Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERATURAN Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota menuai protes dari pegiat gerakan perempuan dan organisasi pemantau pemilu. Pemicunya adalah Pasal 8 ayat 2 yang membulatkan jumlah bakal calon anggota legislatif perempuan di setiap daerah pemilihan yang berdampak menurunnya keterwakilan perempuan dalam Pemilihan Umum 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah menetapkan paling sedikit 30 persen perempuan dalam daftar bakal calon anggota legislatif. Peraturan KPU yang baru menyatakan bila penghitungan kuota perempuan menghasilkan angka pecahan, nilai dua desimalnya dibulatkan ke bawah jika kurang dari 50 dan dibulatkan ke atas bila 50 atau lebih. Misalnya, bila jumlahnya 4, maka 30 persennya adalah 1,2, yang otomatis dibulatkan menjadi 1.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pegiat Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, Valentina Sagala, menilai ketentuan KPU itu membuat keterwakilan 30 persen perempuan bisa tidak terpenuhi. “Kita tak boleh lengah,” ucapnya kepada wartawan Tempo, Abdul Manan dan Iwan Kurniawan, pada Kamis, 1 Juni lalu.
Protes dari pegiat gerakan perempuan dan pemilu itu sempat membuat KPU hendak mengubah keputusan tersebut dan menyampaikannya dalam konferensi pers pada 10 Mei lalu. Namun niat KPU berubah lagi seusai rapat dengar pendapat dengan DPR pada Rabu, 17 Mei lalu.
Ketika protes mereka diabaikan, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mengajukan permohonan uji materi peraturan KPU itu ke Mahkamah Agung pada Senin, 5 Juni lalu. Valentina, pendiri Institut Perempuan, menyatakan, "Pasal 8 ayat 2 bertentangan dengan UUD 1945, Undang-Undang Pemilu, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW."
Seberapa krusial dampak peraturan KPU yang baru itu?
Gerakan perempuan ikut mendorong reformasi dan salah satu implikasinya adalah amendemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konstitusi itu ada perubahan pasal, salah satunya Pasal 28 H ayat 2 yang berbunyi setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama. Pasal itu yang oleh awam diartikan sebagai affirmative action.
Di Perserikatan Bangsa-Bangsa, salah satu instrumen hukum hak asasi manusia yang paling dikenal adalah Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994. Dalam CEDAW, ada ketentuan negara peserta, termasuk Indonesia, memastikan tidak ada diskriminasi terhadap perempuan dan mengupayakan kesetaraan gender dalam berbagai bidang. Salah satu bidang itu adalah politik. Itulah kenapa gerakan perempuan memperjuangkannya dalam Undang-Undang Pemilu untuk memastikan keterwakilan 30 persen perempuan.
Dari mana angka itu?
Pada waktu penyusunan Rancangan Undang-Undang Pemilu (2004) itu ada beberapa pilihan. Paling tinggi kuota perempuan 50 persen. Sempat muncul 30 persen, tapi dengan sistem yang lebih jelas masuk di undang-undang. Jadi (ketentuannya) enggak di peraturan KPU. Sebab, waktu itu dari pilihan 20-50 persen, kami ambil yang 30 persen. Idealnya 50 persen karena jumlah perempuan sebesar 50 persen dari populasi.
Apa dampak peraturan KPU itu?
Secara matematika, daerah pemilihan yang jumlah bakal calon legislatifnya 4, 7, 8, dan 11 akan bermasalah. Pada daerah pemilihan dengan 4 bakal caleg, misalnya, ketika dibagi, jadinya 1,2 calon perempuan. Dia kemudian akan jadi satu calon (karena pembulatan ke bawah). Akibatnya, (jumlah calon legislatif perempuan) bisa kurang dari 30 persen. Dalam rapat dengar pendapat (DPR dan KPU pada 17 Mei lalu), DPR bilang enggak ada masalah (dengan ketentuan itu) karena secara nasional jumlahnya tetap 30 persen. Dalam Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mandat keterwakilan 30 persen itu untuk tiap daerah pemilihan, bukan secara nasional.
Apa tidak ada sosialisasi saat KPU menyusun peraturan itu?
Draf yang keluar (saat sosialisasi) itu berbeda. Ini mirip “pasal tembakau”. Ini menunjukkan bahwa ketika satu undang-undang kita benahi dan perjuangkan, pekerjaan rumah kita tidak selesai. Ini sebenarnya pelajaran penting. Kita tak bisa lengah. Demokrasi tidak ada yang datang gratisan.
Apa yang dilakukan kelompok perempuan?
Awalnya kami memprotes ke KPU. Karena KPU mengatakan tidak akan mengubahnya, kami datang ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mengeluarkan rekomendasi kepada KPU agar segera merevisi peraturan itu. Diterima Bawaslu pada 9 Mei lalu. Tanggal 10 Mei lalu ada konferensi pers di KPU yang menyatakan akan mengubahnya. KPU (tampaknya) menyadari kekeliruannya.
KPU berubah lagi setelah bertemu dengan DPR.
Ada putusan Mahkamah Konstitusi mengenai makna konsultasi KPU dan DPR untuk penyusunan peraturan KPU bahwa hasil rapat konsultasi itu tidak mengikat karena KPU lembaga independen. Jadi, kalaupun anggota DPR tidak setuju, KPU seharusnya menjalankan apa yang disampaikan kepada publik pada 10 Mei lalu itu.
Calon perempuan dari partai politik kurang?
Saya sempat memastikan kepada teman-teman perempuan di politik. Saat ini ada dua kelompok, yaitu Kaukus Politik Perempuan dan Kaukus Parlemen Perempuan. Mereka menyatakan partai-partai yang berkomitmen terhadap isu keterwakilan perempuan itu pasti bisa memenuhi kuota perempuan sepanjang mempersiapkannya. Menjadi aneh kalau tiba-tiba dibangun narasi bahwa (partai) enggak bisa memenuhinya kalau berubah lagi ketentuannya.
