Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Ikan Hampa Bagan Tiada

Kehidupan nelayan di Pulau Kodingareng dan pesisir Makassar berubah setelah ada penambangan pasir. Sebagian memilih merantau ke luar pulau.

19 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Nelayan Pulau Kodingareng hidup susah setelah penambangan pasir dimulai.

  • Pertengkaran suami-istri kerap terjadi karena kesulitan keuangan.

  • Penduduk pulau turut menjadi korban kriminalisasi.

MATA Fatimah, 50 tahun, berkaca-kaca pada Rabu, 16 September lalu. Hari itu dia baru saja menjual emas simpanannya seberat 20 gram. Keluarganya yang tinggal di Pulau Kodingareng Lompo, sekitar satu jam berlayar dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan, tengah kesulitan uang. “Sekarang sangat sulit mendapatkan uang. Jadi makanan dikurangi, kadang tak makan sayur,” katanya dengan nada suara serak kepada Tempo, Rabu, 16 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suaminya, Abdul Kadir, meski menjadi nelayan, mulai jarang turun ke laut. Dalam beberapa bulan terakhir, para nelayan di sekitar pulau dan pesisir Kota Makassar mulai kesulitan memperoleh ikan. “Lokasi penangkapan ikan suami saya sekarang menjadi perlintasan kapal pengangkut pasir,” ujar Fatimah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak Februari lalu, kapal penyedot dan pengangkut pasir tiga kali hilir-mudik tiap hari di sekitar Blok Spermonde, kawasan penambangan dekat Pulau Kodingareng. Kapal sepanjang 230 meter itu membawa ratusan ribu meter kubik pasir dari lokasi tambang ke proyek reklamasi Makassar New Port, cikal-bakal pelabuhan termegah di timur Indonesia. Belakangan, penambangan berlangsung hingga malam hari.

Menurut Fatimah, kapal itu terlihat lebih dekat pada malam hari. Ia memperkirakan jaraknya tak sampai 10 kilometer dari Pulau Kodingareng, yang berpenghuni sekitar 5.000 penduduk.

Di tempat itulah suaminya dan nelayan lain biasa mencari ikang. Nelayan Kodingareng umumnya menggunakan cara tradisional, seperti memanah, memancing, dan menggunakan bagan. Namun metode itu kini tak bisa dilakukan lagi. Kapal menyedot pasir hingga 30 meter ke dasar laut, mengakibatkan terumbu karang rusak. Deru mesin dan air yang keruh pun mengusir ikan makin jauh.

Sebelum penambangan pasir berlangsung, nelayan bisa menjaring 20 kilogram cumi-cumi atau lebih dari 20 ekor ikan tenggiri setiap kali berlayar. Kini perolehan mereka anjlok hingga hanya 1 kilogram ikan. Sarinah, penduduk Pulau Kodingareng, mengatakan kondisi itu membuat dia dan suaminya kerap bertengkar. “Karena tak ada uang lagi,” kata perempuan 35 tahun tersebut. Suaminya pun terpaksa melaut lebih jauh, hingga ke laut dekat Timika, Papua.

Sama seperti Fatimah, Sarinah mengaku sudah menjual banyak harta simpanan demi bertahan hidup. Dalam sehari, mereka membutuhkan biaya Rp 50-100 ribu untuk makan dan kebutuhan lain. Anak sulungnya putus sekolah karena tak bisa membayar uang ujian sebesar Rp 160 ribu. “SMA di pulau ini hanya ada swasta, jadi harus bayar,” ujarnya.

Abdul Jalil, 68 tahun, mengalami hal serupa. Ia melego kapal bermesin tunggal miliknya seharga Rp 20 juta pada 20 Agustus lalu. Harga kapal yang biasa disebut “jolloro” itu lebih murah ketimbang saat dia membelinya Rp 35 juta, beberapa tahun lalu. Jalil juga menjual bagan miliknya seharga Rp 70 juta karena sudah jarang mendapatkan ikan. Padahal bagan itu dia bangun dengan modal Rp 200 juta. Cara itu ditempuh Jalil karena pendapatannya dari mencari ikan merosot drastis.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan Muhammad Al Amien mengatakan hampir semua nelayan mengalami kesulitan ekonomi sejak penambangan pasir di Blok Spermonde dimulai. Mereka pun sering menghadapi pertengkaran keluarga. Akibatnya, banyak laki-laki merantau ke luar pulau untuk mencari uang. Menurut dia, perairan di sekitar pulau pun tak lagi aman untuk mencari ikan karena ombak di sekitar tambang bisa mencapai 3 meter. Kabar kapal nelayan tenggelam kerap muncul akhir-akhir ini. “Terumbu karang sarang ikan juga sudah rusak,” ucap Amien.

Lokasi tambang pasir, air keruh berwarna biru agak putih akibat aktivitas tambang, 17 September 2020./TEMPO/Didit Hariyadi

Nelayan di daerah Galesong, Kabupaten Takalar, turut menderita akibat penambangan pasir itu. Daerah ini berjarak sekitar 27 kilometer dari Makassar. Para nelayan di kawasan itu pun biasa menangkap ikan di daerah penambangan pasir. Ismail, 30 tahun, yang sejumlah kerabatnya tinggal di Galesong, mengaku mendengar cerita soal kesulitan mereka menangkap ikan.

Ismail, 30 tahun, adalah nelayan penyelam. Ia biasa menyelam belasan meter untuk memanah ikan. Saat ditemui Tempo pada Rabu, 16 September lalu, ia mengaku sudah empat hari tak melaut. Ismail bercerita, suatu kali dia menyelam sedalam 15 meter. Namun matanya tak bisa melihat apa pun. “Airnya keruh akibat pengerukan pasir,” ujarnya.

Dulu Ismail biasa membawa pulang hingga 30 ekor ikan setiap hari. Pendapatannya mencapai Rp 150 ribu per hari. Setelah kapal-kapal mulai menyedot pasir, Ismail kerap pulang dengan tangan kosong. Ia memilih tak melaut lagi karena hanya menghabiskan waktu dan biaya solar. Ismail kini hidup mengandalkan tabungan dan utang.

Aliansi Selamatkan Pesisir, gabungan organisasi pembela nelayan dan lingkungan di Makassar, mencatat ongkos mencari ikan kian mahal. Sebelumnya, setiap nelayan rata-rata membutuhkan 10 liter solar saat berlayar. Kebutuhan itu meningkat hingga 15 liter karena mereka harus menempuh jarak lebih jauh. Penderitaan para nelayan bertambah karena harga ikan menurun hingga separuhnya saat awal pandemi Covid-19 menghantam Sulawesi Selatan.

Padahal kehidupan ekonomi penduduk pulau saling terikat dengan kelompok lain. Akibat nelayan tak melaut, omzet penjual makanan serta bahan bakar solar dan pedagang lain ikut berkurang lantaran hanya mengandalkan pembeli dari dalam pulau. Namun mereka tetap berusaha bertahan dengan segala cara. Aliansi mencatat jumlah pedagang makanan di pulau makin banyak karena para ibu rumah tangga ikut membantu mencari uang.

Penderitaan para nelayan berlanjut ke persoalan hukum. Polisi memanggil empat warga Pulau Kodingareng untuk menjadi saksi perkara perusakan mata uang negara. Peristiwa itu berlangsung saat kontraktor tambang pasir mengunjungi pulau, pertengahan Juli lalu. Nelayan merobek amplop berisi duit yang dibagikan kontraktor. “Mereka tahu amplop itu berisi uang,” kata Direktur Polisi Perairan dan Udara Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan Komisaris Besar Hery Wiyanto.

Penduduk Kodingareng, Daeng Manre, ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan melanggar Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Ancamannya hingga lima tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar. Penduduk kembali melawan. Manre yang sempat ditahan kemudian dilepas. “Ini laporan yang dibuat-buat,” tutur Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar Edy Kurniawan.

Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah berjanji mengakomodasi keinginan para nelayan agar tetap sejahtera. Namun dia mengaku belum menemukan pelanggaran yang dilakukan perusahaan penambang. “Jika terbukti merugikan kepentingan nelayan, kami akan mencari lokasi lain,” ujarnya.

DIDIT HARIYADI (MAKASSAR)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus