Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI Nicke Widyawati, Blok Masela adalah satu dari beberapa kejutan yang tengah ia siapkan. Direktur Utama PT Pertamina (Persero) ini menyimpan rapat-rapat nilai fulus yang akan diagihkan perseroan kepada Shell Upstream Overseas Services Ltd sebagai pembayaran atas saham ladang minyak dan gas raksasa di Provinsi Maluku itu. "Kami menandatangani non-disclosure agreement (perjanjian larangan pengungkapan informasi rahasia). Kejutan itu, enggak boleh dibocorin," katanya di kantornya pada Selasa, 6 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejutan lain, Nicke melanjutkan, adalah penawaran umum perdana saham atau initial public offering PT Pertamina Hulu Energi. Pertamina akan menjual saham anak usahanya itu kepada publik demi mendapatkan dana segar yang nantinya digunakan dalam proyek-proyek sektor hulu minyak dan gas, seperti pengembangan Blok Masela. Nicke pun berseloroh bahwa masyarakat berharap Blok Masela lekas dikembangkan agar segera menghasilkan penerimaan negara. "Sekaligus menciptakan nilai ekonomi di daerah ataupun nasional," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Pertamina, akuisisi saham partisipasi Shell di Blok Masela adalah belanja besar. Shell sempat mematok harga tinggi untuk 35 persen saham Blok Masela, yaitu US$ 1,4 miliar atau sekitar Rp 20,9 triliun. Shell mengklaim angka ini sebagai biaya yang sudah mereka keluarkan selama menjadi mitra Inpex Corporation dalam pengembangan Blok Masela. Hal ini juga adalah buntut dari terkatung-katungnya proyek tersebut setelah pemerintah mengubah rencana pembangunan kilang gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) dari awalnya di lepas pantai (offshore) menjadi di darat (onshore).
Dalam draf revisi rencana pengembangan atau plan of development (POD) dari Inpex dan Shell kontraktor Blok Masela, pada November 2018, biaya investasi pengembangan kilang LNG dengan skema onshore sebesar US$ 20,3 miliar atau sekitar Rp 287,3 triliun. Selisihnya US$ 5,5 miliar lebih mahal dibanding rencana awal. Persoalan ini pula yang menjadi salah satu penyebab mundurnya Shell dari proyek Masela pada 2020.
Mundurnya Shell membuat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif jengkel. Sebab, dia menerangkan, meski sudah mundur, Shell tak mau melepas sahamnya sehingga pengembangan Blok Masela tersandera. "Shell ini sudah mundur enggak bertanggung jawab," tuturnya di kantornya pada Jumat, 26 Mei lalu. Menurut Arifin, karena ulah Shell tersebut, Indonesia dirugikan lantaran rencana produksi minyak dan gas berskala besar ini terus mundur. Dia menegaskan, jika hingga 2024 tidak kunjung ada aktivitas di lapangan gas Abadi, pemerintah akan mengambil alih pengembangannya.
Di tengah kondisi inilah Pertamina masuk. Setelah mengempit saham dari Shell, perusahaan minyak pelat merah itu akan turut dalam pengembangan ladang dengan cadangan gas 10,7 triliun kaki kubik tersebut. Begitu kesepakatan diteken, sejumlah pekerjaan sudah menunggu, di antaranya revisi POD kedua dengan memasukkan program carbon capture, utilisation, and storage. Proyek ini pun memerlukan tambahan investasi hingga US$ 1,2 miliar (Rp 17,9 triliun).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ade Ridwan Yandwiputra dan Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mimpi Ladang Gas Raksasa"