Apakah jumlah calon legislatif perempuan cukup untuk mengisi kuota 30 persen itu?
Kalau memang tidak dipersiapkan, partai harus cari orang baru. Aneh kalau sekarang dibenturkan dengan narasi itu. Partai seolah-olah minta dikasihani karena takut tidak lolos verifikasi akibat kuota 30 persen ini. Saat Reformasi 1998, jumlah anggota legislatif perempuan 9 persen. Baru pada Pemilu 2004 menjadi 14 persen dan Pemilu 2009 menjadi 18,4 persen. Meningkat pelan-pelan. Kemudian turun jumlahnya menjadi 17,6 persen di 2014. Sekarang naik 20,52 persen. Bahkan, dalam perjalanan 25 tahun pasca-Reformasi, jumlahnya belum sampai 30 persen. Jadi, kalau dibilang sudah bagus, ya enggak juga.
Apakah memang sulit mencari calon legislatif perempuan?
Para anggota legislatif perempuan menyatakan siap. Teman-teman kami yang berpolitik praktis mengatakan punya calon-calon yang siap.
Apa 30 persen perempuan bisa dipenuhi?
Dulu juga ditanya, “Apa memang tidak ada orang Indonesia yang bisa menjadi presiden selain Pak Harto?” Sama saja. Kita selalu punya kisah tentang perempuan-perempuan hebat yang memperjuangkan kasus kekerasan seksual perempuan di daerahnya, aktivis perempuan di isu lingkungan. Ada. Kalau mau. Perempuan harus diberi ruang berkiprah di banyak isu, termasuk reformasi sektor keamanan, keuangan, dan sebagainya. Jangan menempatkan dia di tempat yang hanya mengurusi isu-isu yang berbau perempuan.
Apa ada kendala logistik perempuan yang menjadi calon legislator?
Ada yang menyampaikan untuk mencalonkan diri memang memerlukan sejumlah uang, misalnya untuk saksi. Tapi ada yang mengatakan hal itu enggak begitu menjadi masalah.
Di luar soal kuota, apakah perempuan dalam politik masih belum setara dengan laki-laki?
Kesetaraan gender itu diukur dalam indeks pembangunan gender. Indeks ini faktornya adalah kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Satu lagi, indeks pemberdayaan gender, yang aspeknya jelas soal perempuan dalam politik, perempuan dalam ekonomi, dan perempuan dalam pengambilan keputusan. Indeks ketimpangan gender perempuan Indonesia paling tinggi atau mendapat skor rendah di bidang politik. Kita di peringkat ke-92 dari 146 negara.
Mengapa?
Jumlah perempuan di parlemen. Indeks itu menunjukkan bahwa Pasal 245 Undang-Undang Pemilu (mengenai kuota 30 persen bakal calon legislatif perempuan) masih dibutuhkan. Nanti, kalau secara de facto sudah setara, pasal itu pasti kami minta dicabut. Tak perlu lagi.
Apa dampaknya jika parlemen diisi 30 persen perempuan?
Setidak-tidaknya pasca-Reformasi, taruhlah pada 2004, saat mulai ada keterwakilan perempuan, lahir Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga. Itu suatu hal yang baru pada masa Reformasi. Setelah 2004 ada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yang korbannya banyak perempuan dan anak. Yang terbaru, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (disahkan DPR pada 12 April 2022). Meskipun sebetulnya keberadaan anggota legislatif perempuan tidak hanya spesifik untuk tema atau topik perempuan, dia hadir mewarnai berbagai sektor.
Peran perempuan yang ada di parlemen apakah cukup signifikan?
Ini memang perlu kerja keras. Seharusnya perempuan mewarnai di tiga fungsi DPR. Dia akan mewarnai dalam pembentukan undang-undang. Dia akan mewarnai soal fungsi pengawasan dan banyak isu perempuan yang jadi pekerjaan rumah. Dia seharusnya bisa secara lantang menyuarakan bagaimana pemerintah menjalankan dan menerapkan undang-undang. Dan di fungsi anggaran: bagaimana dia memastikan anggaran juga bisa dinikmati oleh perempuan.
Dalam Undang-Undang Cipta Kerja, perempuan di parlemen tidak banyak bersuara?
Betul.
Karena tidak paham?
Ketika seorang perempuan sudah terpilih menjadi anggota DPR, diangkat sumpahnya, dia wajib memperjuangkan rakyat, memperjuangkan perempuan. Kalau enggak, pecat saja. Kalau sudah terpilih, dibayar dengan uang rakyat, ia harus tunduk (pada tanggung jawabnya). Harus belajar. Enggak bisa enggak. Laki-laki dan perempuan, kalau sudah masuk (legislatif), harus melayani rakyat.
Jadi apa solusinya?Pekerjaan rumah kita saat ini, karena sudah punya Undang-Undang Pemilu bicara 30 persen kuota perempuan, adalah bagaimana memastikan implementasinya.
Valentina Sagala
Tempat dan tanggal lahir:
Jakarta, 9 Agustus 1977
Pendidikan:
- S-1 Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
- S-1 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung
- S-2 Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran
- S-3 Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta
Pekerjaan:
- Direktur Eksekutif Institut Perempuan
- Pengajar Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya
Penghargaan:
- N-Peace Award 2013 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa
- Masuk daftar "The Women on the Rise" GlobeAsia Magazine, 2014
- "Woman of Peace" dari Peace Women Across the Globe, 2015
Buku:
- 100 Tanya Jawab Seputar Kekerasan Seksual, 2022
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo