intelijen keuangan Amerika Serikat tersebut untuk menindaklanjuti laporan itu. “Enggak ada yang kami umpetin,” kata Kepala PPATK Dian Ediana Rae, 60 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo, Jumat, 11 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dian menuturkan banyak celah yang masih dapat dimanfaatkan oleh orang yang berniat melakukan tindak pidana pencucian uang, dari ketidaksinkronan identitas sampai minimnya pengawasan dalam sistem perbankan. “Karena itu, kami membicarakan bagaimana memperbaiki mekanisme pengawasan. Kami tak mau ada celah,” ujar Dian, yang menggantikan Kepala PPATK sebelumnya, Kiagus Ahmad Badaruddin, yang berpulang pada 14 Maret lalu.
Kepada wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi, Raymundus Rikang, dan Nur Alfiyah, Dian menuturkan berbagai celah tersebut juga dimanfaatkan oleh para penjahat selama pandemi Covid-19. PPATK menerima banyak laporan dari negara lain. Empat warga Indonesia dijadikan tersangka kasus penipuan terhadap perusahaan Italia dan Cina dalam kasus yang terkait dengan business e-mail compromised. Mereka membelokkan pembayaran transaksi dua perusahaan tersebut yang bernilai puluhan miliar rupiah dengan cara memalsukan identitas. Dalam wawancara yang berlangsung di ruang rapat PPATK, Jalan Ir H Juanda, Jakarta Pusat, itu, Dian juga berbicara tentang perkembangan kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Hasil investigasi kolaborasi oleh ICIJ menemukan ribuan transaksi mencurigakan dari berbagai laporan bank kepada lembaga intelijen keuangan Amerika Serikat, Financial Crimes Enforcement Network, pada 2011-2015. Di antara ribuan transaksi itu, beberapa melibatkan pengusaha asal Indonesia. PPATK sempat mendeteksinya?
Iya, itu yang berkaitan dengan business e-mail compromised. Bukan hanya FinCEN, tapi juga FBI menangani masalah ini dengan kami supaya bisa cepat. PPATK punya kewenangan membekukan transaksi. Begitu ada informasi dari intelijen tadi, yang kami lakukan adalah membekukan dulu transaksinya selama 15 hari sambil membereskan semuanya sebelum kami ambil alih dan menyerahkannya ke penegak hukum.
Pada periode itu, berapa banyak yang terdeteksi?
Seingat saya lebih dari sepuluh. Ini sangat menarik. Kalau orang menipu dengan cara itu, pertama, susah ketemu dan harus ada waktu. Kedua, duitnya pasti bukan duit kecil. Ekspor-impor itu tidak kecil.
Apakah PPATK sudah memperingatkan perbankan bahwa ada peringatan dari lembaga intelijen keuangan Amerika?
Itu bukan semata-mata alert. Kami sudah menindaklanjutinya. Kami bekerja sama dengan FinCEN. Makanya banyak kasus business e-mail compromised yang dari Amerika bisa diselamatkan. FinCEN turun tangan. Enggak ada yang kami umpetin. Bahkan sudah kami serahkan informasi ke aparat penegak hukum.
Dengan sistem yang ada, apakah PPATK bisa mendeteksi setiap transaksi yang mencurigakan?
Kami mencoba menutup semua lubang karena kami masih melihat loophole (celah). Kami melihat ada ruang gerak yang masih bisa dimanfaatkan oleh orang yang ingin melakukan tindak pidana pencucian uang. Misalnya, kalau melihat bank diatur, orang biasanya akan berpindah dari bank umum ke bank perkreditan rakyat (BPR). Ketika BPR diawasi, dia lari ke microfinance, terus ke koperasi. Makanya kita bisa tiba-tiba mendengar ada koperasi simpan pinjam yang bermasalah sampai triliunan rupiah. Karena itu, kami membicarakan bagaimana memperbaiki mekanisme pengawasan. Kita tidak mau ada celah.
Celah tersebut masih banyak?
Masih cukup lumayan. Tapi kami menggunakan prinsip risk-based principal. Artinya, mana yang paling berisiko yang akan kami fokuskan sehingga tenaga kami tidak terpakai untuk hal-hal yang tak terlalu signifikan.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae tiba untuk menemui Pimpinan KPK dalam rangka koordinasi antar lembaga di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (10/9/2020). /ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Apakah celah itu masih ada karena ada bank yang tidak melaporkan transaksi mencurigakan dari nasabah penting mereka?
Iya, ini masih terjadi. Apakah ini disengaja atau tidak, apakah dia takut, ataukah dia tak tahu bahwa pejabat ini yang dimaksud.
Apa yang dilakukan PPATK untuk mengatasi hal ini?
Kami melakukan pemeriksaan. Kalau ditemukan yang seperti itu, denda yang kami berikan kepada bank tersebut tidak sedikit. Sudah banyak yang didenda, cuma tidak boleh diumumkan. Bahkan, kalau mau, kami bisa memidanakannya menggunakan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Itu yang disebut tindak pidana pencucian uang pasif.
Apakah sistem perbankan di Indonesia bisa memastikan tidak ada aliran dana ilegal atau dana dari korupsi yang masuk?
Sistem kita belum 100 persen imun terhadap masuknya uang hasil kejahatan. Ada beberapa hal yang sedang kami perbaiki. Kualitas pelaporan yang disampaikan kepada kami itu tergantung beberapa hal, misalnya, apakah sistem antifraud mereka sensitif atau tidak, apakah mereka menggunakan IT (teknologi informasi) yang canggih atau tidak, parameter yang mereka pakai sensitif atau tidak. Misalnya korupsi, parameternya pasti terkait dengan pejabat negara. Berarti data nasabahnya harus benar. Salah satu kesulitan bank adalah membedakan profesi orang. Karena terkadang, ketika orang ditanyai pekerjaannya, dia menjawab wiraswasta. Padahal dia bupati atau aparat penegak hukum.
Bukankah bisa dicocokkan dengan data di KTP?
KTP kan juga sama. Lagi pula, KTP kita itu belum sebagus, katakanlah seperti social security number di Amerika Serikat. Identitas orang di sana enggak akan tertukar, tapi di kita masih ada yang dipalsukan. Kami sedang membangun data politically exposed persons (PEP), yakni orang-orang yang terekspos secara politik, untuk membantu bank. Mau dia pejabat pemerintah pusat, pejabat daerah, pejabat hukum, mau pejabat partai politik, nanti dilihat pola transaksinya. Daftar PEP ini dari awalnya berisi 347 pejabat negara dan anggota partai politik sekarang sudah menjadi 1,3 juta orang, terkait dengan keluarga dan orang yang terafiliasi. Mudah-mudahan tahun depan sudah bisa dipakai di semua bank.
Bagaimana PPATK mengumpulkan semua data itu?
Kami bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan beberapa lembaga lain. Tidak mudah menyusunnya karena nomenklatur yang berbeda antara satu data dan data lain. Misalnya, nama saya Dian Ediana Rae, ada yang menulis lengkap, ada yang menulis Dian E. Rae. Untuk membereskan itu saja membutuhkan waktu satu tahun.
Di masa pandemi Covid-19 ini, apakah PPATK memantau adanya indikasi peningkatan tindak kejahatan?
Karena ini wabah, sektor yang pasti berkembang adalah kesehatan. Penjahat juga melihat ke sana. Kami melihat ada puluhan business e-mail compromise. Misalnya ada perusahaan A mengimpor dari perusahaan B. Perusahaan A sudah harus melakukan pembayaran, tapi ada peretas dari luar yang masuk, mengambil semua data. Perusahaan A yang biasanya membayar ke rekening tertentu milik perusahaan B, oleh peretas itu diminta membayar ke rekening lain dengan alasan situasi Covid-19. Uang itu tidak sedikit, termasuk yang kami ekspos bersama Bareskrim Polri (Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI) sebesar Rp 56 miliar.
Kasus itu melibatkan perusahaan dari Indonesia?
Keduanya perusahaan dari luar, dari Italia dan Cina, tapi dibelokkan ke rekening orang Indonesia. Penjahat itu langsung menarik uang tersebut. Makanya, kalau telat informasinya, biasanya sebagian uangnya sudah dibawa lari. Dalam kasus terakhir itu, uang yang masuk sekitar Rp 58 miliar. Pelaku menarik Rp 1,7 miliar. Sisanya belum ditarik, keburu kami bekukan.
Ini pembayaran yang besar. Apakah mungkin sistem perusahaan yang melakukan transaksi itu tidak aman?
Ini transaksinya lewat e-mail. Jarang ada orang yang meretas e-mail kalau benar-benar tidak berniat. Ini berarti mereka menargetkan. Dia tahu benar ada perusahaan A bertransaksi dengan perusahaan B. Informasinya dari mana, ini yang tidak kami ketahui. Begitu sektor kesehatan meningkat, dia lari ke sektor ini. Dia pelajari berbagai korporasi di luar negeri. Kemudian dia siapkan di sini, mendirikan perusahaan yang namanya mirip-mirip korporasi itu, supaya orang tidak tahu dikelabui. Ini sistematis. Kami curiga ini tidak berdiri sendiri karena marak di berbagai negara, serentak, dengan keahlian dan modus yang hampir mirip.
Apa kendala PPATK dalam menangani kasus seperti ini?
Ada orang yang sadarnya cepat, ada yang bahkan sudah berulang kali melakukan pembayaran tapi tak sadar. Karena orang yang menerima pembayaran belum komplain, dia kira telat saja bayarnya. Baru ketika ditegur, dia bingung. Kalau cepat, yang bisa diselamatkan lumayan. Tapi ada yang sama sekali tak bisa diselamatkan. Setelah kami teliti, banyak sekali rekening yang dibuka dengan keterangan palsu, kartu tanda penduduknya palsu. Jadi sulit dicari.
Bagaimana PPATK mengatasi masalah itu?
Itu menjadi salah satu isu yang kami bicarakan secara internasional, seperti di Egmont Group, grup lembaga intelijen keuangan yang anggotanya hampir 163 negara. Saya menjadi wakil dari Asia-Pasifik. Kami sedang membangun sistem supaya komunikasinya lebih cepat. Kami meminta kepada teman-teman supaya pengaduan itu tidak terlalu birokratis. Begitu lapor ke polisi, lapor juga ke lembaga intelijen keuangan, sehingga bisa lebih cepat dikejar. Kami pun membangun kesadaran korporasi, juga bank, untuk melihat transaksi yang aneh. Misalnya rekening semula kosong tiba-tiba masuk Rp 56 miliar. Itu indikator paling mudah.
Sebentar lagi akan digelar pemilihan kepala daerah. Apakah PPATK sudah mengendus adanya transaksi mencurigakan?
Ini pesta pilkada terbesar. Ada 270 pemilihan. Hampir dua kali lipat dari pemilihan daerah pada 2018. Tahun ini, kami sudah beberapa kali berkoordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu untuk membahas bagaimana melakukan pengawasan yang efektif. Ada dua hal yang hendak kami pastikan. Pertama, kami ingin tidak ada duit hasil kriminal masuk ke sistem politik kita. Kedua, kami tidak ingin politik uang dipakai untuk memenangkan calon.
Apakah PPATK berfokus pada rekening dana khusus kampanye?
Kami tak boleh berfokus ke rekening itu, karena justru rekening itu yang menurut pengalaman kami paling tidak aktif. Banyak rekening lain yang dipakai, keluarga, bahkan pribadi.
Salah satu isu dalam pilkada kali ini adalah masalah dinasti politik. Ada pengawasan terhadap mereka?
Seperti yang dikatakan Pak Mahfud Md. (Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan), tidak ada yang salah dengan dinasti politik. Kami berfokus saja, ada sesuatu yang salah atau tidak dengan aliran dananya.
Berkaitan dengan koordinasi antarlembaga, kami mendapat data rasio jumlah laporan PPATK yang ditindaklanjuti penegak hukum hanya separuh. Apakah betul?
Memang betul. Kami berkoordinasi terus dengan KPK, kejaksaan, kepolisian, Direktorat Jenderal Pajak, Bea-Cukai, supaya laporan yang ditindaklanjuti ini terus meningkat. Komitmen itu ada, insya Allah dalam beberapa tahun ke depan ada perbaikan signifikan.
Apakah PPATK tak punya wewenang mendorong kasus penting untuk ditindaklanjuti penegak hukum?
Apa pun yang sudah kami keluarkan pasti penting. Misalnya informasi yang diberikan ke KPK itu berkaitan dengan pejabat negara dan kerugian negara. Tapi, masalahnya, kasus korupsi kan juga tidak sedikit. Mereka juga punya prioritas sendiri. Karena itu, kami mencoba memperbaiki dari strategi nasionalnya, yang dibuat lima tahunan. Komitmen semua lembaga ada di situ. Semua ikut menyusun. Nanti akan diprogramkan, misalnya dengan KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Akan ada skala prioritas.
Seberapa besar kemungkinan laporan PPATK bisa ditindaklanjuti sampai ke pengadilan?
Ada forum ekspose kasus, mana yang paling masuk akal dan paling besar kemungkinan menangnya di tindak pidana pencucian uang (TPPU). Apakah ini di-back up dengan anggaran yang cukup atau tidak. Kami juga sudah bicara dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk mem-back up TPPU. Anggaran kami kan terbatas.
Ada yang sampai terhambat karena masalah seretnya dana?
Oh, ada, karena, katakanlah, mereka punya prioritas untuk tindak pidana tertentu. Kalau tindak pidana itu dipisah dengan TPPU, kan, mengulang prosesnya. Biayanya jadi mahal. Karena itu, salah satu efisiensi yang kami dorong adalah tuntutannya jangan dipisah dengan TPPU. Ini lebih menghemat anggaran dan keberhasilan untuk melakukan asset recovery yang diminta presiden bisa terlaksana. Kami juga sedang mendorong rancangan undang-undang tentang perampasan aset tindak pidana, khususnya terkait dengan aset yang tidak jelas, karena tersangka atau terpidananya melarikan diri atau meninggal. Kalau tersangka kabur, ya sudah, kita rampas saja asetnya.
Selama ini belum ada aturan tentang itu?
Belum. Ini sangat penting untuk mendorong pemulihan aset negara. Jangan sampai uang negara yang dicuri banyak, tapi yang bisa dikembalikan sedikit.
• • •
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum DPR, Anda mengatakan transaksi aliran dana dalam kasus Jiwasraya mencapai Rp 100 triliun. Apakah ada kemungkinan jumlahnya bertambah?
Kami masih melihat kemungkinannya. Yang timbul sampai sekarang berkaitan dengan masalah kerugian dari pasar modal dan reksa dana. Mungkin saja dari investasi di bidang lain akan muncul. Kami belum berhenti untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Karena kompleksitas rekeningnya banyak, kami juga menyerahkan ke kejaksaan secara bertahap.
Dalam rapat tersebut, Anda juga mengatakan ada indikasi fraud yang terjadi sejak 2008. Sejak kapan PPATK mencurigainya?
Pada 2008 atau 2010. Bukannya kami mencari alasan, tugas kami bukan melakukan pengawasan terhadap sistem keuangan atau individu bank, tapi kami bekerja berdasarkan laporan yang masuk.
Laporan dari siapa?
Dari bank, termasuk dari perusahaannya sendiri, misalnya dari asuransi. Mereka wajib melaporkan transaksi nasabahnya. Tapi, masalahnya, kalau mereka terlibat di dalamnya, kan, susah. Karena itu, kami berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan. Saya sudah berkirim surat dan berbicara dengan Pak Wimboh Santoso (Ketua Dewan Komisioner OJK). Kalau sudah ada tanda-tanda sesuatu yang tidak beres di awal, sebaiknya kita langsung berkoordinasi.
Apakah PPATK tidak mendeteksi adanya fraud sejak awal karena pada saat itu sistem di PPATK belum memadai?
Bukan belum memadai. Informasi yang masuk ke kami belum cukup untuk mendeteksi itu. Dan kami menganggap itu persoalan manajerial.
DIAN EDIANA RAE
• Tempat dan tanggal lahir: Bandung, 4 April 1960 • Pendidikan: Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung; Master Hukum Bisnis School of Law University of Chicago, Amerika Serikat (1992); Doktor Bidang Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2003) • Pekerjaan: Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia untuk Eropa di London; Direktur Departemen Internasional Bank Indonesia; Perwakilan Egmont Group untuk Wilayah Asia-Pasifik; Co-Chair Financial Intelligence Consultative Group ASEAN, Australia, dan Selandia Baru; Wakil Kepala PPATK (2016-2020); Kepala PPATK (sejak 6 Mei 2020)
Setelah kemudian mendeteksi adanya fraud, apakah PPATK langsung mencurigai bahwa itu korupsi?
Pada saat itu tidak bisa disebut korupsi, tapi irregularities, yakni transaksi yang mencurigakan. Itu sebabnya Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan. Kami juga sudah bekerja sama dengan BPK pada waktu itu.
Untuk mengungkap kasus ini, selain dengan kejaksaan, PPATK bekerja sama dengan lembaga mana?
Kami bekerja sama dengan BPK untuk melihat aspek kerugian negara. Terkait dengan aspek pajak, kami bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak, sehingga utuh. Kalau terkait dengan keterlibatan orang dalam pengawasan, tentu kami koordinasikan dengan OJK.
OJK sendiri sempat dikritik karena tidak langsung mengambil tindakan, padahal sudah lama tahu ada masalah dalam Jiwasraya....
Kasus Jiwasraya itu pembelajaran yang luar biasa mahal. Kita harus berani tegas terhadap setiap pelanggaran apa pun yang dilakukan pada tahap awal. Orang terkadang khawatir akan adanya reaksi pasar dan kemungkinan gangguan terhadap stabilitas keuangan. Tapi PPATK berprinsip, justru ketika berani menindak dan itu diumumkan, akan timbul kepercayaan masyarakat internasional ataupun masyarakat kita.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo